Perkantas Bagi Bangsa

Sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia tidak pernah absen dalam mengalami gejolak politik. Gejolak yang awalnya dianggap wajar dan merupakan bagian dari proses demokratisasi berubah menjadi sebuah ancaman terhadap ideologi bangsa dan kelangsungan negara kesatuan Republik Indonesia. Tiba-tiba hak-hak warga negara yang dijamin konstitusi dibatasi dengan konsep mayoritas minoritas. Wacana menggantikan konstitusi dan ideologi negara (Pancasila) yang selama ini menjadi hal yang sakral, sekarang menjadi hal yang wajar dibicarakan secara umum. Ide untuk memakai ideologi baru, Khilafah ternyata telah memiliki pengikut yang sangat luas. Pergeseran nilai nilai kebangsaan dan hiruk pikuk politik ini ternyata tidak lagi dapat dianggap sebagai proses yang normal dari demokratisasi.

Selain itu, kita melihat beberapa pergeseran dimana politik yang selama ini dikuasai oleh partai-partai politik (dalam beberapa hal juga oleh beberapa pengamat politik tertentu) sekarang didominasi oleh avonturir-avonturir politik dari luar partai politik dan luar parlemen. Ocehan-ocehan mereka yang keluar dari pakem dan etika politik yang ada mendominasi ruang publik dan media selama kurang lebih lima tahun ini. Sayangnya pandangan-pandangan yang tak berdasar ini terus menerus menjadi konsumsi masyarakat siang dan malam di berbagai media sosial.

Politik memang sepertinya mendominasi kehidupan bangsa ini siang dan malam. Sesekali muncul isu kemiskinan, keadilan sosial, penegakan hukum, pencemaran lingkungan dan ketertinggalan pembangunan di Indonesia Timur. Isu-isu ini merupakan isu yang tak kalah pentingnya malah mungkin lebih penting dari isu politik, namun sedikit sekali mendapat perhatian masyarakat. Dalam lingkup gereja dan masyarakat Kristen, isu yang kerap diangkat adalah berubahnya peta statistik Kekristenan di daerah-daerah Papua, NTT, Manado, Nias, Tapanuli dan tempat-tempat lain.

Dengan begitu banyaknya persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, bagaimana kita dalam komunitas Perkantas menyikapinya? Bagaimana kita sebagai pengurus dan staff baik yang berada di tingkat nasional, cabang, perwakilan dan ranting menyikapi perubahan perubahan bangsa ini? Bagaimana kita sebagai alumni, mahasiswa dan siswa bersikap tentang perubahan perubahan ini?

Sebagai pengurus, rasanya sudah tidak mungkin kita bisa melakukan hal lain di luar yang telah kita lakukan selama ini. Pekerjaan di kantor, pelayanan sebagai pengurus di Perkantas, gereja dan keluarga telah menghabiskan waktu kita untuk hal-hal yang penting dan bermakna. Sebagai staff Perkantas, kita sudah mengisi waktu kita dengan hal-hal sangat mulia dengan penginjilan dan pemuridan. Apa lagi yang dapat kita berikan? Sebagai mahasiswa dan siswa, apa yang dapat kita lakukan? Bukankah kita diajarkan bahwa yang utama adalah belajar Firman Tuhan dan belajar di dalam kampus dan sekolah kita masing-masing dengan sebaik-baiknya? Kita semua sudah tidak punya waktu lagi untuk memberikan peran yang berarti terhadap permasalahan bangsa ini. Mungkin mahasiswa nantinya dapat berperan lebih banyak setelah menjadi alumni. Mungkin pengurus dapat berperan lebih memikirkan persoalan bangsa ini jika sudah tidak lagi duduk sebagai pengurus. Mungkin staff dapat memberikan perhatian yang lebih setelah ada staff lain yang menggantikan pelayanan yang selama ini kita pegang.

Sebagai murid Kristus, bagaimana mungkin kita tega mengesampingkan permasalahan bangsa ini? Bagaimana mungkin kita bisa mengeraskan hati dan berkata bahwa itu bukan bagian saya sementara kita melihat bangsa ini terkoyak-koyak dan terancam kelangsungannya dan keadilan sosial bagi saudara-saudara kita di Indonesia Timur masih jauh dari taraf yang memadai. Sejak pembinaan di kampus dan dalam berbagai kamp pembinaan, kita selalu mencari visi Allah bagi kita. Mencari apa yang Allah ingin kita kerjakan bagi Indonesia. Bagaimana mungkin kita dapat mengatakan bahwa kita mendapatkan visi dari Allah jika visi itu jauh sekali dari permasalahan bangsa ini? Visi bukanlah sesuatu yang abstrak yang bersifat ideal dan tidak membawa perubahan. Visi lahir dari beban yang Tuhan berikan kepada kita dari permasalahan di sekitar kita. Bagaimana mungkin kita yang sudah diselamatkan oleh Tuhan Yesus tidak bersedih hati dan menangisi bangsa Indonesia yang telah memberikan banyak bagi kita?

“Kata mereka kepadaku: Orang -orang yang masih tinggal di daerah sana, yang terhindar dari penawanan, ada dalam kesukaran besar dan dalam keadaan tercela. Tembok Yerusalem telah terbongkar dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakar.” Selanjutya, “Ketika kudengar berita ini, duduklah aku menangis dan berkabung selama beberapa hari. Aku berpuasa dan berdoa kehadirat Allah semesta langit”. Kemudian Nehemia berkata kepada raja, “Jika raja menganggap baik dan berkenan kepada hambamu ini, utuslah aku ke Yehuda, ke kota pekuburan nenek moyangku, supaya aku membangunnya kembali.” (baca Nehemia 1 dan 2).

“Maka Yusuf mengundurkan diri dari mereka, lalu menangis”. “Sesudah itu Yusuf memerintahkan, bahwa tempat gandum mereka akan diisi dengan gandum dan bahwa uang mereka masing-masing akan dikembalikan kedalam karungnya” (baca Kejadian 42).

“Jawab Amos kepada Amazia: Aku ini bukan nabi dan aku ini tidak termasuk golongan nabi, melainkan aku ini seorang peternak dan pemungut buah ara hutan. Tetapi Tuhan mengambil aku dari pekerjaan menggiring kambing domba, dan Tuhan berfirman kepadaku: Pergilah, bernubuat terhadap umat-Ku Israel.” (Amos 7: 14-15)

Dari Nehemia, Yusuf dan Amos kita melihat bahwa ketiga hamba Tuhan ini dipakai Tuhan untuk menolong bangsanya dan memberitakan kebenaran kepada bangsanya. Nehemia dan Yusuf dari kalangan istana punya banyak alasan untuk tidak memberikan diri mereka menolong bangsanya dan tetap mengerjakan pekerjaan-pekerjaan mereka di istana. Hidup mereka sudah nyaman dan mungkin penuh dengan hak-hak istimewa. Amos sebaliknya, sudah cukup sulit menjalani kehidupannya, bagaimana mungkin dia mau memberikan diri dipakai Tuhan menyampaikan kebenaran? Siapa yang akan melanjutkan pekerjaannya dan mungkin menghidupi keluarganya? Namun, ketiga hamba Tuhan ini –juga banyak contoh lainnya di Alkitab– punya hati yang berbelas kasih. Hati yang mengasihi tidak mungkin tidak tersentuh mendengar dan mengetahui permasalahan bangsa ini. Namun, hati yang sama dapat tidak berbuat apa-apa jika kita selalu mencari cara untuk mengatakan tidak atau kita selalu khawatir bahwa jika kita memberi diri, maka apa yang sedang kita kerjakan akan terbengkalai. Bahkan sering kali kita menganggap “pelayanan” yang kita kerjakan akan berantakan jika kita mengikuti hati kita yang berbelas kasih terhadap persoalan bangsa ini dengan memberikan waktu kita untuk melayani bangsa ini. Padahal kita meyakini bahwa pelayanan itu adalah milik Tuhan.

Tuhan yang sama memberikan hati yang berbelas kasih kepada kita untuk mengasihi bangsa ini. Bagaimana mungkin kita memisahkan pekerjaan Tuhan yang adalah pemilik pelayanan dan yang memanggil kita untuk melayani bangsa ini dengan berbagai macam permasalahannya? Jangan-jangan kita membatasi kesempatan Tuhan bekerja dalam diri kita? Jangan-jangan kita tidak mengerjakan talenta kita padahal Tuhan ingin kita rajin dan mau bekerja keras sehingga Dia akan memberikan talenta kepada kita lebih banyak lagi. Jangan-jangan kita sudah kehilangan seni berjalan dengan Allah dan menikmati tuntunan dan karya-karya-Nya yang ajaib di dalam segala kekurangan kita. Ingatlah, bahwa segala yang ada pada kita adalah milik Tuhan. Tuhan dapat memberi dan dapat mengambil. Ia dapat memberikan pelayanan kepada kita, namun Ia dapat juga mengambilnya. Ia memberikan kita pekerjaan yang baik, namun Ia juga dapat mengambilnya. Ia dapat memberikan kita hati yang mengasihi, namun Ia juga dapat mengambilnya. Saya tidak bisa membayangkan jika pelayan Tuhan sudah tidak lagi memiliki hati yang mengasihi. Jika itu terjadi maka tidak ada lagi hati yang rendah hati, hati seorang hamba.

Tuhan memanggil kita untuk melayani bangsa ini saat ini. Panggilan itu begitu jelas diserukan dari segala arah. Mari kita berdoa dengan sungguh-sungguh untuk Tuhan tetap memakai kita sebagai pelayan-Nya dan mempercayakan kita mengerjakan sebagian kecil dari persoalan bangsa ini. Mari kita juga menyisihkan sebagian kecil dari waktu kita yang ada di dalam pekerjaan, waktu di dalam pelayanan saat ini, ataupun waktu di dalam studi untuk mengerjakan persoalan kebangsaan bangsa ini, persoalan ketimpangan keadilan sosial di Indonesia Timur, persoalan penegakan keadilan, persoalan kemiskinan dan hal-hal lainnya. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.

BAGIKAN: