Kekuatan Ibadah yang Hidup

“Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu, yang terus-menerus memuji-muji Engkau. Sela Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah!” (Mazmur 84:4-5)

Sering terjadi pada persekutuan, semakin bertambah usia, semakin ‘tua’ pula semangat rohaninya. Seperti orang tua yang tidak lagi kuat, kepolosan dan kesegaran rohani hanya menjadi kenangan masa lampau. Kegiatan persekutuan atau pelayanan yang tadinya dikerjakan dengan semangat menjadi sebuah rutinitas atau kebiasaan, berkurang gairah semangatnya. Satu di antara sekian kegiatan yang paling terasa kurang gairah atau semangatnya adalah kegiatan ibadah, baik pribadi maupun komunal. Ada yang kemudian menggantikan atau mengurangi kegiatan ibadah dengan kegiatan lain. Ketika remaja, saya pernah mengikuti acara kamp remaja Kristen. Kegiatannya antara lain hiking, games, api unggun, dan hanya sedikit acara ibadah. Entah karena panitia merasakan ibadah itu tidak menarik atau karena kami terlihat seperti anak remaja yang kurang spiritual sehingga kami disuguhi banyak acara kebersamaan. Mungkin keduanya.

Bila penurunan semangat ibadah ini terjadi, maka kehidupan dan pelayanan kita ada dalam bahaya. W. T. Corner dalam buku Christian Worship mengatakan bahwa ibadah adalah potret diri dari umat Allah. Kehidupan ibadah akan menentukan kehidupan umat di tengah dunia. Sehingga dia menegaskan bahwa, “The first business of the church is not evangelize, missions, etc, but worship.” Ibadah yang kuat akan menghasilkan umat yang kuat kesaksiannya di tengah dunia ini. Sebaliknya juga akan terjadi, ibadah yang lemah akan melumpuhkan kesaksian umat di tengah dunia. Apakah yang menentukan kuat lemahnya sebuah ibadah? Saya menemukan ada tiga kualitas ibadah, yaitu hidup, rapi, dan indah. Ibadah yang hidup terkait dengan semangat dan kuasa rohani yang terjadi dalam ibadah. Ibadah yang rapi terkait dengan keteraturan dan hal teknis. Ibadah yang indah terkait dengan karunia atau talenta pelayan ibadah. Dari ketiga kualitas ini, yang terutama dan terpenting adalah ibadah yang hidup. Inilah ibadah yang akan mengubah hidup dan menguatkan kesaksian hidup serta pelayanan umat. Dalam Mazmur 84, kita bisa belajar dari pemazmur tentang dinamika ibadah yang hidup.

1. Mengawali Ibadah dengan Kerinduan, Kehausan dan Semangat

Lihat bagaimana pemazmur mengekspresikan kerinduannya yang dalam untuk beribadah, “Betapa disenangi tempat kediaman-Mu, ya TUHAN semesta alam! Jiwaku hancur karena merindukan pelataran-pelataran TUHAN; hatiku dan dagingku bersorak-sorai kepada Allah yang hidup.” (1,2). Menghadiri ibadah bukanlah kewajiban atau rutinitas. Pemazmur sangat rindu untuk beribadah. Segenap dirinya begitu merindukan rumah Tuhan. Aplikasi kebenaran ini terutama berlaku kepada pengurus dan pelayan ibadah. Adakah pengurus yang terlebih dahulu sangat bersemangat untuk beribadah atau malah sibuk dengan urusan-urusan lain ketika ibadah berlangsung? Adakah pelayan ibadah yang melakukan persiapan ibadah dengan mengobarkan hati atau hanya mengejar ibadah yang sekedar rapi dan indah?

2. Menghayati Ibadah adalah Perjumpaan dengan Tuhan

Dalam ayat di atas, perhatikan bagaimana pemazmur menyamakan kerinduannya akan pelataran-pelataran Tuhan dengan kerinduannya kepada Allah yang hidup. Bagi pemazmur beribadah adalah datang kepada Allah yang hidup. Ibadah adalah perjumpaan dengan Tuhan. Itulah sebabnya mengapa ibadah mengubah hidup karena siapa yang berjumpa Tuhan akan diubahkan, dipulihkan, dan dikuatkan. Menikmati musik yang gempita dan lampu yang gemerlapan, drama yang bagus, atau khotbah yang menarik bukanlah tujuan ibadah. Tujuan ibadah adalah berjumpa dengan Tuhan. Bila perjumpaan dengan Tuhan tidak dialami jemaat, maka acara ibadah yang semeriah apapun menjadi sia-sia. Ada sebuah lagu Sekolah Minggu yang liriknya berkata:

Saya ingin bertemu dengan Yesus.
Saya ingin memandang wajah-Nya.
Saya capai berjalan dalam dunia yang fana,
Saya ingin bertemu dengannya.

Lirik yang sederhana tapi mengajarkan makna yang dalam tentang nilai ibadah, yaitu berjumpa dengan Tuhan.

3. Melihat Ibadah adalah Sebuah Kebahagiaan

Hidup ini bisa dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang manusia dan sudut pandang Tuhan. Kata berbahagia yang digunakan dalam Mazmur 84 : 4-5 terjemahan Septuaginta adalah kata ‘makarios’ yang sama dengan yang dipakai dalam ucapan bahagia khotbah Yesus di bukit. Makarios artinya berbahagia dari sudut pandang Tuhan. Manusia mempunyai sudut pandangnya sendiri dalam pengalaman yang disebut sebagai berbahagia. Pemazmur menyatakan kebahagiaan dari sudut pandang Tuhan.
Pemazmur mengatakan, “Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu, yang terus-menerus memuji-muji Engkau.” Dari sudut pandang Tuhan disini, orang yang berbahagia adalah mereka yang ada di rumah Tuhan dan beribadah memuji-muji Tuhan. Pemazmur sangat yakin akan kebenaran ini dan sangat mengalaminya sehingga dia iri kepada mereka yang bekerja melayani di Bait Allah dan kepada burung-burung yang bersarang di rumah Tuhan. Bahkan dia mengatakan, “…lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik.” (11).

Suatu kali saya mengikuti sebuah wisata di Karimun Jawa. Kegiatan pertama jatuh di hari Minggu, saya harus berangkat jam 9 pagi dari penginapan. Dalam benak saya, berarti masih ada kesempatan untuk mengikuti ibadah Minggu. Kemudian saya bertanya kepada orang setempat mengenai lokasi gereja terdekat. Menarik, orang tersebut berkata, “Udah kebiasaan ke gereja minggu ya mbak, gak enak kalau gak ke gereja.” Komentar yang menggelitik. Namun, membuat saya merenungkan sampai seberapa dalam saya meyakini dan mengalami bahwa ibadah adalah kebahagiaan yang ingin saya kejar, bukan beban kewajiban di hari libur.

Pengurus atau panitia biasa melakukan evaluasi acara ibadah. Dalam terang Mazmur 84 ini, baik sekali jika kita mengevaluasi acara ibadah dengan bertanya, “Berbahagiakah kita dan jemaat ketika dan sepulang dari acara ibadah tadi? Apakah pengurus atau panitia bersama jemaat menikmati kesukacitaan memuji Tuhan?” Itulah sebabnya evaluasi acara ibadah yang sesungguhnya, bukan terjadi dalam rapat evaluasi teknis, tetapi terjadi dalam doa dan pujian syukur yang mengalir karena mengalami kebahagiaan, sukacita dalam ibadah.

4. Mengalami Kekuatan Allah Dalam Ibadah

“Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah!” (Mzm. 84 : 5)

Dari sudut pandang Allah, yang berbahagia adalah mereka yang kekuatannya di dalam Tuhan. Dalam satu retret yang baru saya ikuti, pembicaranya membagikan topik “Mixed Motivation” dalam pelayanan. Bahwa kita bisa saja melayani dengan motivasi yang tercampur karena mencari kasih, penerimaan, dan kekuasaan dari pelayanan. Saya merasa tidak demikian, rasanya saya terbiasa memeriksa motivasi diri dalam pelayanan. Lalu beliau menjelaskan bahwa kasih, penerimaan, dan afirmasi adalah kebutuhan dasar yang sehat dan memang kita butuhkan, tetapi seharusnya kita mendapatkan semua itu dari Tuhan, bukan dari ladang pelayanan. Tiba-tiba saya merasa tersentak. Saya memang tidak mencari kasih, penerimaan, dan kekuasaan dari pelayanan. Namun, setelah sekian lama melayani, saya mendapat kasih persahabatan yang menyenangkan, hasil pelayanan yang meneguhkan, dan otoritas menjadi pemimpin. Saya menikmatinya. Salahkah bila kita menikmati buah pelayanan? Tidak, yang salah adalah ketika kita merasa puas dan cukup sehingga lalai mencari kekuatan dari Tuhan.

Saya membayangkan carang yang penuh buah karena bersatu dengan pokoknya. Segar dan indah. Namun, jika carang itu kemudian melepaskan diri dari sang pokok. Mungkin untuk sementara waktu, carang itu bisa tetap terlihat indah dengan buah-buahnya, tapi pelan dan pasti dia akan kering. Dalam terang Mazmur 84 : 5, yang benar-benar berbahagia adalah mereka yang mengalami sumber kekuatannya dalam Tuhan, bukan dari dirinya sendiri, bukan juga dari buah-buah pelayanan masa lalunya. Saya pikir apa yang terjadi secara personal ini bisa terjadi secara komunitas. Sebuah komunitas pelayanan bisa ada dalam bahaya mendapatkan kekuatannya dari buah pelayanan masa lampau, tidak lagi dari Tuhan. Kita merasa aman karena sekolah, kampus, kantor, atau lembaga-lembaga lainnya telah menyambut pelayanan kita.

Pemazmur mengkaitkan kondisi mereka yang kekuatannya di dalam Tuhan dengan yang berhasrat mengadakan ziarah menuju kota Sion, ke rumah Tuhan. Jadi pemazmur mengajarkan bahwa mereka yang mengalami kekuatan dalam Tuhan adalah mereka yang memiliki hasrat, kerinduan besar untuk beribadah, dan berjumpa dengan Tuhan. Kalau hasrat kita hanya kuat untuk berpikir, berdiskusi, berbuat sesuatu, tapi tidak punya hasrat untuk beribadah, kita harus berhati-hati. Mungkin kita sedang bergerak dengan kekuatan ‘batere’, tidak tahan lama, pelan tapi pasti kita akan berhenti karena kehabisan kekuatan. Kekuatan yang sesungguhnya dan tak habis-habisnya diberikan Tuhan kepada mereka yang berhasrat mengadakan ziarah.

5. Menyadari Ibadah Pribadi Berpengaruh Timbal Balik Dengan Ibadah Bersama

Menarik bila kita perhatikan, Mazmur yang dibacakan dalam ibadah komunal menggunakan kata pengganti tunggal, ‘aku’. “Tuhan adalah gembalaku… Jiwaku hancur karena merindukan pelataran-pelataran TUHAN…” Jadi pengalaman ibadah kepada Tuhan adalah pengalaman pribadi sekalipun dilakukan bersama-sama. Tiap-tiap individu mengalami secara personal perjumpaan dengan Tuhan dalam ibadah. Disinilah ibadah komunal yang benar, yaitu ibadah dimana seluruh umat aktif beribadah, bukan hanya pelayan ibadah. Mungkin kita tergoda untuk bertanya, “Mana yang duluan harus dibangun, ibadah pribadi (individu) atau ibadah komunal?” Saya pikir, ibadah komunal yang kuat terjadi bila jemaat dan pelayan ibadah adalah individu-individu yang memiliki kehidupan ibadah pribadi yang kuat. Minimal pelayan ibadah haruslah orang yang secara pribadi memiliki keyakinan dan pengalaman pemazmur di atas sehingga mereka sanggup memimpin jemaat untuk beribadah kepada Tuhan.

Penutup

Mari bercermin baik secara individu atau komunitas, apakah Mazmur 84 ini adalah kisah ibadah kita? Kiranya Perkantas menjadi kumpulan umat Tuhan yang “berjalan makin lama makin kuat, hendak menghadap Allah di Sion”. (Mzm. 84:7)

BAGIKAN: