Kasih Karunia yang Mahal

Ketika ingin merenungkan arti dari kasih karunia yang mahal, saya teringat dengan Dietrich Bonhoeffer. Dia adalah teolog Jerman yang berjuang melawan kediktatoran Hitler pada PD II. Oleh karena perjuangannya, dia di penjara dan dihukum mati beberapa waktu sebelum Jerman kalah perang dan menyerah. Selama di penjara, dia menulis sebuah buku yang berjudul The Cost of Discipleship —buku ini sudah pernah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh BPK-GM dengan judul Mengikut Yesus– Buku ini adalah hasil refleksi kritis Bonhoeffer terhadap kondisi gereja di zamannya. Salah satu topik yang dibicarakannya adalah “cheap grace” (kasih karunia murahan). Dia mengatakan bahwa pada saat itu gereja telah merosot dengan memproklamasikan “cheap grace”.

“Cheap grace is preaching of forgiveness without requiring repentance, baptism without church discipline, communion without confession. Cheap grace is grace without discipleship, grace without the cross, grace without Jesus Christ.” Itulah peringatan Bonhoeffer lebih dari enam puluh tahun yang lalu. Peringatan Bonhoeffer ini tentu tetap relevan untuk kita masa kini. Sebab dalam banyak hal barangkali kita sebagai orang Kristen sedang menghayati dan menjalani cheap grace, kekristenan tanpa menjadi murid, tanpa pelayanan, tanpa pengorbanan, tanpa salib, bahkan tanpa Yesus Kristus.

Pada masa Paskah ini alangkah baiknya kita kembali menghayati kasih karunia yang mahal yang dikerjakan Allah untuk kita, yakni keselamatan kita. Supaya bisa menghayati kasih karunia yang mahal itu, saya mengajak kita merenungkan 3 hal penting dalam Markus 8:31-38 tentang mengapa kasih karunia itu mahal?

Pertama, karena Allah membayar mahal untuk kita. “Anak manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam- imam kepala, dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari” (31). Harga keselamatan kita sangat mahal. Sebagai manusia berdosa kita tidak mungkin menyelamatkan diri dari penghakiman Allah sebab upah dosa adalah maut (Roma 3:23). Tempat kita manusia berdosa sebenarnya adalah kerajaan maut atau neraka. Namun, Allah penuh dengan rahmat, kasih-Nya besar, dilimpahkan-Nya kepada kita (Efesus 2:4). Lalu Dia mengutus Anak-Nya yang Tunggal turun ke dunia, mengambil rupa seorang hamba, menjadi sama dengan manusia, merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi 2:7-8). Yesus Kristus, Anak Allah, membayar dengan nyawa-Nya sendiri untuk keselamatan kita. Harga keselamatan kita adalah penderitaan dan kematian Yesus Kristus di kayu salib. Mahal? Ya, mahal sekali.

Kedua, karena harganya lebih berharga dibandingkan harta dunia ini. “Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia ini, tetapi ia kehilangan nyawanya. Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” (36-37). Memperoleh seluruh dunia ini dapat diartikan melengkapi diri dengan benda-benda duniawi, menjadi kaya (Bolkestein, 1985). Kehilangan nyawa secara harfiah diartikan “menderita kerugian pada jiwanya”, yang dapat juga berarti “kehilangan hidup kekal atau keselamatan”. Jadi Yesus hendak mengatakan bahwa nilai keselamatan yang disediakan Allah tidak sebanding dengan seluruh isi dunia. Karena apa pun – termasuk harta benda seiisi dunia ini – tidak dapat membayar kehidupan kekal atau keselamatan itu. Sungguh keselamatan itu mahal bukan. Karena itu alangkah bodohnya seseorang ‘melepaskan’ Kristus demi jabatan, wanita cantik, pria ganteng, dan harta benda yang berlimpah.

Ketiga, karena pemilik keselamatan (kasih karunia yang mahal) itu harus bayar harga dengan mahal juga. “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut aku.” (ay. 34-35). Tuntutan utama bagi pemilik keselamatan, yakni murid Kristus, ialah keputusan untuk menyangkal diri. Menyangkal diri adalah kebalikan dari mempertahankan diri, yakni kesediaan untuk menanggalkan hak dan berkorban. Tentu ini tidak ada kaitan dengan penyangkalan diri menurut paham Buddhisme, tetapi lebih ke arah mempersembahkan hidup ini demi kehendak Yesus dan Kerajaan Allah. Mempersembahkan pikiran, waktu, tenaga, uang, dalam semangat berkorban –bukan karena kelebihan atau sisa-sisa– adalah bagian dari menyangkal diri. Yang kedua adalah memikul salibnya. Salib adalah lambang penderitaan dan kehinaan. Setiap murid Kristus harus siap menderita dan terhina karena Kristus. Ya, sebagaimana Kristus membayar mahal untuk keselamatan itu, murid Kristus pemilik keselamatan itu pun harus siap sedia membayar mahal untuk itu. Di balik perkataan ini, sebenarnya Yesus hendak mengatakan, siap sedia mati untuk-Ku.

Lalu hal terakhir yang diperintahkan Yesus adalah mengikut Dia dalam arti yang sesungguhnya, yaitu mengikut secara kontinu dan tetap. Dalam hal ini terutama adalah menyesuaikan kehendak kita dengan kehendak dan perintah Yesus karena Dia adalah Allah dan Juruselamat kita. Yesus menjadi pemimpin dan pengarah hidup kita, bukan diri kita lagi. Tidak mudah, tetapi pemilik kasih karunia yang mahal harus sampai pada hidup seperti itu.

Di manakah posisi kita para siswa, mahasiswa, dan alumni Kristen saat ini? Apakah seperti disinyalir Bonhoeffer sebagai Kristen yang menghidupi cheap grace ? Semoga tidak. Semoga kita semua menghidupi costly grace (kasih karunia yang mahal) karena kita mengerti dan memahami bahwa keselamatan itu memang kasih karunia yang mahal sebagaimana dinyatakan Firman Tuhan yang kita renungkan.

BAGIKAN: