Panggilan yang Mengejutkan

Penyakit yang paling berbahaya adalah penyakit yang tidak disadari keberadaannya. Merasa baik-baik saja, hidup seperti biasa, tanpa sadar sedang ‘digerogoti’ penyakit. Itulah kondisi yang saya alami dahulu. Hidup dengan melakukan semua hal yang disukai tanpa ada perasaan yang salah. Bahkan, menganggap diri adalah orang yang baik.

Sampai suatu kali saya menjadi panitia Kamp Penginjilan bagi mahasiswa baru 2013 di kampus. Inilah awal dari panggilan yang mengejutkan itu. Disadarkan bahwa diri saya adalah orang yang hidup dalam kematian. Hidup yang sedang ‘digerogoti’ dosa. Efesus 2:1 – 2 menggambarkan kondisi ini dengan jelas. “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka.” Pada waktu itu saya menjawab panggilan-Nya untuk menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi. Setelah hari itu, saya terus menikmati pertumbuhan dalam Persekutuan Oikumene Trisakti (POUTRI). Visi “Alumni yang Dewasa dalam Kristus” (Efesus 4:11 – 15), menjadi kerinduan saya sebagai mahasiswa yang sedang dimuridkan. Visi itu pula yang terus memimpin ketika dipercaya menjadi pengurus dan PKK, sampai akhirnya lulus.

Setelah lulus pada Februari 2017, saya belum memiliki panggilan yang jelas. Sebagai lulusan teknik elektro, saya kurang tertarik menghidupi bidang tersebut. Itulah sebabnya, ketika mengikuti Kamp Pengutusan Mahasiswa 2017, saya hampir tidak maju saat ‘altar-call’. Tidak ada satu bidang pun dalam kapita selekta yang terpikir untuk dijalani. Tiba-tiba, ada panggilan terakhir yang tidak ada di ‘kapsel’. Inilah panggilan mengejutkan yang kedua. Hamba Tuhan! Seketika saya berdoa di kursi sambil menangisi dosa-dosa saya. “Tuhan, apakah mungkin Engkau memanggil aku menjadi hamba-Mu? Aku yang hina dan berdosa ini?” Karena rindu untuk mengambil komitmen, saya maju, berlutut, dan berdoa dengan agak ‘nyeleneh’ namun jujur. “Tuhan, aku maju bukan berarti aku sudah jelas menjadi hamba-Mu. Tetapi kalau memang Engkau memanggil, tolong bukakan jalan.”

Usai acara itu, saya terus mendoakan panggilan tersebut sambil mencari pekerjaan. Akhirnya saya diterima di sebuah perusahaan yang sesuai dengan jurusan. Tetapi hal mengejutkan kembali terjadi. Saya diminta untuk menjadi ‘sales’. Posisi yang tidak disukai dan tidak dilamar. Namun karena tidak ada perusahaan lain yang memanggil, akhirnya diambil. Di sisi lain, sebagai alumni baru, saya masih dipercayakan melayani di kampus. ‘Aneh’ nya, ternyata posisi ‘sales’ mempermudah mencari waktu untuk melayani. Hari-hari berjalan, saya bekerja sambil melayani selama 2 tahun. Semakin lama semakin menikmati dan bersukacita melakukannya. Menjumpai, mendengar, memberitakan Firman, dan mendampingi mahasiswa. Sementara, pekerjaan juga terus dilakukan dengan baik walaupun semakin lama semakin tidak bergairah. Sampai suatu waktu, saya teringat pada doa di KPM 2017 dan berpikir, “Jangan-jangan, Tuhan memang memanggilku menjadi hamba-Nya, bahkan secara khusus di ladang mahasiswa.”

Akhirnya saya bercerita kepada pacar, teman, AKK, PKK, bahkan kepada ‘boss’ di kantor. Semua mendukung. Tetapi ada satu pihak yang belum tahu, orang tua. Ketakutan yang besar menghalangi saya bercerita dan membuat ragu melangkah. Tetapi Tuhan terus memanggil, seperti ‘meneror’ dengan Firman-Nya, membuat hati gelisah selama bekerja. Saya ingat ketika saat teduh dari kisah Abraham yang dipanggil ke tempat yang ia tidak ketahui (Kejadian 12:1 – 9, Ibrani 11:8). Dalam renungan dikatakan, “Menjalani panggilan Tuhan itu seperti menyusuri anak tangga yang panjang dan gelap. Sedangkan kita hanya memiliki sebuah pelita. Kita tidak akan tahu apa yang ada di ujung, kalau tidak menapakinya satu per satu. Walaupun hanya bisa melihat dua anak tangga di depan.” Karena masih ragu, saya pun sharing dengan beberapa hamba Tuhan, yang sebagian besar adalah Staf Perkantas. Tetapi waktu itu tidak ada ajakan untuk bergabung di Perkantas. Sehingga saya berpikir untuk ‘study’ teologi, lalu nanti memikirkan pelayanan.

Kemudian saya mengikuti Kamp Nasional Mahasiswa pada Agustus 2019. Disana saya sudah membulatkan hati untuk menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan. Beberapa bulan kemudian, pada Oktober 2019, datanglah panggilan Tuhan yang mengejutkan itu. Saya ditanyakan untuk menjadi Staf Perkantas! Tanpa berpikir panjang, saya ingin menjawab ‘iya’. Sehingga saya resign dan mengakhiri masa kerja pada akhir Desember 2019. Namun saya masih harus bercerita pada orang tua. Ketakutan masih menghantui. Padahal saya diminta bergabung dengan Perkantas awal Januari 2020. Tetapi dengan pertolongan Tuhan, akhirnya saya bercerita di minggu terakhir tahun 2019. Mereka terkejut, ibu pun menangis. Tetapi satu kalimat dari ayah yang mengejutkan, “Kalau yakin itu panggilan Tuhan, ya sudah, jalanilah.” Seketika itu juga, ketakutan berubah menjadi tangis haru. Tidak ada satu ketakutan pun yang terjadi, mereka justru mendukung. Puji Tuhan! Kiranya kita terus beriman bahwa Tuhan yang memanggil, adalah Tuhan yang menyertai. Walaupun kita harus terkejut dengan semua rencana-Nya.

BAGIKAN: