Kristen Amfibi

Antara Kesalehan Rohani dan Ke(tidak)salehan Jasmani

“Roh memang penurut, tetapi daging lemah.”

Ah, itu sih sudah kuno. Bukankah kasih karunia Allah telah menutupi segala dosa kita? Bukankah kita adalah orang-orang merdeka? Berarti kita bebas melakukan segala sesuatu dengan tubuh kita. Toh, akhirnya tubuh ini akan dikubur dan kembali menjadi debu. Yang terpenting adalah kondisi rohani kita: rajin berdoa, saat teduh, ibadah ke gereja, persekutuan, melayani, memberi, persembahan dengan sukarela dan sukacita. Benarkah? Tentu saja tidak! Atau mengutip perkataan Paulus: “Binasalah pemikiran yang demikian!” (LAI: ‘sekali-sekali tidak’ 1Kor. 6:15)

Kurang lebih kondisi yang demikian terjadi pada jemaat di Korintus sehingga Paulus mengkritisi mereka (1Kor. 6:12-20). Paling tidak ada dua hal yang diyakini jemaat Korintus. Pertama, karena mereka sudah ditebus, maka mereka merasa bebas untuk melakukan segala sesuatu (“segala sesuatu halal bagiku” ay. 12). Kedua, mereka memisahkan antara yang rohani dan jasmani (tubuh). Tubuh akan binasa, yang utama adalah kesalehan rohani. Jadi apapun yang dilakukan tubuh, tidak berhubungan dengan kekekalan (“makanan adalah untuk perut, dan perut untuk makanan, tetapi keduanya akan dibinasakan Tuhan,” ay. 13a). Pemikiran yang demikian menjadi pembenaran bagi mereka untuk melakukan satu hal, kebebasan seksual.

Paulus tidak menolak pernyataan mereka. Pernyataan mereka ada benarnya, tapi hanya sebagian. Dan kebenaran yang setengah-setengah memiliki dampak yang sama buruknya dengan absen kebenaran. Untuk pernyataan pertama, Paulus segera memberi batasan: memang aku bebas, tapi jangan sampai kebebasan itu justru menguasai dan memperbudak kita (ay. 12). Untuk pernyataan kedua, Paulus mengkritik perbandingan yang mereka lakukan (sebagaimana makanan dan perut hanya urusan jasmani demikian pula tubuh dan percabulan juga urusan jasmani). Makanan dan perut tidak sama dengan masalah tubuh dan dosa seksual.

Ada yang salah dengan pemahaman jemaat Korintus mengenai tubuh. Bagi mereka jiwa dan tubuh adalah dua hal yang berbeda; kesalehan jiwa tidak diukur dari tindakan tubuh. Bagi Paulus, kesalehan jiwa justru terlihat dari tindakan tubuh (Yunani: soma): perilaku kita, perkataan, hubungan dengan orang lain, segala yang terlihat adalah cermin dari jati diri kita sebagai murid Kristus. Tidak heran, Paulus kemudian berbicara panjang lebar mengenai ‘teologi tubuh’ (soma)’. Pertama, tubuh adalah untuk Tuhan dan Tuhan untuk tubuh (bukan tubuh untuk percabulan). Dan tubuh tidak binasa (bukan seperti makanan dan perut), seperti pengakuan iman rasuli, “Aku percaya kepada kebangkitan tubuh,” (bdk. 1Kor. 15:35-58). Kedua, tubuh kita adalah anggota tubuh Kristus. Kenajisan seksual yang kita lakukan bukan hanya merupakan dosa kepada Kristus tapi mengambil apa yang seharusnya menjadi milik Kristus (tubuh Kristus) dan dihubungkan dengan kenajisan. Dengan kata lain, ketika kita melakukan dosa seksual, kita sebenarnya menajiskan tubuh Kristus. Ketiga, tubuh kita adalah bait Roh Kudus. Yang maha kudus hadir dan berdiam di dalam kita. Kita sudah dibeli, ditebus. Kita bukan milik kita sendiri, bukan pula di bawah kuasa dosa, tapi kita adalah milik Kristus. Kita tidak bisa berbuat sesuka hati kita dengan tubuh kita sendiri. Tapi segala yang kita lakukan dalam tubuh ini, sepatutnya memuliakan Tuhan.

Kristen Amfibi

Kita seringkali menjadi Kristen amfibi. Kita hidup di dua ‘dunia’ yang terpisah dengan dua standar yang berbeda. Sadar atau tidak sadar kita memisahkan (dan membenarkan pemisahan) antara kehidupan rohani dengan kehidupan jasmani. Apa yang dilakukan secara jasmani (tubuh) hanya sedikit atau bahkan tidak berhubungan dengan kesalehan rohani. Ada banyak contoh pemisahan yang demikian, (misalnya: hanya berdoa tapi tidak bertindak, memberi perpuluhan dari hasil korupsi; beribadah dengan khidmat setelah menyontek; menyogok polisi dalam perjalanan pelayanan; dan sebagainya). Termasuk di dalamnya adalah permasalahan dosa seksual.

Tidak ada yang lucu dan ringan jika berbicara mengenai dosa seksual (entah hanya memikirkan, melihat, membaca, mendengar, atau melakukan). Selama seseorang masih hidup, pasti dia akan menghadapi godaan seksual. Tidak peduli apakah pria atau wanita; Kristen atau bukan; muda, baru menikah atau sudah puluhan tahun menikah; miskin atau kaya; pemimpin atau pesuruh; jemaat atau pengurus.

Seperti yang saya katakan tadi, dosa seksual mungkin terjadi karena adanya pemisahan antara yang rohani dan yang jasmani. Apa yang ada dalam benak seseorang yang melakukan dosa seksual?

  • Hanya dosa melihat atau memikirkan kok; bukan dosa seksual, cuma dosa khilaf.
  • Tidak apa-apa yang penting saya masih tetap berdoa dan beribadah.
  • Aduh Tuhan, maaf. Tapi bukankah saya sudah mengabdi lama, bahkan saya banyak melayani? Yang tadi tidak seberapa bukan? Pasti Allah berkenan memberi dispensasi.
  • Tidak Tuhan, ini bagian dari hubungan kami. Yang penting kan masih dalam batas kewajaran? Kami berdua juga tetap cinta Tuhan kok, dan ujungnya kan pernikahan.
  • Tentu saya mengasihi pasangan saya Tuhan. Saya bertemu dengan si wanita atau pria lain itu hanya sesekali kok, hanya teman. Kami hanya ngobrol, tidak terlalu macam-macam kok.

Pada dasarnya apapun dosa seksual yang kita lakukan, kita umumnya ‘meringankan’ permasalahan yang ada, bahkan membenarkannya dalam argumen kita dengan Tuhan. Ujung-ujungnya sebenarnya kita tidak terlalu mempengaruhi kasih dan ketaatan kita kepada Tuhan. Apa yang dilakukan oleh tubuh hanya  sedikit berdampak terhadap kesalehan rohani. Binasalah pemikiran yang demikian!

Di hadapan Tuhan yang menciptakan dan mengudukan tubuh kita, janganlah kita mengotori apa yang sudah Allah sucikan. Tubuhmu bukan milikmu, tapi Kristus! Tubuh kita adalah bagian tubuh Kristus, bukan hanya kita yang terpengaruh, tapi juga keluarga, gereja dan pelayanan turut mengalami dampak buruk. Berhenti sekarang juga!

“Berjaga-jagalah dan berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: Roh memang penurut, tetapi daging lemah.” (Mat. 26:41)

Tips pertolongan pertama:

  1. Jangan atasi sendiri. Allah tidak menciptakan kita untuk berperang sendiri. Kita adalah bagian dari komunitas murid Kristus.
  2. Hubungi senior rohani. Akui dan ceritakan pergumulan anda, dan minta bantuannya.
  3. Usahakan ada teman atau komunitas dimana kita bisa menceritakan dan mempertanggungjawabkan kehidupan Kristen kita –termasuk masalah seksual, gaya pacaran, dan lain-lain. Di dalam komunitas kecil itulah kita bisa saling menguatkan dan mendoakan.
BAGIKAN: