Pemuridan di Era New Normal

Selama pandemi Covid-19 telah tercipta era new normal di mana dalam waktu singkat kita perlu mengubah pola hidup dan perilaku kita sehari-hari. Tentu saja ini termasuk membatasi kontak interpersonal secara langsung, baik dalam belajar, bekerja, beribadah dan berbelanja, di mana semuanya lebih banyak dilakukan secara daring. Intinya adalah menjaga jarak dengan orang lain.

Akibatnya banyak gereja atau persekutuan yang tidak siap dan serba bingung bagaimana memuridkan dalam kondisi yang tidak ideal seperti ini. Mengapa penulis mengatakan tidak ideal? Karena pemuridan identik dengan kedekatan. Pemuridan bicara tentang komitmen untuk dekat satu sama lain. Dan inilah masalah kita hari ini. Dalam tradisi rabinik Yahudi, seorang murid adalah orang yang sangat dekat dengan gurunya. Itu yang membedakan murid dengan orang banyak. Orang banyak mengikuti sang guru dari jarak jauh. Murid mengikuti gurunya dari jarak dekat, sehingga ada ungkapan seorang murid itu adalah dia yang diselimuti oleh debu dari kebasan kaki sang guru (covered in the dust of the Rabbi) karena dekatnya dengan sang guru.

Selain itu ada masalah kedua. Soal formasi. Pemuridan adalah proses transformasi seseorang menjadi makin serupa Kristus. Tujuannya adalah transformasi, bukan informasi. Paulus   dalam 2 Tim. 3:10 menuliskan kepada muridnya bahwa: “engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku.” Pengajaran pada masa kini memang bisa disampaikan dari jarak jauh, dalam bentuk pesan singkat, tulisan khotbah, audio maupun video khotbah dan lain-lain. Tetapi bagaimana dengan mengikuti cara hidup, pendirian, iman, kesabaran, kasih dan ketekunan dari jarak jauh? Bukankah pemuridan itu lebih dari sekadar mengajar mind to mind? Bagaimana dengan berbagi hidup? Life to life? Bagaimana pemuridan dilakukan dengan jarak jauh? Dan apakah mungkin efektif dan produktif?

Masalah pemuridan di tengah kondisi yang sulit juga dialami Paulus. Penganiayaan yang hebat seringkali memaksa Paulus mengubah strategi pelayanannya dan harus meninggalkan jemaat yang dilayaninya. Kerap kali Paulus dibatasi secara fisik oleh karena pemenjaraannya. Tetapi justru dalam kondisi jarak yang terpaut jauh, Paulus menuliskan surat kepada gereja-gereja maupun kepada pribadi-pribadi yang dimuridkannya. Paulus tetap melakukan pemuridan dari jarak yang jauh. Dan tulisan-tulisannya sarat dengan pengajaran, pengembalaan, menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan menekankan Injil yang harus dipegang oleh jemaat saat itu. Juga dalam suratnya ada doa-doa yang dinaikkan dengan begitu dalam dan masih menginspirasi kita sampai saat ini. Paulus begitu mengasihi jemaat yang dilayani dengan kerinduan yang besar. Seringkali dia mencucurkan air mata ketika menuliskan surat-surat itu dengan kegelisahan tentang apa yang terjadi di antara mereka. Teguran dan dorongan disampaikannya dengan sangat baik. Walaupun dia tidak bisa berjumpa dengan mereka, tetapi dia mengutus rekan sekerja yang dia percayai. Titus diutusnya ke gereja di Kreta. Timotius ke Tesalonika dan Korintus. Bahkan bukan hanya itu, Paulus pun merencanakan ingin mengunjungi mereka secara fisik, dan itu dinyatakan dalam surat-suratnya.

Di era new normal ini, tentu semua orang bertanya, apa yang harus kita lakukan sekarang? Dan puluhan nasihat praktis bisa saja diberikan seperti “Persiapkan dirimu dengan maksimal!”, “Evaluasi ulang formasi pemuridanmu!”, “Diskusikan topik ini dan itu”, “Pakailah metode ini dan itu!”, atau “Gunakan aplikasi ini!” tetapi beberapa minggu kita akan mengalami problem yang sama, dan puluhan artikel yang mirip dengan ini akan kembali dituliskan! Namun, penulis ingin kembali kepada hal yang mendasar, yaitu iman. Iman sejati didasarkan pada kasih karunia Allah, yang kemudian memampukan kita semakin mengasihi Dia, bahkan di tengah kebingungan kita dan kelemahan kita. “Karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman”, kata Paulus. Berarti, iman diperoleh hanya jika dikaruniakan dari surga. “itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah”. Pemuridan seumur hidup kita dimulai dengan karunia iman dan terus menerus diperbarui serta dikuatkan dengan iman. Dengan kata lain, it’s up to God (Flp. 1:6; 2:13).

Iman itu yang memampukan seseorang menangkap dan menghidupi visi yang Allah berikan pada gereja sepanjang zaman (Mat. 28:18-20). Visi yang diterjemahkan Perkantas dalam kalimat: alumni (buah pelayanan siwa-mahasiswa) yang mengasihi Kristus dan menjadi garam dan terang bagi dunia melalui profesinya. Jika visi seorang pembuat murid jelas dan tajam, maka dia akan memaksimalkan tiap kesempatan di masa pandemi ini untuk memuridkan dengan efektif.

Jadi jarak tidak lagi menjadi masalah, karena yang terpenting adalah visi yang jelas, yang lahir karena iman. Iman pulalah yang memampukan seseorang berkomitmen menghidupi visi pemuridan Kristus. Tentu saja kita perlu meningkatkan aspek relasional dan intensional kita dalam memuridkan di era new normal ini. Apalagi kalangan siswa-mahasiswa-alumni masa kini yang adalah generasi melek digital membutuhkan strategi dan pendekatan khusus. Inilah generasi yang telah ‘dimuridkan’ oleh gawai maupun media sosial. Ini adalah tantangan bagi para pembuat murid, bagaimana menggunakan gadget sebagai sarana pemuridan yang efektif. Kita perlu mempelajari bahasa-bahasa dalam dunia digital, kita perlu melek terhadap apa yang terjadi di sana, bagaimana orang berkomunikasi dan berelasi. Dan memang kesempatan untuk memuridkan saat ini terbuka sangat lebar. Apakah kita sanggup menghadirkan movement di era new normal ini?

Sebagai penutup mungkin tepat peribahasa ini, “tak ada rotan, akar pun berguna”. Jikalau tidak ada pemuridan konvensional, maka pemuridan online pun bolehlah. Mari maksimalkan apa yang sudah kita mulai selama ini sebagai new normal. Kembali pada pola pelayanan Paulus. Akibat dari kondisi yang serba terbatas itu, Paulus begitu produktif menghasilkan surat-surat yang diilhamkan dan menjadi Kitab suci kita. Social distancing menghasilkan murid-murid rohani, kenapa tidak? Jangan tunggu pandemi ini berakhir untuk kembali mengerjakan our business as usual, tapi justru kesempatan pandemi ini kita gunakan untuk menggerakkan pemuridan yang efektif dan produktif. Kiranya Perkantas di usia ke-49 ini senantiasa menjadi jantung bagi pemuridan di Indonesia!

BAGIKAN: