Ibadah yang Sejati

Seringkali kita memakai kata ibadah ketika kita ingin mangatakan bahwa kita akan pergi ke gereja, Rohkris (Rohani Kristen) di sekolah-sekolah, PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen), maupun PAK (Persekutuan Alumni Kristen). Namun, apakah sebenarnya arti ibadah? Apakah ibadah hanya kegiatan yang biasa kita lakukan di gereja dan persekutuan saja? Berikut merupakan pertanyaan-pertanyaan umum seputar ibadah yang seringkali ditanyakan oleh siswa, mahasiswa, dan alumni. Kiranya pemaparan yang disampaikan oleh Ev. Jimmy Setiawan dapat menjawab setiap pertanyaan kita.

Ev. Jimmy Setiawan adalah seorang rohaniwan yang terpanggil untuk mendalami dan membagikan pengajaran tentang penyembahan kepada gereja-gereja protestan di Indonesia. Ia menekuni studi teologi dan liturgi di Calvin Theological Seminary, Amerika Serikat, di bawah bimbingan pakar liturgi seperti John Witvliet dan Howard Vanderwell. Ia juga pernah memperoleh Liturgical Studies Award dari Calvin Institute of Christian Worship. Setelah menyelesaikan pendidikannya dengan predikat cum laude, Ia kembali ke tanah air untuk mendirikan dan memimpin Wonders of Worship Ministry.

Apa itu ibadah?

Salah satu ayat Alkitab yang sangat baik memberikan definisi ibadah adalah Mazmur 29:2. Secara hakikat, ibadah adalah tanggapan kita terhadap siapa dan apa yang dilakukan Allah Tritunggal bagi kita. Jadi, ibadah selalu dimulai dari Tuhan. Tidak pernah dimulai dari manusia. Kita hanya meresponi keindahan karakter-Nya dan kemegahan karya-Nya. Bayangkan seperti seseorang yang mencicipi makanan terenak di dunia. Ia akan berespon secara spontan tetapi sepenuh hati. Ia pasti memuji makanan itu. Kira-kira seperti itulah esensi ibadah.

Selain itu, ibadah atau penyembahan juga dapat dimaknai sebagai sikap orang percaya yang mengakui dan merayakan Allah Tritunggal sebagai Sang Sumber dari kebermaknaan (significance), kepuasan (satisfaction) dan keamanan (security) seluruh kehidupan kita. Singkatnya, kita men-“Tuhan”-kan Allah Tritunggal. Tentu saja, secara obyektif, Allah Tritunggal adalah Tuhan yang tidak pernah berubah. Namun, ibadah adalah pengerahan dan pengarahan seluruh eksistensi diri kita kepada Dia, Sang Sumber.

Di sinilah ibadah Minggu menjadi amat penting karena dalam keseharian kita mudah sekali men-“Tuhan”-kan sesuatu yang lain. Kita memberhalakan sesuatu. Kita menjadikan uang, karir, kepandaian dan bahkan termasuk pengetahuan Alkitab kita sebagai sumber kebermaknaan, kepuasan dan keamanan diri kita! Ibadah menjadi momen di mana kita menurunkan “berhala” di hati kita (dethroning) dan mengakui kembali bahwa Allah Tritunggal saja yang menjadi penguasa tunggal hati kita (enthroning).

Apakah lingkup ibadah hanya pada saat kebaktian atau bisa dalam bentuk lain?

Tentu saja, kebaktian atau ibadah korporat jemaat adalah bentuk ibadah yang sangat penting dan tidak tergantikan. Sejak Perjanjian Lama, umat Tuhan sudah rutin berkumpul untuk menyembah Tuhan. Demikian pula Perjanjian Baru. Jemaat mula-mula melakukan ibadah bersama di rumah (oikos). Ketika masa penganiayaan tiba, mereka tidak bubar. Mereka melanjutkan ibadah bersama di tempat tersembunyi seperti kuburan bawah tanah (catacomb). Namun, kalau kita kembali ke hakikat ibadah atau penyembahan maka seluruh hidup kita adalah ibadah kepada Tuhan. Kita men-“Tuhan”-kan Allah Tritunggal dalam setiap aspek kehidupan kita termasuk pekerjaan dan studi.

Dalam 1 Korintus 10:31, kita harus melakukan segala sesuatu dengan orientasi bagi kemuliaan Tuhan. Bahkan Rasul Paulus memberikan contoh yang sangat sederhana dan sehari-hari, yaitu makan dan minum. Misalkan saja, sewaktu kita makan dan minum dengan hati yang bersyukur maka kita sudah menyembah Tuhan melalui tindakan makan dan minum itu. Contoh lain, saat kita menjaga kekudusan seksual selama pacaran maka kita sedang menyembah Tuhan melalui pola pacaran kita. Kita menghormati Tuhan. Itulah penyembahan. Apapun yang bisa menyenangkan hati Bapa surgawi adalah penyembahan yang bernilai kekal dan indah di mata-Nya.

Bagaimana seharusnya karakter dan sikap seseorang yang beribadah kepada Allah?

Nicholas Wolterstorff dalam bukunya tentang liturgi mengatakan bahwa setidaknya ada tiga sikap penting dari seorang penyembah, yaitu rasa hormat (reverence), kagum (awe) dan bersyukur (gratitude). Namun, saya ingin menambahkan dua saja yang juga sangat penting, yaitu kejujuran (honesty) dan ketulusan (sincerity).

Kita datang apa adanya kepada Tuhan. Kalau kita sedih, akui kita sedih. Kalau kita sedang meragukan Tuhan, akui itu. Persis seperti Pemazmur. Jujur di hadapan Tuhan. Saya prihatin karena tren ibadah gereja modern sepertinya hanya menekankan emosi bahagia (triumphalistic). Tidak ada lagi ruang dalam ibadah bagi jemaat untuk datang dengan jujur mengakui keberdosaan, kebodohan, kegagalan, kelemahan dan kesusahan dirinya kepada Tuhan. Kita perlu belajar dari Mazmur yang memuat begitu banyak jenis emosi yang dapat dibawa kepada Tuhan. Bahkan emosi “kemarahan” kepada Tuhan pun tidak apa-apa. Lihat Mazmur 22. Ketulusan adalah tentang apapun yang kita lakukan hendaknya dari dalam hati. Jangan hanya melakukan secara lahiriah tetapi tidak ada penghayatan batiniah. Lawannya ketulusan adalah kemunafikan yang hanya menekankan dan berhenti pada perilaku lahiriah.

Bagaimana pendapat Bapak tentang ibadah yang tidak memperbolehkan terlalu banyak alat musik? Atau bahkan sebaliknya harus full band karena lebih disukai jemaat?

Apa alasannya tidak boleh terlalu banyak alat musik? Kalau kita lihat ibadah di bait suci pada zaman Raja Salomo, banyak alat musik digunakan. Lihat juga Mazmur 150. Bagi saya, keputusan musikal seperti jenis alat musik dan gaya musik yang digunakan dalam ibadah harus berdasarkan filosofi nyanyian jemaat. Artinya, apakah memudahkan dan menggugah jemaat setempat untuk bernyanyi? Gaya musik yang cocok di gereja kita belum tentu pas di gereja lain. Ini berkaitan erat dengan budaya. Jadi kita harus mengenal baik-baik budaya dan bahasa musikal jemaat kita.

Sebenarnya, ini salah satu prinsip Reformasi yang penting, yaitu ibadah harus dalam bahasa budaya jemaat lokal (vernacular). Itu sebabnya, Calvin dan Luther menggunakan gaya musik dari masyarakat setempat dalam ibadah. Kita juga harus berhati-hati dengan penggunaan istilah “selera”. Saya pribadi tidak pernah memakai “selera” sebagai dasar penentuan musik ibadah. Istilah itu sendiri memberi pesan yang salah seolah-olah ibadah untuk memuaskan keinginan jemaat. Saya memakai istilah “bahasa budaya” jemaat. Musik harus sesuai dengan bahasa budaya jemaat supaya mereka bisa lebih otentik dalam bernyanyi menyembah Tuhan.

Seberapa pentingkah persiapan ibadah? Apakah harus dilakukan dari jauh-jauh hari?

Silakan baca 1 Tawarikh 25:7. Para penyanyi di bait suci juga berlatih. Padahal, mereka adalah para ahli seni. Namun, mereka pun menyiapkan diri lewat latihan. Sebenarnya, tidak perlu bicara dari Alkitab. Kita pakai akal sehat saja (common sense). Apapun yang kita lakukan akan menjadi lebih baik dan efektif bila dipersiapkan secara maksimal sebelumnya. Ada ungkapan yang sangat populer, “Practice makes perfect.” Ingat ya, kualitas suatu ibadah tidak mungkin lebih tinggi daripada kualitas persiapannya. Jadi kalau kualitas persiapannya hanya 50% maka jangan berharap bahwa ibadahnya akan menjadi 100%. Ini namanya mimpi di siang hari bolong.

Dalam Maleakhi 1, Tuhan menegur umat-Nya karena mempersembahkan hewan yang cacat dan di bawah standar. Padahal, mereka bisa memberikan yang terbaik! Ini harus menjadi peringatan bagi kita. Tuhan mau kita memberikan yang terbaik yang kita bisa. Kalau kita punya semangat memberi yang sebaik-baiknya (spirit of excellence) maka pertanyaan seberapa penting persiapan ibadah akan terjawab dengan sendirinya. Sangat penting!

Apa hal mendasar yang harus ada dalam suatu ibadah?

Karl Barth pernah mengatakan bahwa ibadah Kristiani adalah ibadah yang Trinitarian. Artinya, ibadah gereja haruslah secara eksplisit dan implisit menyatakan Allah Tritunggal. Robert Webber menambahkan bahwa ibadah Kristiani haruslah menonjolkan karya penebusan yang berpuncak pada Kristus (story of redemption). Saya tambahkan, ibadah yang sejati haruslah berpusat pada Injil (Gospel-centered). Semuanya ini bicara tentang isi (content) dari ibadah.

Sayangnya, akhir-akhir ini banyak gereja hanya memperhatikan soal gaya (style) ketimbang isi. Jadi ibadahnya memang menarik secara kemasan tetapi miskin makna rohani. Gereja terbawa arus spirit zaman sekarang yang lebih menekankan penampilan (appearance) daripada kedalaman (essence). Seharusnya jangan terjadi seperti ini. Gaya memang penting. Namun, pembicaraan tentang isi harus mendahului pembicaraan tentang gaya.

Apa tips/saranbagi para pemimpin rohani dan pengurus-pengurus persekutuan dalam mempersiapkan ibadah?

Dua saran saja. Pertama, semua pemimpin rohani dan pelayan ibadah harus memiliki pemahaman teologis yang tepat tentang ibadah. Ibadah adalah momen rohani. Itu sebabnya, apapun keputusan yang kita ambil tentang ibadah harus berdasarkan pertimbangan teologis. Tidak boleh hanya pragmatis atau estetis. Apalagi kalau keputusan kita hanya karena latah alias “ikut-ikutan”.

Kedua, persiapan rohani tidak boleh dilupakan! Jangan hanya fokus pada persiapan teknis. Saya salut dengan beberapa gereja Kharismatik yang saya tahu. Pelayan ibadahnya berkumpul 1-2 jam sebelum ibadah untuk berdoa selama puluhan menit. Mereka benar-benar berserah kepada Tuhan. Kita harus sungguh-sungguh bergantung pada Roh Kudus. Hanya Roh Kudus yang dapat menjamah dan mengubah hati manusia. Itu sebabnya, jika pelayananmu dalam ibadah ingin berdampak secara rohani kepada orang yang engkau layani maka engkau harus mengandalkan Roh Kudus yang akan bekerja melalui pelayananmu itu.

BAGIKAN: