Pengejaran Tanpa Lelah

John Stott di dalam bukunya Why I am a Christian, menggambarkan Allah sebagai Sang Anjing Pemburu dari Sorga yang terus mengejar manusia tanpa lelah. Maka, inilah cerita dari seseorang yang telah menyerah dari pengejaran-Nya.

Saat teduh, doa, dan pelayanan bukanlah hal yang asing atau baru ketika aku memasuki dunia perkuliahan. Aku sudah rutin melakukannya sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Orang-orang mungking beranggapan bahwa aku adalah seorang anak yang saleh dan begitu rohani. Namun, semua kegiatan rohani itu sebenarnya tidak menunjukkan bahwa aku adalah orang yang sudah ‘ditangkap’ oleh kasih Kristus. Pasalnya, semua itu membuat diriku justru merasa semakin baik dan layak di hadapan-Nya. Alhasil, aku merasa berhak melakukan segala hal yang aku inginkan.

“Aku ingin memimpin hidupku sendiri”

Pemikiran ini terus berlanjut hingga akhirnya Tuhan memakai PO BINUS untuk menangkapku. Aku bersyukur ketika Ia menganugrahkan Kelompok Kecil (KK) yang selalu menguatkanku dan tak segan-segan menegurku. Khususnya di masa-masa ketika Tuhan mengijinkanku kehilangan orang yang sangat kukasihi, bahkan kujadikan berhala dalam hidupku. Di masa-masa terpuruk itulah akhirnya aku menyadari bahwa aku adalah manusia yang sangat berdosa yang selalu memimpin hidupku sendiri dan menolak Kristus untuk memimpin hidupku. Saat itu, aku menyerah dan membiarkan diriku ‘ditangkap’ oleh kasih-Nya. Ia membuatku mengerti bahwa tidak ada hal lain yang lebih melegakan selain menjadikan Kristus sebagai pusat hidupku. Melalui retret Penerimaan Mahasiswa Baru yang diadakan pada tahun 2012–setahun setelah menjadi Anak Kelompok kecil (AKK)–disitulah aku menyerahkan diri dan masa depanku untuk dipimpin oleh Kristus.

“Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.” – Filipi 3:8

Ayat tema retret tersebut yang terus aku imani, hanya Kristus yang dapat membuat hidupku utuh sepenuhnya. Seakan selubung dari mataku hilang, aku merasa hidupku tidak lagi kosong. Aku melihat anugerah Allah yang sangat besar ketika menjalani peranku sebagai seorang AKK, PKK, dan koordinator PO Binus kampus Syahdan. Aku menikmati pembentukan dan penyertaan-Nya selama itu.

Setelah lulus, aku bertekad untuk memaksimalkan talenta yang Tuhan berikan bagiku dalam bidang seni visual dengan bekerja di sebuah design agency dengan penuh semangat sambil membawa visi yang Tuhan taruhkan melalui PO Binus bahwa aku adalah alumni yang akan menjadi berkat bagi bangsa dan negara lewat profesiku. Namun, ternyata Tuhan mempunyai cara-Nya sendiri, di tengah perjalananku untuk interview di sebuah design agency aku disharingkan beban pelayanan Perkantas dan diminta untuk mendoakan sebagai staf kantor bagian Media. Kesan pertamaku ketika mengetahuinya adalah tidak mungkin aku menjadi seorang staf Perkantas, tapi aku memutuskan untuk tetap mendoakannya dengan pikiran bahwa mustahil rasanya Tuhan memanggilku menjadi staf. Selama proses mendoakan, ternyata panggilan itu begitu jelas dan lagi-lagi rasanya aku ingin kembali memimpin jalan hidupku sendiri. Hidup di tengah-tengah keluarga yang tidak pernah mendukungku dalam pelayanan dan selalu mengajarkanku untuk meraih kesuksesan materi yang dipandang dunia membuatku takut mengalami penolakan oleh keluargaku sendiri. Itulah ketakutan terbesarku dan tentunya sebagai seorang mahasiswi yang baru saja dinyatakan lulus, ada kekhawatiran akan kecukupan materi.

Berminggu-minggu berlalu, Tuhan terus menyatakan kehendaknya melalui saat teduh dan firman Tuhan yang kudengar di gereja untuk tidak khawatir akan apapun juga dan bahwa Tuhan berjanji memelihara kehidupan anak-anak-Nya, hingga akhirnya aku diteguhkan melalui Ibrani 13:5-8 “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau. Tuhan adalah Penolongku. Aku tidak akan takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku? Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka. Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya”. Setelah membaca ayat ini, aku kembali teringat bahwa kasih Kristus yang telah menangkapku beberapa tahun yang lalu tetaplah sama sampai sekarang. Bahwasanya, Allah yang sama yang pernah menolongku dari keterpurukan di masa-masa kuliah melalui kehadiran PO Binus dan KK juga adalah Allah yang sama dengan yang memanggilku saat ini.

Perlahan Tuhan menaruh kerinduan dan beban itu di dalam hatiku. Aku teringat doaku sebelum lulus adalah aku ingin mempersembahkan talentaku ini untuk melayani dan memuliakan Tuhan dimanapun Tuhan tempatkan. Aku menyadari bahwa pelayanan mahasiswa telah Tuhan pakai untuk menjadikan diriku sebagai murid-Nya. Aku memiliki hutang Injil bagi pelayanan mahasiswa, dan inilah diriku yang Tuhan minta untuk mempersembahkan talentaku demi memenangkan tidak lagi mahasiswa, tapi siswa dan juga alumni melalui pelayanan media yang baru akan dirintis di Perkantas. Ternyata Tuhan juga mempersiapkanku beberapa bulan sebelumnya ketika mengikuti acara HUT OMF yang ke-50. Aku sangat ingat bagaimana pembicara kapita selekta pelayanan kaum muda yang adalah mantan staf Perkantas, yaitu Kak Ria Pasaribu mengatakan bahwa satu-satunya tempat paling strategis untuk melayani mahasiswa yang tidak lagi pergi ke gereja adalah kampus. Pelayanan media di era digital ini kuyakini adalah sebuah pelayanan yang strategis untuk menjangkau mahasiswa di kampus yang bahkan tidak mau datang ke persekutuan.

Akhirnya aku berani untuk mengatakannya kepada orang tua, dan betapa kagetnya aku ketika mereka mengijinkan walaupun dengan berat hati. Sampai sekarang, aku merasa bahwa jikalau bukan karena keajaiban yang Tuhan perbuat, orangtuaku pasti tidak akan mengijinkan aku menjadi staf Perkantas. Tuhan membuka pintu jikalau Ia benar-benar menghendaki dan kita mau taat akan panggilan-Nya.

“Ia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya.” – 1 Tesalonika 5:24

BAGIKAN: