Badai Masih Belum Berlalu, Namun…

Saat saya menulis artikel ini, saya mendoakan saudara-saudara dan menyemangati saudara dalam perjuangan untuk memuridkan di masa sulit ini. Setahun lebih kita menjalani pemuridan jarak jauh. Memang, invasi Covid-19 nyaris melumpuhkan sendi-sendi pemuridan gereja Tuhan atau parachurch seperti Perkantas. Perubahan gaya, metode dan sarana pemuridan pun tidak terhindarkan. Namun, hal ini pun masih menimbulkan masalah yaitu soal kedekatan. Di dalam Alkitab seorang murid seharusnya mengikuti sang guru dari jarak dekat. Ya, murid menurut tradisi rabinik Yahudi adalah orang yang sangat dekat dengan gurunya. Seorang murid mengikuti gurunya ke mana pun sang guru pergi. Dan, ini yang membedakan murid dengan orang banyak. Orang banyak mengikuti sang guru dari jarak jauh. Murid mengikuti dari dekat.

Masalahnya bukan hanya itu. Pemuridan adalah proses transformasi seseorang menjadi serupa dengan Kristus. Perubahan itu sifatnya menyeluruh, bukan sekadar informasi kebenaran Alkitab yang dibagikan. Dalam 2Tim. 3:10 Paulus menuliskan kepada muridnya, Timotius: “Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku.” Memang di masa pandemi ini kita bisa melakukan PA secara online, membagikan tulisan, podcast, video, dan lain-lain, tetapi bagaimana dengan mengikuti cara hidup, pendirian, iman, kesabaran, kasih dan ketekunan seseorang dari jarak jauh? Bagaimana prinsip membagi hidup (life to life dan tidak sekadar mind to mind) terjadi dari jarak jauh?

Selagi pertanyaan di atas masih belum terjawab, kita juga dibayang-bayangi era kenormalan baru. Saat banyak kelompok pemuridan terbiasa dengan metode online, akankah persekutuan atau pemuridan kembali dilakukan tatap muka? Bagaimana jika orang sudah terbiasa dengan pemuridan online? Atau mereka tetap memilih pemuridan lewat Zoom Meeting atau Google Meet ketimbang bertemu secara fisik? Orang percaya tetap menyukai kebersamaan, terkoneksi satu sama lain, tetapi kehadiran fisik akan diganti dengan kamera dan layar telepon pintarnya.

Kini pertanyaannya adalah bagaimana kita melanjutkan pemuridan kita dari jarak jauh? Mungkinkah atau tidak mungkinkah kita lakukan? Kalau ya, bagaimanakah kita melakukannya dengan efektif dan produktif? Ada tiga hal yang saya yakin dapat kita lakukan dalam pemuridan kita, bahkan dalam keadaan kita saat ini.

  1. Adanya persahabatan rohani.

Para pemimpin, ingatlah bahwa sebuah kelompok dikatakan pemuridan, jika terjadi relasi yang mendalam antar anggotanya. Sehingga interaksi satu sama lain menjadi hidup karena ada akuntabilitas, berbagi hidup, saling mendorong, mendoakan satu sama lain. Bagaimana ini dilakukan dalam jarak yang jauh? Apakah cara ini bisa efektif? Mari kita melihat pola pemuridan Paulus. Saat Paulus mengalami “lock down” karena ancaman atau aniaya, atau saat Paulus harus di “karantina” dalam pemenjaraaannya, dia tidak bisa melayani murid-muridnya secara fisik. Maka Paulus membatasi pelayanannya dengan pelayanan jarak jauh, dengan menuliskan surat-surat kepada jemaat, maupun kepada pribadi-pribadi tertentu dari penjara. Tulisannya berisi ajaran, pelayanan pastoral, jawaban terhadap pertanyaan jemaat. Dalam surat-suratnya juga ada doa-doa yang dinaikkan dengan sungguh-sungguh, sangat dalam dan masih mengispirasi kita sampai saat ini. Paulus juga mengasihi dan kadang mencucurkan air mata bagi jemaat dengan kasih dan kerinduan yang besar. Dengan kegelisahannya memikirkan jemaat, Paulus memberikan dorongan, teguran dan nasihat dalam surat-suratnya. Dan bukan hanya melayani dari jarak jauh, Paulus sangat rindu berjumpa secara fisik dengan mereka, maka dia mengutus murid-muridnya yang dia percayai. Titus diutusnya ke Kreta. Timotius ke Tesalonika dan Korintus. Dalam keterbatasannya, Paulus memaksimalkan pemuridan jarak jauh melalui surat maupun kunjungan secara fisik nantinya. Jadi marilah kita mengoptimalkan apa yang sudah kita lakukan selama ini. Aktivitas pemuridan, interaksi bisa kita lakukan secara online dengan media sosial saat ini. Memang hal itu tidak bisa menggantikan tatap muka secara fisik, tetapi yang utama adalah konsistensi dan komitmen. Inilah yang menentukan apakah persahabatan rohani yang sejati terjadi atau tidak.

  1. Adanya pertumbuhan rohani yang intensional.

Para pemimpin, pertumbuhan tiap anggota bergantung padamu. Artinya sebagai pemimpin seharusnya kita tahu arah pertumbuhan, profil murid yang ingin dicapai dan kita tahu cara membawa tiap orang ke sana sampai mereka memiliki profil yang kita harapkan. Sebetulnya kita perlu mengevaluasi juga pemuridan konvensional kita selama ini. Bisa jadi pemuridan kita sangat aktif tetapi tidak ada progress atau pertumbuhan apapun. Pemuridan kita bisa menjelma menjadi kursus Alkitab tanpa perubahan hidup, kelompok sharing, kelompok bermain, kelompok makan-makan, dan sebagainya. Memang semuanya itu diperlukan, namun tidak memadai untuk bertumbuh secara rohani. Mari kita terus mempertahankan ritme pemuridan kita: komponen pengajaran, penyembahan, persekutuan dan misi dan memaksimalkannya di dalam pemuridan jarak jauh kita. Walau tentu ada penyesuaian, ada fleksibilitas dalam penerapan kurikulum pemuridan, tetapi kita tahu arahnya dan kita sedang membawa tiap-tiap orang ke sana, yaitu kesempurnaan dalam Kristus Yesus (Kol. 1: 28-29).

Dalam pandemi ini kita pernah merasakan seperti Paulus, “kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa … kami dihempaskan, namun tidak binasa.” (1Kor. 4:8-9). Namun, kehadiran kita masih bisa menjadi kehadiran yang berdampak dalam kehidupan mereka yang kita muridkan jika kita konsisten dan setia melakukannya. Saya ikut berdoa bersama saudara agar Tuhan karuniakan ide-ide baru dan segar, pikiran yang dibaharui, sukacita dan gairah memuridkan kepada kita. Dan saya akhiri tulisan ini dengan janji yang kekal dari Sang Guru Agung, “Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa…!” (Mat. 28:20b)

BAGIKAN: