Bersama Tuhan

Saat aku masuk di PNJ, aku merupakan orang yang study oriented dan mempunyai mimpi bahwa aku harus menjadi mahasiswa berprestasi. Namun, di PMK Tuhan mengarahkanku untuk melihat bahwa hidup ini seharusnya God Oriented bukan Man Oriented. Perlahan tetapi pasti, Tuhan mulai membentukku melalui PIPA dan pertumbuhan terus berlanjut dalam Kelompok Kecil. Aku menikmati perjumpaan dengan Allah di PMK. Hingga di tingkat dua, aku diminta menggumulkan untuk menjadi wakil koordinator POSA. Aku pun menjawab panggilan ini karena dikuatkan oleh Filipi 1:21 “Karena Hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”.

Namun tak dapat dipungkiri, Iblis berusaha mengambil jemaat POSA PNJ dan yang dia serang pertama adalah pemimpinnya. Aku jatuh bangun dalam hal spiritualitas (tidak menikmati waktu teduh, jarang memiliki jam doa syafaat, kurang disiplin PA, dan lain-lain). Dampak dari semua itu adalah aku menjadi pribadi yang emosional. Saat itu aku merasa bahwa pelayanan ini adalah milikku, bukan milik Allah. Bahkan aku pernah bertengkar karena tim inti tidak mau mengikuti saranku. Aku merasakan akibatnya ketika setiap hal yang dikerjakan gembala kampus, malah membuat spitualitas jemaat menurun. Bersyukur Tuhan sangat mengasihi Talenta dan PNJ. Akhirnya Ia mengirimkan orang-orang yang menguatkanku dalam wadah PMKJ, sehingga aku pun berusaha bangkit dalam keterpurukanku.

Satu tahun berjalan, Tuhan memberiku kesempatan bergumul menjadi koordinator POSA PNJ. Banyak kekuatiran yang kurasakan dalam pergumulan ini, khususnya dalam studi dan keluarga. Namun, semakin aku berlari, semakin juga Tuhan mengejar dan menangkapku melalui Yosua 1 “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu….. memimpin bangsa ini”, itu yang membuatku yakin bahwa Allah menyayangi kampus PNJ melalui kehadiran persekutuan di PNJ. Waktu pun berjalan, namun seperti pepatah mengatakan “semakin tinggi pohon, semakin keras angin menerpa”, Iblis makin kuat mencobaiku dan makin banyak tantangan yang kurasakan. Saat aku menjalani pelayanan sebagai koordinator POSA, aku juga menjalani peran sebagai mahasiswa tingkat akhir, dan aku juga adalah anak pertama dengan kondisi mama sebagai single parent. Aku ingin terus melayani Allah, tetapi kondisi keluarga memaksaku untuk fokus pada pendidikan. Dalam kondisi ekonomi yang demikian, aku harus berjuang sendiri untuk membayar kuliah. Dengan uang jajan 5 ribu rupiah per hari, aku harus berjuang kuliah dari pagi sampai malam dan uang itu sudah termasuk makan malam. Kondisi ini mengharuskanku untuk mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai guru les privat.

Capek dan jenuh, itulah faktor utama aku mulai tidak menikmati pelayanan sebagai koordinator. Dalam masa itu aku jarang punya waktu bersama Allah dengan utuh dan berdoa secara jujur di hadapan Allah. Sebagai pemimpin seharusnya aku banyak mendoakan jemaat, tetapi yang aku alami justru sebaliknya. Pasang surut spiritualitas sebagai pemimpin aku rasakan. Saat itu aku tersadar bahwa pemimpin PNJ yang sebenarnya bukanlah Talenta, tetapi Allah. Kekuatan seorang pemimpin itu adalah ketergantungannya kepada Allah dan rasa belas kasihan kepada jemaat.

Tantangan demi tantangan aku lewati karena aku yakin Tuhan yang memilihku sebagai pemimpin, pastilah Tuhan menyertai sampai akhir. Kalau bukan karena Allah, sepertinya aku tidak akan kuat bertahan dengan uang jajan 5 ribu rupiah dengan kondisi aku harus pulang malam karena rapat tim inti. Kalau bukan karena Allah, aku tidak akan kuat bangun subuh untuk belajar di tengah kesibukan pelayanan dan pekerjaan. Kalau bukan karena Allah, aku tidak akan bisa berdiri di mimbar Balairung UI sebagai mahasiswa terbaik Teknik Elektro PNJ.

Perjalanan pelayanan di kampus membuatku sadar bahwa Allah selalu setia mendampingiku. Aku bersyukur karena saat ini Allah juga memberiku kesempatan untuk melayani sebagai penilik PNJ dan pengurus TPPM. Namun, pergumulan sebagai alumni yang masih ingin menilik pelayanan mahasiswa muncul, apakah aku harus bekerja di luar kota karena sebagian besar industri pertambangan ada di luar kota? Atau aku harus mencari profesi lain yang sesuai di Jakarta agar dapat menilik PNJ?

“Andaikan dunia milikku, ku persembahkan semuanya.
Tak cukup bagi Tuhanku, diriku yang dimintaNya”
(Bait 5”Memandang Salib Rajaku”)

Lagu yang kudengar di Kamp Pengutusan Mahasiswa 2017 ini mengingatkanku kembali akan penyertaan Allah dalam perjalanan sulit yang pernah kulewati dalam PMK, studi, dan keluarga, sehingga aku akhirnya tetap memilih bekerja di Jakarta. Aku meyakini bahwa Allah tak menginginkan uang atau statusku, namun Allah menginginkan diriku.

BAGIKAN: