Adaptasi Kebiasaan Baru Dengan Berita Injil yang Sama

“Mohon bersabar, ini ujian…”

Kalimat ini adalah salah satu kalimat yang sering dijadikan meme di media sosial belakangan ini. Beberapa orang meletakkannya di tengah suatu perdebatan panas pada thread Twitter. Beberapa lagi mengirimnya sebagai jawaban terhadap pemberitaan media tentang pemerintah yang menurut mereka tidak becus. “Ya, mohon bersabar, ini ujian sebagai warga Indonesia”, katanya.

Pandemi COVID-19 yang telah berlangsung sejak Februari tahun ini telah membuat kita bingung dan bertanya-tanya, “kapan ini semua akan berakhir?” Jika meme di atas diberikan kepada kita, mungkin pertanyaannya adalah, “sampai kapan saya harus bersabar?” Tentu saja, tidak ada yang tahu secara pasti. Suka atau tidak, kita telah ‘dipaksa’ untuk melanjutkan hidup dengan berbagai bentuk adaptasi kebiasaan baru. Tidak terkecuali dengan pelayanan kaum intelektual kepada siswa dan mahasiswa.

Perubahan sistem belajar yang kini dilakukan daring mengharuskan rohkris dan PMK memikirkan ulang bagaimana harus melayani siswa dan mahasiswa yang ada. Terlebih ketika berbicara tentang pemberitaan Injil. Berbagai kekuatiran dan pertanyaan pun bermunculan. “Bagaimana memberitakan Injil tanpa bertemu langsung? Apakah tidak akan canggung?” Belum lagi, setiap pertanyaan, kebingungan, dan kekuatiran ini harus kita pikirkan bersamaan dengan segala keterbatasan yang ada. Pembatasan fisik dan #dirumahaja bagaikan sesuatu yang memenjara kita.

Rasul Paulus pernah berada pada suatu situasi yang jauh lebih berat daripada itu ketika ia menuliskan surat 2 Timotius. Jika kita merasa seperti dipenjara, Rasul Paulus sungguh- sungguh dibelenggu dalam penjara (1:16, 2:9). Jika belenggu yang kita maksud masih dapat membuat kita terhubung dengan saudara-saudara terdekat melalui teknologi, Rasul Paulus tidak (1:17). Jika ‘penjara’ saat ini bertujuan untuk menjauhkan kita dari sakit-penyakit, bahkan kematian, penjara yang didiami Paulus adalah semacam ‘ruang tunggu’ sebelum kematiannya (2 Timotius 4:6-8).

Tanpa bermaksud mengecilkan pergumulan yang kita alami bersama pada saat ini, nasihat Rasul Paulus pada 2 Timotius 2:1-10 patut mendapat perhatian besar, jika kita ingin terus melayani dalam pemberitaan Injil bagi siswa dan mahasiswa, atau siapa pun.

Ingatlah ini: Yesus Kristus, yang telah bangkit dari antara orang mati, yang telah dilahirkan sebagai keturunan Daud, itulah yang kuberitakan dalam Injilku. Karena pemberitaan Injil inilah aku menderita, malah dibelenggu seperti seorang penjahat, tetapi firman Allah tidak terbelenggu. Karena itu aku sabar menanggung semuanya itu bagi orang-orang pilihan Allah, supaya mereka juga mendapat keselamatan dalam Kristus Yesus dengan kemuliaan yang kekal.” (2:8-10)

Rasul Paulus memiliki tujuan yang jelas untuk memberitakan Injil di berbagai tempat. Ia tahu ada orang-orang pilihan Allah yang akan merespons pada pemberitaan Injil yang akan menyatakan keselamatan di dalam Kristus bagi mereka. Ia meminta Timotius untuk mengingat—bukan hanya pernyataan teologis namun juga fakta historis—kematian dan kebangkitan Yesus Kristus yang dilahirkan sebagai Mesias; inti berita Injil. Inilah yang mendorong Paulus untuk bersabar dalam menanggung setiap penderitaan yang ia alami dan keterbatasan yang ia miliki.

Sebelum memikirkan cara-cara terbaru yang relevan terhadap pemberitaan Injil di masa pandemi ini, baiklah kita bertanya pada diri kita masing-masing, “apa yang menjadi tujuan dan alasan kita untuk terus memberitakan Injil?” Apakah kita sungguh-sungguh percaya bahwa Injil adalah kekuatan Allah yang berkuasa untuk menyelamatkan manusia berdosa dan memimpin mereka hidup berdasarkan iman (Roma 1:16-17)? Apakah kita yakin, apa pun masanya, baik atau tidak baik waktunya, ‘berita’ yang dibutuhkan manusia tetap sama?

“Sebab itu, hai anakku, jadilah kuat oleh kasih karunia dalam Kristus Yesus.” (2:1)

Tujuan dan alasan yang jelas tentu tidak menghilangkan kemungkinan bahwa Timotius dapat dilemahkan oleh kesulitan dan penderitaan. Apalagi jika melihat karakter Timotius yang tidak sepemberani itu (1:7). Karena itu, dengan lembut Rasul Paulus berkata agar Timotius dikuatkan oleh kasih karunia dalam Kristus Yesus. Kalimat “jadilah kuat” atau “be strengthened” ini menegaskan bahwa pemberita Injil membutuhkan kasih karunia Allah untuk dikuatkan sekalipun harus menderita. Kevin DeYoung, seorang pendeta dan penulis buku menyimpulkan ayat-ayat ini demikian, “we need grace not simply because we’re all failures and we need strength not because we’re all so strong and mighty. But rather, we can be strong because of grace, and by grace we must be strong.”

Saat ini manusia menjadi semakin tertarik membicarakan tentang hidup dan mati. Hal-hal mendasar seperti kesehatan dan persahabatan pun semakin relevan. Tidak sedikit yang sedang ‘mencari’ Tuhan yang memberi pengharapan. Tentu ada banyak hal yang perlu kita usahakan di masa-masa seperti ini, namun sebagai orang Kristen, maukah kita tetap mengerjakan panggilan sebagai saksi Kristus? Di hadapan kita telah hadir angkatan baru baik siswa maupun mahasiswa dan tidak ada satu pun yang tidak membutuhkan Injil, termasuk kita.

Kiranya kita dikuatkan oleh kasih karunia untuk menjadi pembawa berita Injil yang sama, yang dipakai Allah untuk menguatkan siswa, mahasiswa, siapa pun terutama di masa sulit ini.

BAGIKAN: