Mangkuk Hukum Untuk Kasih dan Keadilan

“TUHAN Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka. Lalu TUHAN Allah mengusir dia dari taman Eden supaya ia mengusahakan tanah dari mana ia diambil.”

Bayangkan bagian penting dari kisah kejatuhan Manusia ini divisualisasikan ke dalam sebuah plot drama. Kira-kira bagaimana raut muka TUHAN Allah pada adegan itu? Saya mencoba membayangkan sosok seorang ibu yang sedang marah dan kecewa pada anaknya yang ketahuan menjadi bandar narkoba. Namun di tengah amarahnya, ia membuatkan pakaian dan mengenakannya pada anaknya. Pada saat yang bersamaan sang ibu juga mengusirnya dari rumah. Belum lagi jika kisah tersebut diakhiri dengan adegan sang ibu rela menggantikan anaknya untuk menjalani vonis hukuman mati. Ah, tak kuasa saya membayangkannya. Adegan pergulatan batin yang kompleks dari seorang ibu dimana kasih dan pengampunan berjalan beriringan dengan keadilan. Inilah salah satu kebenaran yang sangat indah dan menakjubkan dalam iman Kristen.

Melalui persekutuan mahasiswa, saya mengenal konsep Kekristenan mengenai “benci dosa dan perbuatannya, namun kasihi orangnya,” serta “dosa memiliki konsekuensi logis.” Kedua konsep ini merupakan manifestasi dari pemahaman akan sifat Allah yang kasih dan adil dan mengacu pada kebenaran Alkitab akan dosa, anugerah keselamatan, dan penghakiman dari Allah.

Seluruh pemahaman tersebut ternyata menolong saya untuk menempatkan hukum negara dan hukum Allah dalam kehidupan. Saya memiliki visi hidup mensejahterakan masyarakat melalui hukum khususnya pada masyarakat marginal. Saya yakin bahwa hukum berfungsi mensejahterakan dan menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Berdasarkan visi inilah saya memilih untuk bekerja di sebuah lembaga bantuan hukum (non-profit). Kami fokus memberi bantuan hukum struktural kepada mereka yang miskin (secara ekonomi, politik, sosial, budaya), buta hukum dan tertindas. Saat saya menjalani panggilan ini, saya menjumpai sebuah pelabelan kepada para umat Kristen yaitu pemaaf dan penuh kasih. Tapi sayangnya, label tersebut dimaknai dengan keengganan orang Kristen dalam memproses secara hukum ketidakadilan yang mereka alami. Orang Kristen dianggap toleran terhadap ketidakadilan.

Bagaimana   jika   umat   Kristen   mengalami   kejahatan   kriminal? Bagaimana jika umat Kristen dilarang untuk beribadah dan ditindas? Bagaimana jika “agama” orang Kristen dihina? Apakah kita harus melawan? Bukankah hal tersebut bertentangan dengan prinsip kasih dan pengampunan? Benarkah demikian?

Penghakiman adalah milik Allah. Namun di sisi lain Tuhan juga mengizinkan adanya struktur negara dan hukum. Kita diperintahkan untuk menghormati dan taat pada hukum. Hukum adalah alat yang sah dibentuk negara untuk mengupayakan keadilan baik bagi individu dan masyarakat. Sehingga sebagai umat Kristiani, kita harus aktif melawan segala bentuk kejahatan dan ketidakadilan dengan menghentikannya dan melaporkannya kepada pihak yang berwajib agar tidak lagi jatuh korban.

Orang Kristen tidak dipanggil untuk menghadirkan keadilan secara pasif dan hanya untuk dirinya sendiri. Melainkan kitalah Imamat Rajani, umat kepunyaan Allah yang dipilih dan dipanggil untuk memberitakan keadilan Allah di dunia. Orang Kristen yang diam dan pasif dalam mengupayakan keadilan sama saja dengan menyatakan pada dunia bahwa Allah kita tidak berkuasa dan berotoritas, Ia tidak adil, tidak kasih dan tidak maha pengampun.

Sebagai seorang praktisi hukum Kristen, saya mencoba memaknai kembali kasih, pengampunan dan keadilan. Mari kita ambil contoh peristiwa pembubaran KKR Natal di Sabuga yang lalu. Peristiwa ini pastilah membuat kita geram sekaligus sedih. Lalu apa yang harus dilakukan umat Kristen?

Bagi saya, respon yang tepat ialah tidak hanya berhenti sampai pada mendoakan, mengampuni dan berhasil mengupayakan diselenggarakannya lagi ibadah. Melainkan kita harus melaporkan para pelaku kepada pihak kepolisian karena telah melakukan tindak pidana pembubaran ibadah. Inilah wujud kasih terhadap para pelaku pembubaran. Kasih ini adalah kasih yang tegas dan menolong para pelaku sadar bahwa tindakan mereka adalah sebuah kejahatan.

Apakah cukup sampai di situ? Tidak. Kasih harus terus dinyatakan sebagai wujud nyata dari pengampunan. Kita harus aktif membangun relasi dan dialog dengan kelompok yang belum bisa menerima keberadaan kita. Bahkan jika si pelaku harus mendekam dalam penjara, bukankah ada keluarga yang merasa kehilangan? Dalam kondisi inilah kita harusnya hadir membagikan kasih Kristus yang memulihkan.

Akhirnya hukum dalam perspektif Kristiani seharusnya menjadi wadah yang menyatukan kasih, pengampunan dan keadilan. Tentunya hukum di sini  adalah  hukum  yang  berkeadilan,  karena di negara kita masih banyak hukum yang justru melanggengkan ketidakadilan. Orang Kristen harus aktif mengupayakan keadilan dengan cara sadar hukum, baik hukum Allah maupun hukum negara. Karena hukum merupakan mangkuk bagi kasih dan keadilan, Tuhan pasti suka menikmati bubur kasih dan keadilan yang disajikan dalam mangkuk hukum yang cantik.

BAGIKAN: