Natal: Sebuah Bukti Kasih

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3:16)

Dalam peristiwa Natal, Allah menyatakan kasih-Nya kepada manusia yang berdosa. Allah dalam diri Yesus telah berkenan menyapa manusia. Peristiwa pengutusan Kristus oleh Allah Bapa merupakan penetapan rencana kekal-Nya yang tidak dapat dibatalkan oleh dunia ciptaan-Nya, yaitu rencana keselamatan di dalam diri anak-Nya yang sedang, akan, dan pasti digenapi. Penjelmaan Allah menjadi manusia merupakan bukti keajaiban dari kuasa dan kasih Allah.

Kasih Allah yang dialami ketika memahami makna Natal yang sesungguhnya, seharusnya juga membawa dampak bagi kehidupan kita dengan sesama. Kasih merupakan suatu kualitas hidup yang membedakan orang Kristen di dalam dunia ini. Jika orang menanyakan apa yang menjadi ciri khas orang Kristen, seringkali mereka juga menjawabnya Kasih.

Kasih yang sejati adalah kasih yang dimulai di hati Allah, karena Ia sendiri adalah Kasih (1 Yoh. 4:7-8). Dalam Yohanes 3:16, dinyatakan bahwa Allah sangat mengasihi dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. “Mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal” seringkali hanya kita mengerti sebagai suatu kewajiban yang sudah seharusnya Allah berikan kepada manusia yang Ia cintai. Tapi pernahkah saudara berpikir, apakah Allah juga sangat mengasihi Anak-Nya yang Tunggal?

Saya mencoba mengerti apa itu “Kasih” dari Yohanes 3:16. Kasih bukan hanya menerima tindakan kasih dari orang lain (yang mungkin saja berakhir pada keegoisan). Lebih daripada itu, untuk menunjukkan kasih tersebut seseorang membutuhkan pengorbanan–belajar untuk memberikan yang terbaik. Allah Bapa memberikan Anak-Nya yang Tunggal (yang paling Ia kasihi) kepada manusia (yang juga paling Ia kasihi). Kasih ilahi seperti ini bukan hanya melibatkan emosi tetapi bahkan komitmen dan tindakan nyata (love is not only emotion but love is commitment, action). Sehingga Kasih dapat disimpulkan (secara sederhana) “memberikan yang terbaik kepada yang paling dikasihi”. Inilah standar kasih ilahi, yang tentunya sangat berbeda dengan standar kasih insani yang sangat terbatas.

Selanjutnya, bagaimana kita menghayati perintah Yesus dalam Matius 22:37-39? Kasih seperti apakah yang harus kita nyatakan kepada Allah dan kepada sesama? Saya melihat kita pun harus mengasihi dengan kasih yang ilahi tersebut. Bukan mulai dari kasih “manusiawi” kita kepada Allah, tetapi mulai dengan menerima dan makin menghayati kasih “ilahi”, kasih yang dinyatakan Yesus Kristus. “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” – 1Yoh. 4:10). Memberi yang terbaik dan berkorban bagi kepentingan orang lain, bukanlah sifat dasar manusia yang sudah jatuh dalam dosa. Hanya setelah manusia menerima kasih ilahi itu dalam hidupnya, barulah ia dapat mengasihi Allah dan sesama dengan segenap hati.

Dalam salah satu tulisannya, John Stott menjabarkan tentang kasih yang bersedia korban untuk orang lain. Kasih demikian baru akan ada jika kita kembali kepada kasih yang semula untuk Kristus. Mengasihi Kristus bukan suatu pengalaman pietistik yang menyenangkan dalam tempat ibadah pribadi dalam hati kita, yang pada hakekatnya sama sekali tidak mempengaruhi kehidupan kita dalam masyarakat. Tidak. Jikalau seorang berkata: “‘Aku mengasihi Allah’, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan inilah perintah yang kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.” (I Yohanes 4:20,21). Lebih dari itu, kasih seorang Kristen terhadap tetangganya bukanlah sesuatu yang abstrak dibanding dengan kasihnya terhadap Allah. Kasih harus memperhatikan tindakan bukan hanya sekedar perasaan saja. Inti kasih adalah pengorbanan diri. Bagi dunia ini kasih adalah suatu kemauan untuk memperoleh; sedangkan kasih kekristenan adalah suatu kemauan untuk memberi. Kasih sejati rindu membahagiakan obyek penerima kasih itu, bukan berusaha memilikinya. Maka kasih menyatakan dirinya dalam pelbagai jenis pelayanan yang praktis dan sederhana. “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimana kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya? Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.” (1 Yoh. 3:17,18).

Merayakan Natal “tanpa” Yesus

Setiap tahun kita merayakan Natal. Persiapan Natal pun sudah mulai dilakukan beberapa minggu atau beberapa bulan sebelum Natal tiba. Bahkan setelah Natal selesai, kemeriahannya masih dirasakan beberapa minggu atau beberapa bulan sesudahnya. Melakukan hal yang rutin jika tidak dihayati dengan “segar”, hanya akan menjadi rutinitas tanpa makna.

Ada sebuah ilustrasi dalam bahan saat teduh yang berkesan tentang makna Natal. Dua orang wanita, yang mengenakan pakaian terbaik mereka, sedang duduk menikmati makan siang bersama di sebuh restoran terkenal. Seorang teman melihat mereka dan berjalan ke arah meja mereka untuk menyapa.

“Ada perayaan istimewa apa?” dia bertanya.

Salah seorang dari mereka berkata, “Kami sedang merayakan pesta ulang tahun seorang bayi di keluarga kami. Dia berusia 2 tahun hari ini.”

“Ya, tapi di mana bayinya?” tanya teman itu selanjutnya.

Ibu dari anak tersebut menjawab, “Oh, aku menitipkannya di rumah ibuku. Ibuku akan menjaganya sampai pesta berakhir. Tidak akan terlalu menyenangkan jika bayiku dibawa serta.” (Santapan Rohani, Hadiah Natal, © 2006 RBC Ministries)

Kiranya Natal yang kembali kita rayakan tahun ini, tidaklah menjadi sebuah perayaan Natal yang “tanpa” Yesus. Biarlah Yesus menjadi yang paling utama di dalam hati kita, sehingga kita dapat semakin memahami dan mengalami kasih Allah yang dinyatakan lewat peristiwa Natal.

BAGIKAN: