Sabtu Sunyi

Sehari sebelum kebangkitan Kristus dalam tradisi sebagian umat Kristen disebut Sabtu sunyi. Mengapa disebut Sabtu sunyi? Memang pada hari ini, murid-murid perdana Tuhan Yesus sungguh mengalami kesunyian. Bukan hanya sunyi tanpa kegiatan, tapi terutama sunyi batiniah, sunyi spiritual, hidup penuh ketakutan tanpa pengharapan. Demikianlah rasul Yohanes menulis, “… berkumpul lah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan pintu-pintu yang terkunci” (Yoh. 20:19). Mengapa harus mengunci pintu? Padahal dalam komunitas terbuka di masa itu, pintu tidak harus dikunci. Alkitab menulis alasannya, “karena mereka TAKUT” (Yoh. 20:21).

Hari ini, Sabtu, dua ribu tahun yang lalu, memang sulit bagi kita membayangkan satu pun dari murid-murid Tuhan Yesus yang berwajah gembira dan ceria. Sebaliknya, mereka semua sedih, sangat sedih. Bagaimana mereka tidak sedih, mereka baru saja kehilangan Tuhan, junjungan dan pengharapan mereka. Ditambah lagi, mereka juga kehilangan salah satu dari tim mereka, yaitu Yudas, yang selama tiga tahun hidup bersama mengalami berbagai peristiwa menyenangkan, indah, dan ajaib bersama Tuhan Yesus. Yudas yang menjual Tuhannya dengan 30 keping perak, akhirnya menyesali tindakannya, membuang uang itu dan membunuh dirinya sendiri. Betapa sedihnya mereka mengingat hal itu, di mana saat itu jumlah mereka yang berkumpul tidak lagi 12, tapi berkurang satu.

Dalam kondisi kehilangan itu, bagaimana kita membayangkan wajah Lewi yang bekerja di kantor bea cukai? Apa kira-kira yang ada dalam hati dan pikirannya? Dia telah resign, meninggalkan pekerjaannya, dan mengikuti panggilan Tuhan sebagai full time (Luk. 5:27-28). Namun tragis, Tuhan Yesus yang memanggilnya untuk mengikutinya, mati di kayu salib. Dia mati karena demonstrasi ‘jutaan’ massa yang beringas dan sangat membenci-Nya. Meskipun gubernur Pilatus dengan jelas mengatakan, “Aku tidak mendapati kesalahan apapun pada-Nya” (Yoh. 18:38). Apakah Lewi meninggalkan pekerjaan yang telah mapan untuk suatu kesia-siaan? Resign for nothing, bagaimana mungkin ceria? Sebaliknya, sunyi…

Jika kita beralih dari Lewi kepada rasul-rasul lain, termasuk Petrus, bagaimana kira-kira ekspresinya? Saya kira Petrus jauh lebih murung, sedih, bahkan kecewa. Dia yang telah mapan di ‘kantor perikanan’ di Galilea, juga dipanggil oleh Tuhan untuk meninggalkan kantornya dan mengikuti-Nya secara full-time (Mat. 4:18-20). Tiga tahun Petrus telah meninggalkan profesinya demi suatu pengharapan yang lebih baik. Dengan penuh semangat, dia memimpin tim 12 untuk setia dan loyal kepada guru mereka. Dia bahkan berani berkata bahwa sekiranya yang lain berontak dan tidak loyal, dia siap mati bagi guru dan Tuhannya (Mat. 26:33).

Namun di Sabtu sunyi itu, jam demi jam berlalu, penuh dengan kesedihan akibat kehilangan Tuhan dan rekannya. Jam demi jam berlalu penuh tanya, mengapa semua itu berakhir begitu sadis dan mengerikan? Mengapa Yesus yang sanggup menghentikan badai topan di laut Galilea menjadi begitu lemah dan tidak berdaya menghentikan segala kejahatan yang diterima-Nya? Sementara itu, terbayang kembali di pikiran Petrus bagaimana Yesus disiksa dan dianiaya dengan begitu hina.

Jam demi jam berlalu, Petrus dan rekan-rekannya yang penuh ketakutan, tidak berdaya melawan rasa kecewa. Dalam kondisi itu, barangkali berbagai pemikiran mulai muncul. Apa yang akan dikerjakan di esok hari? Kembali melaut dan menangkap ikan? Apa kata orang? Lalu bagaimana dengan segala perangkat atau peralatan yang sudah lama ditinggalkan dan tidak dipakai? Apapun yang terjadi, hidup tetap harus dijalani, tidak dapat terus meratapi kegagalan, dan ditelan kesedihan. Akhirnya, keputusan bulat diambil Petrus untuk kembali melaut (Yoh. 21:3) Namun itu adalah hari Sabbat, hari yang dilarang untuk bekerja. Maka, mereka harus terus bertahan dalam kesunyian.

BAGIKAN: