Dari Sekedar Informasi Menuju Kepedulian

Pengetahuan adalah kekuatan dan teknologi memudahkan kita untuk mendapatkannya. Pada era ini pengetahuan dan informasi sudah layaknya gerbong kereta. Mereka tak habis-habisnya mengisi beranda sosial media kita. Sayangnya, berita yang kita terima tak selalu tersikapi dengan kebijaksanaan. Kita masih gagap dalam mengolah informasi dan pengetahuan instan yang kita peroleh. Sehingga kita cenderung bertindak destruktif kepada sesama karena sebuah respon impulsif. Kebanjiran informasi tapi kering refleksi adalah kalimat yang mungkin tepat menggambarkan situasi kita sekarang.

Memang sebuah informasi di tangan orang yang tepat akan menghasilkan daya guna yang besar. Bagi Nehemia informasi telah mengubah sejarah kehidupannya. Sebuah hari biasa berubah duka saat Nehemia mendapat kabar tentang bangsanya. Dia mendengar kabar dari Hanani (Neh. 1:1-4), salah seorang saudara Nehemia dari Yehuda. Hanani bercerita bahwa bangsa Israel yang ada di Yerusalem sedang dalam penderitaan besar. Hidup mereka berada dalam keadaan tercela dan tembok kotanya runtuh.

Ini begitu kontras dengan kehidupan Nehemia di Puri Susan. Hidup Nehemia jauh dari kata penderitaan. Dia menjadi pejabat di istana Persia dan mendapatkan kepercayaan untuk menjadi seorang pembawa minuman raja. Sebuah peranan yang penting bagi kelangsungan hidup sang raja. Namun, kemewahan seperti itu tidak membuat Nehemia tumpul hati. Dia cukup peduli hingga meneteskan air mata bagi kondisi bangsanya. Belas kasihan masih berdiam di hatinya. Sehingga matanya tak tertutup bagi penderitaan sesama dan hatinya tidak cukup egois untuk menikmati kenyamanan di istana sendirian.

Namun, mengapa Nehemia bisa begitu berduka meskipun hidup jauh dari derita? Kita bisa mengetahui rahasianya dari isi doa Nehemia (Neh. 1:5-11). Nehemia berdoa dengan didasarkan pada keyakinannya akan firman Tuhan. Firman inilah yang menjaga dan membentuk hatinya untuk siap peduli bagi derita orang lain. Dia merasa mengambil bagian dari penderitaan bangsanya, sampai-sampai memohon pengampunan dosa dari Tuhan untuk kesalahan dinya dan bangsanya. Padahal dia bukanlah penyebab utama dari penderitaan bangsanya.

Nehemia tidak bertindak secara gegabah sejak pertama kali mendegar kabar tentang bangsanya. Melainkan dia berdoa kepada Tuhan semesta langit selama 4 bulan dan menunggu dengan sabar jawaban dari-Nya. Di masa-masa inilah Tuhan terus membentuk hati Nehemia untuk siap menjadi jawaban bagi permasalahan bangsanya.

Sehingga ketika Tuhan melawat dengan melembutkan hati sang raja, Nehemia sudah siap secara batin dan tindakan. Dia telah merencanakan pembangunan untuk kotanya secara baik sehingga dia tidak kebingungan ketika raja menanyakan kebutuhannya. Nehemia tidak ragu menggunakan privilese yang dia dapat dari raja. Dengan hormat dia meminta semua bahan yang diperlukan untuk pembangunan dari raja. Raja pun berkenan memberikan bahan beserta dukungan resminya untuk rencana Nehemia.

Dengan pertolongan Tuhan, Nehemia berhasil membangun tembok dalam waktu kurang dari 2 bulan. Nehemia melakukannya tidak sendirian. Kepeduliaannya menular kepada rekan sebangsanya. Sehingga setiap orang yang peduli tergerak untuk mengambil bagian memulihkan kondisi bangsa. Satu kepedulian melahirkan kepedulian lainnya.

Seperti kisah Nehemia, hanya dibutuhkan satu orang yang peduli informasi untuk memulihkan kondisi negeri. Di era informasi seperti ini, sangat mudah mengetahui realita negeri kita. Namun, tidak semua orang nyaman menerima informasi apalagi mengenai derita orang lain. Sebab informasi memang menuntut dari kita sebuah tanggung jawab untuk bersikap. Entah itu untuk peduli, berdiam diri saja, atau bahkan memanfaatkan situasi untuk diri sendiri.

George Bernard Shaw mengatakan bahwa dosa terburuk yang bisa kita lakukan pada sesama mahluk adalah dengan mengacuhkannya, bukan membencinya. Pernyataan ini seperti menyimpulkan pengajaran Yesus pada perumpamaan orang Samaria baik hati. Perumpamaan tersebut menantang pandangan setiap orang yang merasa telah memiliki kepedulian terhadap sesamanya. Apakah mereka benar-benar peduli atau sekedar merasa kasihan?

Ini adalah sebuah kondisi memilukan mengingat Indonesia sudah sampai pada umurnya yang ke-76 pada bulan ini. Namun, masih saja negara kaya ini belum keluar dari keadaannya yang tercela. Tuhan masih mencari Nehemia-Nehemia masa kini yang rela direpotkan oleh persmasalahan bangsanya. Persekutuan sekolah atau kampus merupakan tempat Tuhan menyiapkan Nehemia masa kini untuk menjawab kondisi bangsa. Firman dan doa yang ditabur akan membentuk hati siswa dan mahasiswa untuk peka terhadap sesamanya. Namun, hal ini bukan berarti siswa atau mahasiswa baru akan bertindak setelah mereka memiliki jabatan seperti Nehemia.

Sebagai calon-calon pemimpin muda, mereka bisa bersikap seperti Nehemia. Mau berinisiatif mencari kabar bangsanya dan membawanya dalam doa. Kita tidak perlu gegabah untuk merespon setiap berita yang diterima. Melainkan bisa mengambil waktu terlebih dahulu, membawanya kepada Tuhan, dan menunggu arahan Tuhan untuk kita bertindak. Tidak harus tindakan tersebut bersifat masif dan besar. Terkadan kepedulian kecil dapat menjadi oase bagi kekeringan orang lain.

Sebagai siswa atau mahasiswa kita dapat mendengarkan keluh kesah setiap orang yang mengalami dampak pandemi. Jika itu saudara kita, kita bisa merawat mereka dengan menjaga kesehatan kita juga. Kita bisa juga menjadi perpanjangan tangan pemberi informasi yang diperlukan mereka yang terdampak pandemi. Entah memberi informasi mengenai tempat menjual oksigen atau mengarahkan kepada pihak pemberi bantuan tunai.

Itu semua hanya sebagian kecil contoh yang bisa dilakukan. Sedangkan bagi mereka yang memiliki kapasitas yang lebih, seperti alumni, mereka bisa menginisiasi sebuah gerakan penggalangan dana. Bersyukur sudah banyak alumni Kristen yang melakukan hal itu, menjadi Nehemia-Nehemia masa kini, berkorban bagi sesamanya, keluar dari zona nyamannya. Kemurahan hati sekecil apapun sangat diperlukan saat ini. Sekecil apapun yang kita bisa. Tuhan hanya meminta kesediaan hati kita untuk bermurah hati bukan seberapa besar kesanggupan kita memberi.

Pada akhirnya adalah pilihan kita untuk peduli atau menganggap lalu setiap pesan minta tolong yang kita terima. Jika kitapun tidak bersedia menolong, Tuhan tetap akan menolong. Hanya sangat disayangkan jika kita tidak bisa terlibat menjadi berkat bagi orang lain dan berkata kepada Tuhan, “Ini aku, Tuhan, utuslah aku.”

BAGIKAN: