Untuk Apa Uang?

Membaca judul artikel ini, barangkali ada yang merasa aneh. Pertanyaan yang terkesan, “bodoh‟ dan idealis ini juga saya serukan dari mimbar satu gereja besar, ketika itu jemaat yang memberikan reaksi, “Kok bertanya seperti itu?”. Percaya atau tidak, pertanyaan yang sama juga sudah saya lontarkan lebih dari 30 tahun yang lalu ketika saya masih kuliah sebagai selingan setelah capek belajar malam di perpustakaan FE-UI, saya dan seorang mahasiswa Ekonomi berdiskusi tentang tujuan hidup. Setelah diskusi panjang lebar, kalimat diatas pun terlontar. Dengan tegas dia menjawab, “Uang sangat penting, dengan uang kita bisa membeli rumah bagus, mobil bagus dan bisa dapat istri cantik.”, kemudian saya meresponi, “Katakanlah kau memiliki rumah-rumah mewah di Jakarta, mobil begitu banyak sehingga perlu tempat parkir sepanjang bypass, untuk apa semua itu?” Itu membuat kami masuk pada diskusi semakin serius, termasuk membicarakan makna dan tujuan hidup.

Sikap Alumni Terhadap Uang

Terus terang, setelah hampir empat dekade pun saya masih mempertanyakan hal ini. Setelah memasuki usia lansia dan pensiun, pertanyaan yang sama masih ada di benak saya. Bahkan, gaungnya semakin keras dan ingin menerima jawabannya. Barangkali, disadari atau tidak, ada sebagian alumni yang menjawab seperti rekan saya di atas. Seolah-olah dengan memiliki banyak uang, maka otomatis dia memiliki banyak benda, barang yang diinginkan hatinya. Itu memang benar. Akan tetapi, bagaimana dengan pertanyaan saya selanjutnya?

Semoga tidak ada yang menjawab, “Dengan memiliki semua itu, maka saya, keluarga saya pasti makin bahagia, menikmati kepuasan hidup”. Dalam kenyataannya, tidak sedikit alumni, semakin punya uang, banyak materi, semakin jauh dari kebahagiaan. Sebaliknya, kita dapat menyaksikan alumni hidup bahagia di dalam hidup sederhana, begitu bersahaja. Memang, jika kita membaca dengan teliti khotbah di Bukit, yaitu khotbah yang menyerukan kebahagiaan, kita belajar satu hal penting. Dari sembilan kali Yesus menyerukan “Berbahagialah”, tidak satu kalipun Yesus mengaitkannya dengan uang atau materi (Matius 5:3-11). Salomo, raja yang kaya raya itu malah menulis, “Barangsiapa mencintai uang, tidak akan puas dengan uang…” (Pengkhotbah 5:9).

Demikian juga, rasul Paulus memberi peringatan untuk dicamkan setiap umat, “Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tidak tentu seperti kekayaan, melainkan kepada Allah”. (1 Timotius 6:17). Mengapa? Firman tersebut menjawab dengan tegas, karena Allah sendiri yang sanggup memberikan kenikmatan dan kebahagiaan hidup sejati (ayat 17b)

Refleksi

Setelah membaca hal di atas, saya sungguh berharap agar para alumni tidak salah mengerti. Saya tidak sedang menegatifkan uang dalam segala hal. Namun, sebagaimana ajaran Firman Tuhan, saya ingin berbagi, sharing akan apa yang dirasakan dan digumuli selama puluhan tahun sampai saat ini.

Saya yakin bahwa kita setuju dengan firman Tuhan di atas bahwa kekayaan dan materi tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan hidup. Saya juga setuju bahwa semakin kaya alumni, maka perlu semakin waspada. Firman tersebut mengantisipasi kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu alumni dapat semakin melekat dan berharap kepada uang. Tanpa disadari, pengharapan dan komitmennya kepada Tuhan mulai diserongkan! Itulah sebabnya, Firman tersebut menyerukan agar orang-orang kaya tetap berserah kepada Tuhan. Artinya, dengan segala yang dimiliki itu, justru harus semakin maju secara rohani, semakin giat dan berbuah lebat dalam pelayanan. Singkat kata, menunjukkan ciri-ciri alumni yang semakin dewasa rohani. Demikian juga, firman tersebut menyerukan agar seiring dengan semakin melimpah dengan uang dan materi, relasi horizontal harus semakin baik. “Kaya dalam kebajikan…”

Sekiranya hidup kita sejalan dengan Firman Tuhan tersebut diatas, tentu kita akan semakin bahagia, sukacita dan menikmati damai sejahtera. Itulah sisi lain dari sebagian alumni. Saya menyaksikan alumni, baik di sekitar Perkantas maupun di luar yang dikaruniai materi yang banyak. Dengan materi itu terlihat komitmen mereka untuk semakin mengasihi Tuhan dan melekat kepadaNya. Demikian juga, hidup mereka semakin nyata, berguna bagi banyak orang. Itulah yang saya saksikan dalam diri Mr. Jody Stubb, sebagaimana sudah saya pernah saksikan dalam berbagai kesempatan. Dia adalah pengusaha di bidang properti yang sukses di Amerika. Mr. Stubb adalah seorang majelis yang ikut serta pada program pelatihan yang diadakan oleh Dr. Jhon Haggai di Hawai, Amerika. Selama seminggu terakhir bersama kami, Mr. Stubb menunjukkan hidup yang mengasihi Tuhan dan sangat peduli kepada sesama. Hal itu terbukti dari kesediaannya menjadi sponsor utama dari konferensi tersebut. Menurut ketua pelaksana, Mr. Stubb mendukung dana untuk konferensi itu sebesar 2,6 miliar rupiah. Apakah yang menyebabkan Mr. Stubb mau dan tergerak mendukung sampai sebanyak itu? Pada malam terakhir dari 25 hari konferensi penginjilan tersebut, Mr. Stubb menyaksikan sebagai berikut, “Saya bersyukur, selama ini Tuhan telah memberkati keluarga, istri (ketepatan berdiri di sebelah kirinya), anak dan cucu-cucu saya. Namun saya merasa bahwa hidup saya sangat berlimpah berada selama seminggu bersama kalian”. Selanjutnya dia mengatakan satu pernyataan yang mengharukan, “I think one week with you all, is the richest part in my life, since we gather together in this place to think seriously about the Great Commissions of our Lord Jesus”. Jadi, bagi Mr. Stubb, keterlibatan secara serius mengerjakan Amanat Agung Tuhan Yesus, adalah bagian paling kaya dalam hidupnya, bukan ketika sebagai seorang pengusaha dengan property yang berlimpah untuk diri sendiri.

Merenungkan pribadi Stubb tersebut, saya berdoa agar Tuhan mengaruniakan ratusan, ribuan bahkan jutaan alumni di Indonesia, yang mau terlibat serius dalam menjalankan Amanat Agung Tuhan Yesus. Dengan demikian, sedia dan rindu terlibat dalam doa, daya (diri) dan dana demi tersebarnya kabar baik, berita kekekalan, kepada semua orang berdosa. Saya merasa, dalam usia semakin lanjut, kekuatan dan kemampuan tentunya semakin berkurang. Hal ini, mengingatkan saya dengan perkataan Tuhan Yesus, “Aku tahu, kekuatanmu tidak seberapa, namun engkau berpegang pada FirmanKu.” (Wahyu 3:8). Jadi, berkat doa, dukungan dan kerja sama dengan dari banyak alumni seperti Mr. Stubb tersebut diatas, kerajaan-Nya akan dibangun dan kabar baik disebarkan di seluruh Indonesia dan dunia.

BAGIKAN: