Kepemimpinan Ezra

Pada zaman Ezra, bangsa Israel kembali ke Yerusalem setelah melewati pembuangan di Babel. Gelombang pertama ini kembali sekitar tahun 538 SM dengan satu tujuan, yaitu untuk membangun kembali Bait Allah yang telah rata dengan tanah. Pembangunan ini dimulai sekitar tahun 536 SM, tetapi mengalami hambatan dari luar sehingga sempat terhenti selama 16 tahun sampai akhirnya selesai tahun 515 SM. Setelah pembangunan selesai, restorasi spiritual tidak diteruskan dan bahkan terhenti selama 58 tahun. Pada masa-masa ini Israel hidup berasimilasi dengan bangsa sekitar sehingga melupakan Tuhan kembali. Dalam tahun-tahun inilah Ezra kembali ke Yerusalem dengan memimpin orang Israel. Bagaimana cara Ezra mengembalikan kondisi Israel? Kepemimpinan seperti apa yang dapat kita pelajari dari Ezra?

Dalam perenungan saya, kunci dari kepemimpinan Ezra ada dalam sebuah kalimat yang dituliskan di dalam Ezra 7:10 (TB) “Sebab Ezra telah bertekad untuk meneliti Taurat TUHAN dan melakukannya serta mengajar ketetapan dan peraturan di antara orang Israel.” Inilah kalimat yang memulai restorasi spiritual dari pasal 7-10 dalam Kitab Ezra. Dari kalimat ini, ada tiga hal yang dapat kita pelajari, yaitu:

Pemimpin yang menyadari panggilan Tuhan dan realita umat sehingga dapat memfokuskan diri.

Fokus adalah kekuatan Ezra dalam menjalankan tugas dan panggilannya sebagai pemimpin umat di tengah kondisi keterpurukan secara rohani. Hal ini muncul dalam Ezra 7:10 dengan kalimat tekad untuk memusatkan atau memfokuskan hatinya untuk mempelajari Firman. Hal ini sangat menarik karena Alkitab mencatat di Ezra 7:6 bahwa dia adalah seseorang yang sudah mahir dan ahli kitab, tetapi dia tetap memusatkan atau memfokuskan hatinya untuk terus mempelajari hukum-hukum Allah.

Pemimpin yang merindukan umat Allah berubah sehingga misi Allah digenapi.

Segala tekad atau fokus untuk meneliti hukum Allah itu dilakukan Ezra agar umat Allah kembali mengalami restorasi rohani. Sehingga mereka dapat berlaku sebagaimana mestinya sebuah bangsa yang kudus, Imamat yang rajani, umat kepunyaan Allah untuk menyatakan perbuatan-perbuatan besar dari Allah. Ezra merindukan umat Israel kembali memercayai Firman Allah sebagai kebenaran yang kokoh dan dapat dipercaya. Bahkan di saat susah dan cenderung mustahil untuk mengubah situasinya menjadi lebih baik. Beban ini terus bergelora di hati Ezra, buktinya pada saat tembok Yerusalem selesai di zaman Nehemia, seperti tertulis dalam Nehemia 8 kita menyaksikan bagaimana Ezra dengan setia melatih pemimpin dan umat untuk berinteraksi dengan Firman Tuhan dan memercayainya.

Pemimpin yang sabar menanti Allah bekerja.

Tindakan Ezra untuk mempelajari hukum Allah dan mengajarkan umat ternyata baru mencapai puncaknya pada Nehemia 9-10. Saat itu, umat mengakui dosa dengan tulus dan bertekad untuk hidup bagi Allah (Neh. 10:29). Kesabaran seorang pemimpin untuk menanti Allah bekerja menjadi sangat penting sebab pekerjaan merestorasi umat adalah hak prerogatif Allah. Selain itu sungguh merupakan suatu anugerah jika kita manusia berdosa dilibatkan Allah untuk menjadi pembawa kabar baik itu. Namun, pada akhirnya restorasi itu adalah milik Allah semata dan bagian kita adalah setia mengerjakan misinya, fokus, serta terus bertumbuh di dalam Allah.

Sesaat saya terdiam, merenungkan siapakah Ezra masa kini? Indonesia bahkan dunia membutuhkan sosok kepemimpinan Ezra, pemimpin-pemimpin yang bertekad atau fokus untuk meneliti Firman Tuhan, membuka hati untuk umat dan sabar menanti Tuhan merestorasi. Ketika merenungkan kepemimpinan Ezra, saya juga membaca artikel tentang salah satu pemimpin umat di era kekinian yang wafat pada tanggal 21 Februari 2018, yaitu Billy Graham. Majalah Christianity Today memuat enam pelajaran berharga kepemimpinan Billy Graham yang ditulis oleh John Ortberg dengan judul asli “Walking in Billy’s Shoes”. Dalam perenungan ini, saya menyimpulkan Billy Graham adalah salah satu sosok nyata Ezra masa kini. Berikut adalah enam hal yang saya refleksikan dari kepemimpinan Billy Graham untuk pelayanan Perkantas Jakarta.

1. Terus Fokus

Terus fokus menjadi kunci untuk menjalankan pelayanan yang efektif mencapai sasarannya dan menemukan inovasi dalam pelayanan. Dalam membaca tulisan tentang teladan kepemimpinan Billy Graham, saya merenungkan ada 3 area dasar yang sebaiknya difokuskan oleh pemimpin, yaitu:

  • Terus fokus untuk menjaga nilai kebenaran Allah yang akan menjaga seorang murid dari nilai-nilai dunia yang merusak pikiran dan akhirnya membuahkan tindakan yang tidak menjadi berkat. Saat ini ada banyak pandangan bahwa kebenaran itu relatif. Tidak ada yang disebut kebenaran yang mengikat semua manusia, atau kebenaran hanya berdasarkan pemikiran masing-masing orang. Maka murid yang terus fokus berpegang kepada kebenaran Allah menjadi semakin signifikan, oleh sebab itu segala upaya agar murid mendengar dan memegang Firman layak diperjuangkan.
  • Terus fokus untuk mengerjakan misi yang Allah berikan di dalam hati setiap murid. Setiap manusia diciptakan Allah di dalam Kristus untuk melakukan pekerjaan baik yang Allah siapkan sebelumnya. Semua itu ada dalam rangka mempersatukan segala sesuatu di dalam Kristus. Saat ini ada banyak pandangan bahwa mengerjakan misi berdasarkan apa yang saya suka, atau saya sanggup kerjakan saja dan bukan berdasarkan apa yang Tuhan kehendaki, kiranya para murid masa kini bisa berbeda dengan dunia di dalam mengerjakan misi Allah.
  • Terus fokus untuk melihat visi di depan karena visi akan membuat kita terus bersemangat dan berpengharapan untuk menjalankan misi Allah di dunia. Saat ini ada banyak pandangan bahwa kita tidak perlu melihat masa depan, cukup fokus dengan hari ini saja. Namun, hal ini tidak sesuai dengan Alkitab karena kebangkitan Kristus mengubah pandangan itu dengan memberikan suatu harapan di masa depan. Suatu visi yang kekal karena Kristus yang bangkit itu akan datang kembali dan memerintah dunia sebagai Raja selama-lamanya.

Paulus juga pernah mengingatkan jemaat Korintus tentang pentingnya fokus (1Kor. 9:25-27). Kiranya siswa, mahasiswa, dan alumni dapat terus fokus di dalam kehidupannya.

2. Terus Bertumbuh

Menurut Billy Graham, pemikiran adalah suatu aspek penting untuk bertumbuh. Billy Graham pernah mengandaikan jika dirinya bisa mengulang kehidupannya lagi, maka dia ingin terus belajar, belajar dan belajar agar pemikirannya semakin bertumbuh. Saat ini ada banyak pandangan untuk lebih mengandalkan perasaan dan pengalaman saja. Tidak perlu berjuang untuk bertumbuh di dalam area pemikiran. Tidak perlu melatih pemikiran kita untuk dapat membedakan mana kehendak Allah, mana yang baik dan yang sempurna. Majalah Forbes tahun 2015 mencatat bahwa salah satu masalah terbesar kepemimpinan dunia adalah kurangnya pemimpin yang berpikir. Bertumbuh dalam pemikiran itulah yang diserukan oleh Paulus di dalam Roma 12:2 dan sang Rasul melakukannya dengan serius ketika meminta Timotius untuk membawa perkamen-perkamennya ke penjara. Kiranya kaum intelektual bisa menjadi murid yang bertumbuh di area pemikiran seperti paparan John Stott dalam bukunya Your Mind Matters, “Knowledge is indispensable to Christian life and service,” writes John Stott. “If we do not use the mind which God has given us, we condemn ourselves to spiritual superficiality.”

3. Terhubung dengan Sekitar

Pemimpin, program, dan organisasi seharusnya berkaitan dengan lingkungan sekitar. Dalam menyusun program, pelayanan siswa, mahasiswa, dan alumni seharusnya juga tidak “membuang” konteks kondisi lingkungan sekitar kita. Jika program-program yang kita susun dapat terkoneksi dengan konteks, maka setiap program itu akan mendapat makna yang dalam.

4. Tetap Rendah Hati

Saya merasa terenyuh ketika merenungkan kalimat, “Graham ministry has been marked by increased modesty of spirit even as its outward success has grown.” Jika dapat dihitung, mungkin Graham sudah menyampaikan Injil kepada lebih dari 1 miliyar manusia di bumi, mencetak buku-buku, memberi sumbangsih pemikiran, moral dan keteladanan kepada USA secara khusus. Tak heran banyak orang menghormati Billy Graham. Namun, kerendahan hatinya menyeruak dan terus bertumbuh, sungguh suatu teladan yang nyata.

5. Merangkul Pihak Lain untuk Berdampingan

Tidak semua orang selalu menyetujui apa yang ingin kita kerjakan. Namun, kepemimpinan Billy Graham memberikan saya sebuah refleksi untuk bisa serupa dengan Kristus di dalam berorganisasi. Dalam hal menanggapi kritikan, melihat kekurangan atau kesalahan orang lain, bagaimana pemimpin bertindak, seharusnya teladan Yesus menjadi poin penting seorang pemimpin.

6. Integritas

Refleksi yang saya renungkan dari masa kepemimpinan Billy Graham tentang integritas merupakan suatu teladan bagi pemimpin persekutuan dan gereja. Integritas mampu menjaga kita untuk tetap setia kepada Tuhan sampai akhir. Integritas adalah sikap yang perlu dilatih. Seperti pengalaman Paulus yang dicatat dalam surat Korintus, “Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” Dalam terjemahan ESV, “But I discipline my body and keep it under control, lest after preaching to others I myself should be disqualified.” Kata melatih atau discipline yang dimaksud memiliki makna suatu tindakan aktif yang dilakukannya terus menerus sehingga menjadi suatu kebiasaan. Selain mendisiplinkan tubuh, Paulus juga terus aktif untuk menundukkan diri di bawah Injil sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Kedua hal ini dilakukan agar jangan setelah memberitakan Injil maka Paulus sendiri ditolak karena melihat hidup sang pemberita yang tidak selaras dengan Injil.

Dari kepemimpinan Ezra dan Billy Graham, kiranya kita terus mengerjakan peran kepemimpinan untuk merestorasi umat sehingga perbuatan besar Allah diberitakan dan kemuliaan Allah dinyatakan kepada seluruh bangsa.

BAGIKAN: