Sinergi Untuk Visi

Dalam sebuah kunjungan misioner ke Afrika, Mark Shaw dikejutkan oleh dua karakteristik utama Kekristenan di Afrika. Karakteristik pertama adalah fakta yang menakjubkan tentang perkembangan jumlah orang Kristen di sana. Pada tahun 1900, ada sekitar 8 juta atau 10% dari jumlah penduduk di Afrika yang mengaku Kristen. Sekitar tahun 1980 jumlah mereka mencapai 250 juta atau hampir 50% dari penduduk benua Afrika. Namun, karakteristik kedua yang menyedihkan adalah tumbuhnya juga perpecahan yang hebat dalam tubuh Kekristenan di Afrika. Ada ribuan denominasi gereja yang ada di Afrika, dan jumlah mereka semakin lama semakin meningkat.

Perpecahan menjadi fakta yang sangat menyedihkan dalam perkembangan Kekristenan di dunia. Pada awal abad ke-20, terdapat sekitar 1900 denominasi di dunia Barat. Namun menjelang akhir tahun 1980-an, diperkirakan telah terdapat hampir 22.000 denominasi gereja. Bagaimana kondisi di Indonesia? Saya kuatir yang menonjol di Indonesia justru adalah karakteristik kedua. Gereja dan lembaga-lembaga di Indonesia bertumbuh subur dari segi labelnya (bukan anggotanya) diakibatkan oleh perpecahan. Dalam sebuah pembicaraan saya dengan seorang pendeta sebuah gereja di suatu lokasi perumahan di Jakarta, ia menyebutkan bahwa di perumahannya saja terdapat lebih dari 200 gereja atau persekutuan Kristen. Suatu jumlah yang sangat mencengangkan dibandingkan jumlah orang Kristen yang ada di perumahan itu, tetapi itulah faktanya.

Dalam renungan singkat ini, saya tidak akan banyak membahas tentang perpecahan, namun lebih menitikberatkan urgensi sebuah sinergi untuk mencapai visi bersama.

Kebutuhan Sebuah Sinergi

Paulus dalam pelayanannya di jemaat Asia kecil juga menghadapi banyak kelompok yang potensial mengalami perpecahan. Ada kelompok Yahudi yang memiliki kebanggaan khusus karena statusnya sebagai keturunan Abraham, pewaris janji Allah. Ada kelompok Yunani yang merasa unggul dalam budaya, pemikiran, dan bangsa Romawi yang menguasai dunia masa itu. Dan masih banyak kelompok lainnya seperti kelompok pejabat elite gereja, kelompok orang kaya, kelompok pengikut rasul A atau B, dan lainnya. Dalam kondisi demikian, rasul Paulus dalam surat Efesus mengingatkan kepada jemaat:

1. Di dalam Kristus tidak ada lagi kelompok khusus (Efesus 2:11-22).

Semuanya telah dipersatukan di dalam Kristus. Tidak ada lagi kelompok Yahudi yang mendapat status khusus karena keturunan Abraham dan bersunat. Tidak ada lagi kelompok Yunani, yang merasa unggul secara politik dan budaya. Kristus telah mempersatukan semuanya dan merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan. Kesatuan ini bukanlah penggabungan atau pengelompokan dua kelompok, tetapi kesatuan yang baru, kesatuan yang ada di dalam Kristus. Paulus menegaskan lebih lanjut, “Kita semua adalah kawan sewarga dari anggota-anggota keluarga kerajaan Allah. Di dalam Kristus kita semua dibangun menjadi tempat kediaman Allah” (ay.19-22). Mark Shaw dalam buku “Sepuluh Pemikiran Besar dari Sejarah Gereja” menyatakan, saat ini dunia dikuasai oleh ideologi “saya yang terutama” (me first). Ideologi ini secara tidak sadar juga menguasai gereja atau parachurch. Kita semakin berlomba dalam perlombaan untuk menunjukkan kemampuan kita, kekayaan organisasi kita, keberhasilan gereja kita dan seterusnya. Dengan kata lain, kita berlomba untuk menunjukkan ’saya yang terutama’. Hal inilah yang patut kita waspadai bersama, sebagai penghambat kesatuan. Fakta bahwa di dalam Kristus kita telah dipersatukan dan oleh karena itu tidak ada kelompok-kelompok khusus ini, seharusnya menjadikan kita rendah hati untuk saling mengakui dan saling membutuhkan satu dengan yang lain.

2. Adanya visi bersama yang harus dicapai.

Rasul Paulus tidak hanya berhenti untuk menekankan fakta kesatuan di dalam Kristus. Tetapi Paulus dalam Efesus 4:1-16 bergerak maju dengan menegaskan adanya visi kedewasaan umat yang harus dicapai. Allah mengaruniakan kepada kita berbagai macam karunia dan peran demi memperlengkapi jemaat bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus (ay.10). Dalam konteks tubuh Kristus sekarang, Allah memperlengkapi gereja dan parachurch dengan karunia dan peran yang berbeda-beda untuk bersinergi demi pembangunan gereja. Ada banyak hal yang harus dikerjakan secara bersama. Tidak ada satupun lembaga pelayanan yang sempurna dan sanggup untuk melakukan segalanya. Visi untuk kemuliaan Kristus seharusnya mengalahkan segala kesombongan kita yang cenderung menganggap remeh orang lain.

Dalam buku Life Together, Dietrich Bonhoeffer menyatakan bahwa komunitas Kristen seharusnya merupakan harta tak ternilai dari Allah. Keberadaan gereja atau parachurch lain seharusnya dipandang sebagai karunia Allah bukan sebagai saingan dan ancaman. Kesatuan menjadi terancam semata-mata oleh kehadiran bersama sejumlah institusi yang bukannya saling mendukung atau bekerja sama, tetapi justru saling bermusuhan satu dengan yang lain.

Dalam pelayanan ke korban tsunami Aceh-Nias, beberapa tahun lalu, sangat dirasakan indahnya bekerja sama. Antar gereja dan antar parachurch saling bahu membahu dengan satu tujuan untuk melayani para korban tsunami secepatnya. Seharusnya, begitulah kondisi yang harus dicapai. Bersinergi untuk mencapai visi yang lebih luas, dan menghasilkan buah pelayanan yang lebih banyak bagi bangsa ini.

Hambatan Sebuah Sinergi

“Dalam zaman yang mengandalkan diri sendiri ini, komunitas Kristen harus perlu perantara yaitu Kristus sendiri” (Bonhoeffer, Life Together). Persekutuan harus menjadikan Kristus sebagai pengantaranya. Lebih lanjut dia berkata, “Tanpa Kristus kita tidak mungkin mengenal Allah… Namun, tanpa Kristus kita juga tidak mungkin dapat mengenal saudara seiman kita… Jalan tersebut tertutup oleh ego kita sendiri”. Jalan untuk bersinergi memang bukanlah jalan yang mudah ditempuh, dan hambatan utamanya adalah terletak pada diri (baca: lembaga, gereja) kita sendiri.

BAGIKAN: