On The Road to Emmaus

Kisah “On The Road to Emmaus” (Lukas 24:13-35) menceritakan tentang dua murid Yesus yang sedang melakukan perjalanan ke Emaus. Mereka dalam kondisi berkabung karena satu-satunya yang mereka harapkan untuk membebaskan bangsa Israel telah meninggal. Namun, Tuhan Yesus menampakkan diri-Nya dan memberikan suatu pengharapan. Pengharapan yang membuat mereka segera kembali ke Yerusalem dari Emaus ketika waktu masih malam, untuk bersaksi kepada para murid lainnya, bahwa Yesus telah bangkit.

Seperti itulah kira-kira cerita saya. Tahun 2013, saya berkabung karena tidak masuk universitas negeri manapun. Saya meragukan kasih Allah kepada saya. Akan tetapi, bermula dari 4 tahun lalu, saya berjumpa dengan Tuhan Yesus lewat Roma 3, Dia yang sudah mati dan bangkit untuk saya. Tuhan Yesus yang mengubah saya dari hamba dosa menjadi anak Allah. Tahun-tahun tersebut merupakan tahun di mana saya mengalami lahir baru. Saya dapat menemukan kasih-Nya di atas kayu salib. Saya juga belajar untuk mencintai perkuliahan saya di Universitas Bina Nusantara (Binus).

Pada akhir tahun 2015, saya diminta bergumul untuk menjadi Koordinator Umum (Korum) PO BINUS. Ini membuat saya kembali mempertanyakan iman saya, “Apakah kasih Kristus cukup membuatku mantap memilih menjadi korum?” Namun Tuhan kembali berbicara lewat Filipi 4. Saya terharu dan gentar karena ternyata sudah seharusnya kasih Kristus diteruskan kepada yang lain. Percakapan dengan Tuhan membawa saya pada pertumbuhan rohani. Pertumbuhan yang membawa saya semakin memaknai visi PO Binus dan pilihan yang mantap untuk menjadi korum. Kenapa? Karena saya telah berhutang terhadap Injil yang harus terus disebarkan kepada mahasiswa yang kelak akan menjadi harapan bagi bangsa.

Pelayanan menjadi korum merupakan pengalaman pembentukan yang luar biasa. Pada tahun terakhir di perkuliahan, saya semakin menyadari bahwa hutang tersebut belum lunas. Melihat pemuridan dalam Kelompok Kecil yang begitu terabaikan. Melihat pelayanan kami yang justru terlalu fokus pada event-event yang bersifat momentum sesaat. Oleh karena itu, saya begitu bersemangat ketika ditawari untuk menjadi penilik. Selanjutnya Tuhan membawa saya mengikuti RK XVI yang membahas tentang revitalisasi pemuridan. Hati saya semakin berkobar untuk membangun kembali pemuridan di PO BINUS.

Pada tahun yang sama. Saya diminta bergumul untuk menjadi staf. Tentu saja saya langsung menolak. Saya memang mengasihi mahasiwa, namun saya juga rindu menjadi berkat di dunia profesi. Akan tetapi, Tuhan menuntun saya mengikuti EARC (East Asia Regional Conference), retret mahasiswa se-Asia Timur. Saya belajar tentang student ministry negara-negara lain. Dalam acara inilah Tuhan menyatakan kehendak-Nya untuk menuntun saya dalam pelayanan mahasiswa. Tuhan menolong saya merenungkan pemeliharaan-Nya dalam student ministry di berbagai negara.

Dalam keadaan negara komunis yang menolak adanya satu Tuhan yang berkuasa, negara yang masih merintis pelayanan mahasiswa, dan pergumulan lainnya. Tuhan menyatakan bahwa Dia hadir dan merangkul semua pelayanan mahasiswa tidak hanya di Indonesia, tapi seluruh negara. Saya termenung dan semakin kagum dengan pemeliharaan Tuhan untuk dunia. Hal baru yang saya pelajari adalah bahwa student ministry di seluruh dunia sedang berjuang menghidupi nilai-nilai Kerajaan Allah. Saya kembali memaknai apa artinya “…. Aku menyertaimu kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:20). Tidak sampai di situ, Tuhan menyatakan kembali lewat KPM bahwa Indonesia sedang menuju kehancuran yang diakibatkan dosa. Namun, siapa yang akan menyatakan Injil tersebut kepada kaum intelektual harapan bangsa? Kepercayaan diri saya untuk masuk dunia profesi pun runtuh. Akhirnya di malam terakhir acara itu, saya memberi diri untuk menjadi staf.

Itulah kisah “On The Road to Emmaus” versi saya. Di tengah kesedihan dan keputusasaan, Tuhan menyatakan diri-Nya dan pengharapan yang terkandung dalam Injil. Lalu bagaimana dengan kelangsungan hidup saya? Saya mengimani perkataan Tuhan Yesus dalam Lukas 9:57 “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.”

Kerinduan saya ialah melihat setiap mahasiswa yang saya layani dapat mengalami kisah “On The Road to Emmaus” versi mereka masing-masing. Sehingga mereka dapat bersaksi “.. di Yudea, Samaria, hingga ke ujung bumi” (Kis. 1:8). Hingga akhirnya, “supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Filipi 2:10-11).

BAGIKAN: