Take My Life

Berbicara mengenai panggilan hidup pastilah tidak lepas dari pergumulan dan masa-masa sulit. Ketika mengalami masa tersebut, saya menikmati lagu “Take My Life” (Tuhan Ambil Hidupku) yang salah satu baitnya berkata, “Take my silver and my gold, not a mite would I with-hold. Take my intellect and use. Every power as Thou shalt choose”. Lagu ini menjadi bagian dari hidup saya beberapa tahun setelah saya menerima Kristus sebagai Jurus’lamat. Saya dididik oleh Allah, bahkan diajarkan untuk melepaskan hal yang dianggap berharga pada umumnya.

Saya tidak pernah menduga jika setelah lulus kuliah akan menjadi Staf Perkantas. Saya ingat bahwa Allah memanggil saya ketika mengikuti Retreat Koordinator XIII yang bertema “Allah Panggil Kaum Muda”. Salah satu hal yang membuat saya excited ikut RK ini adalah karena teman-teman sesama pelayanan siswa dan PO UI banyak yang hadir. Saya sangat menikmati setiap sesi yang ada, tetapi tidak pernah menduga bahwa pada setiap sesi itu Tuhan menggelisahkan hati saya berkaitan dengan panggilan hidup. Tuhan menggelisahkan hati saya hingga saya bingung sendiri. Sejak mengenal pelayanan siswa di RohKris (Rohani Kristen) SMA. Di sana saya diajarkan untuk tidak langsung percaya begitu saja ketika ada kegelisahan dalam hati, saya harus mengujinya lewat Firman untuk benar-benar memastikan itu dari Allah bukan berasal dari ketakutan pribadi. Sepulang dari RK, saya menemukan fakta bahwa benar Allah telah memanggil. Saya banyak diteguhkan lewat Firman dalam saat teduh, saat membaca buku Rising to The Call – O.S Guinness, dan beberapa kali melalui Firman di Persekutuan dan Gereja. Akan tetapi, saya menyimpan fakta tersebut rapat-rapat. Hanya saya dan Tuhan yang tahu. Apalagi waktu itu saya baru memasuki semester 4, saya pikir saya tidak perlu mengatakannya kepada siapa-siapa, toh masih jauh menuju semester akhir.

Nyatanya waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa saya sudah mulai memasuki semester akhir. Perasaan tenang mengenai panggilan hidup, kini berubah menjadi perasaan waswas. Perasaan seperti takut, gelisah, dan khawatir mulai memenuhi benak saya. Jika saya saja shock, apalagi orang-orang disekitar saya. Namun, saya semakin diteguhkan menjadi Staf Siswa lewat Firman dalam Kejadian 19: 1-29 — tragedi Sodom dan Gomora. Kota ini telah melakukan hal yang menjijikan karena menjadikan persetubuhan yang tidak wajar antara sesama lelaki sebagai hal yang biasa, bahkan mengepung dan mendesak Lot agar membiarkan tamunya dipakai oleh mereka. Tetapi kali ini ada informasi yang menghentak pikiran saya, dalam Alkitab tertulis tidak sekedar laki-laki melainkan “… dari yang MUDA hingga yang tua, bahkan seluruh kota, datang mengepung rumah itu”, saya kaget “Apa? Dari yang muda? Jadi, sedari muda mereka telah mengetahui hal demikian bahkan menjadi pelakunya? Ada apa dengan moral mereka? Mengapa separah ini?” Saya merenung sejenak. Kerusakan dan kebobrokan moral kaum muda tidak hanya terjadi di kota dan pada zaman itu. Jika kita mengingat dan melihat konteks Kota Jakarta, seringkali kondisi siswa lah yang menjadi icon kebobrokan moral. Tawuran, free-sex, bullying, pornografi, atau hal-hal yang terlihat sepele seperti malas, menyontek, tidak mau beribadah, berbohong, tidak sopan, consumerism, gadget addict, menjadi hal yang biasa pada siswa/i Ibukota masa kini. Padahal mereka adalah calon pemimpin bangsa.

Siapa yang mau pedulikan mereka? Siapa yang mau menolong mereka ketika diombang-ambingkan oleh angin pengajaran dan pergaulan yang sesat? Siapa yang mau secara khusus menyediakan waktu untuk menolong dan mendidik mereka? Ini aku, utuslah aku.

BAGIKAN: