Dewasa Dalam Menghadapi Tantangan

“Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah…” (Kejadian 45:8 TB)

Yusuf: Dibenci Karena Disayang

Yusuf menjadi korban dari kecemburuan dan kebencian saudaranya sendiri. Jauh lebih menyakitkan kalau luka itu disebabkan oleh orang yang dekat dengan kita. Kecemburuan saudara-saudara Yusuf adalah bentuk kegagalan Yakub menjadi figur orang tua yang ideal, tidak adil membagi kasih dan juga kepasifannya terhadap masalah di rumah (keluarga yang disfungsi). Hari-hari Yusuf dilalui dengan situasi yang ekstrem, di satu sisi sangat dicintai ayahnya, di saat yang bersamaan, begitu dibenci saudaranya.

Kisah hidup Yusuf memberikan kita pelajaran penting, bahwa Allah sanggup bekerja di

tengah ketidakidealan kehidupan. Meskipun kita tidak berasal dari lingkungan (keluarga, kondisi pekerjaan, dan lain-lain) yang ideal, Allah sanggup untuk bekerja di dalam ketidakidealan itu. Dan Allah yang bekerja dalam hidup Yusuf, adalah Allah yang sama, yang sanggup bekerja dalam hidup kita, jika Dia mau memakai kita untuk mengerjakan rencana-Nya.

Kesuksesan: Kasih karunia Mendahului Kerja Keras

Apa yang tidak kita lihat (kerja keras, kurang tidur, kegagalan berulang-ulang, dan sebagainya) sebenarnya jauh lebih besar dari pada yang kita lihat di permukaan (kekayaan, ketenaran, kesuksesan). Yusuf mengalami sama seperti yang digambarkan dalam pernyataan tersebut.

Menjadi orang nomor dua setelah Firaun bukan sesuatu yang mudah diperoleh. Yusuf pernah difitnah dan dijebloskan ke dalam penjara, dia pernah dilupakan oleh orang yang pernah ia bantu. Apa yang dia peroleh itu juga sebenarnya merupakan berkat kecakapannya dalam pekerjaannya (kompetensi, kerja keras dan integritas). Lalu apalagi yang kurang selain itu? Dalam Kejadian 39, empat kali penulis menuturkan bahwa keberhasilan Yusuf adalah karena TUHAN menyertainya. Apa hubungannya penyertaan TUHAN dengan

kompetensi, integritas dan kerja keras Yusuf. Dalam terang Perjanjian Baru, Paulus pernah menuliskan jawabannya, dalam 1 Korintus 15:10, “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku”.

Kasih karunia, penyertaan TUHAN mendahului kerja keras Yusuf. Kita dipanggil untuk mengerjakan panggilan TUHAN dengan usaha terbaik kita, sebagaimana kasih karunia-Nya yang telah dan sedang bekerja terus di dalam hidup kita, baik dalam pekerjaan kita, maupun dalam keseharian kita sebagai alumni. God has done the best, and we do the rest, as best as we can.

Terikat Dalam Kisah yang Lebih Besar

Kualitas hidup berikutnya dari hidup Yusuf adalah kesanggupannya untuk melihat kehidupannya dengan perspektif yang berbeda. Meskipun dalam kenyataannya, Yusuf menjadi korban dari kecemburuan dan kebencian saudara-saudaranya, sehingga ia dijual ke Mesir, Yusuf mengatakan dengan sangat meyakinkan: Allah yang mengirim aku ke Mesir, bukan kamu! Apa yang membuat Yusuf bisa mengatakan demikian?

Pertama tentu saja karena Yusuf telah mengampuni saudara-saudaranya. Pengampunan ini telah membersihkan hati Yusuf dari dendam, sehingga dia bisa melihat dari perspektif Ilahi.

Kedua, kedekatannya dengan Tuhan membuat dia bisa melihat apa yang Tuhan lihat. Tuhan melihat kebutuhan dunia (memelihara kehidupan lewat pemenuhan kebutuhan pangan) dan telah memilih Yusuf menjadi alat-Nya untuk memecahkan masalah kelaparan yang kelak akan dialami bukan hanya Mesir, tapi juga keluarganya di Kanaan.

Melihat hidup Yusuf tentu tidak bisa tidak, kita diingatkan akan kehidupan Yesus. Tidak hanya mengampuni bahkan sanggup mengasihi musuh-Nya. Kematian-Nya di kayu salib adalah bagi kepentingan musuh-Nya. Yusuf dengan politik pangannya, dapat memelihara hidup banyak orang. Yesus bukan hanya sanggup memelihara kehidupan, tapi bahkan memberi kehidupan karena Dialah kehidupan itu sendiri.

Jesus is the true and better Joseph.

Kisah Yusuf menjadi bayang-bayang kisah Yesus. Kisah Yusuf terikat dalam kisah yang jauh lebih besar, sejarah keselamatan yang dikerjakan Allah bagi dunia ini. Hal ini harusnya juga menolong kita juga punya perspektif ilahi dalam melihat hidup: kita dilibatkan dalam misi Allah bagi dunia ini. Panggilan kita mungkin tidak seperti Yusuf, tetapi pasti ada bagian-bagian yang Tuhan percayakan untuk kita berkarya di dalamnya. Kiranya perspektif ini menolong kita sebagai alumni untuk juga bisa memaknai apa yang kita alami dan juga apa yang kita sedang jalani saat ini.

BAGIKAN: