Sebuah Dilema Berkomunitas di Era Datang dan Pergi

Ada banyak alasan mengapa seseorang memutuskan bergabung dengan suatu komunitas, begitupun dengan keputusan sekelompok orang yang memilih untuk membentuk komunitasnya sendiri. Ada yang ingin bergabung atau membentuk komunitas karena latar belakang ras, hobi, usia, visi, dan lain sebagainya. Setiap orang dijamin haknya untuk bergabung atau membentuk komunitas tertentu—tapi tentu saja dengan batas-batas yang dipastikan tidak merugikan masyarakat pada umumnya.

Tetapi, pada masa kini dimana individualitas sangat terasa, saya mendapati bahwa seringkali keputusan seseorang bergabung dengan suatu komunitas atau sekelompok orang yang memutuskan untuk membuat komunitas terasa transaksional.

“Apakah ada keuntungan dari bergabung dengan komunitas ini?”

“Kalau bergabung di sini, bisa memperpanjang daftar pengalaman untuk CV nanti nggak, ya?”

Saya bukannya menganggap tendensi transaksional sepenuhnya buruk, malahan untuk beberapa situasi setiap individu perlu berpikir seperti ini. Tetapi, apakah tendensi transaksional mulai terasa di dalam komunitas-komunitas yang dinamakan komunitas Kristen (kelompok kecil, PMK, organisasi pelayanan Kristen, dsb)? Dan apakah pelan-pelan anggota komunitas kita sering datang dan pergi karena tendensi transaksional ini?

Saya sangat senang mengamati pola perilaku individu. Bagi saya menarik bagaimana sebuah input yang diberikan bagi sekelompok orang, nyatanya bisa menghasilkan output yang berbeda-beda dari setiap orang dalam kelompok yang diperhatikan tersebut. Secara khusus, saya menemukan fenomena yang menarik—dan juga membingungkan—dari sebuah program kerja komunitas pelayanan mahasiswa. Sederhananya, tujuan dari program ini adalah agar setiap orang di dalamnya bisa terhubung dengan kontinu setiap minggunya. Sesederhana itu.

Tetapi, program yang menurut saya sederhana itu, nyatanya dalam praktiknya tidak sesederhana itu. Program ini menuntut komitmen yang tinggi dari setiap jemaat untuk hadir setiap minggu, dan nyatanya sangat sulit membuat anak-anak muda mau dengan sukarela datang, beribadah, dan berdiskusi setiap minggunya. Padahal ada hasil studi yang mengatakan bahwa banyak anak-anak muda lebih tertarik dengan kegiatan aktif yang dapat melibatkan dirinya (dapat didengar dan diterima pendapatnya oleh yang lain). Akibatnya, jumlah kehadiran jemaat setiap minggunya tidak konsisten dan hanya sedikit yang setia hadir dalam ibadah.

Saya belum mau pesimis apalagi menyerah dengan kenyataan ini, tetapi kenyataan ini jelas membuat saya bertanya-tanya: “Apa hal yang sedang dicari dari sekelompok orang yang dengan sadar memilih bergabung dalam sebuah komunitas Kristen?”

***

Dipersatukan oleh Roh

Setiap orang memerlukan alasan mengapa ia melakukan sesuatu—bahkan untuk orang yang berkata ia tidak punya alasan, sebenarnya ia memiliki alasan kecil mengapa ia melakukannya. Begitupun ketika memilih menggabungkan diri dengan sebuah komunitas.

Kita melihat begitu banyak alasan orang untuk bergabung dalam sebuah komunitas, tetapi pertanyaan yang menggelitik bagi seorang Kristen adalah “kenapa mau repot-repot datang ke kelompok kecil?” atau kegiatan komunitas Kristen lainnya.

Sebagian orang mungkin akan menjawab “ya karena gue Kristen“, sebagian lagi mungkin akan menjawab, “seperti ada yang kurang kalau nggak ikut” dan beragam alasan lainnya.

Contoh-contoh jawaban yang saya berikan tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya dapat diterima. Mengapa? Karena setiap kita sebenarnya mencari sebuah alasan yang masuk akal tetapi juga mengakar kuat di dalam hati kita.

Bagi saya, ketika Paulus menjelaskan kepada jemaat Korintus bahwa di dalam satu Roh setiap orang telah menjadi satu tubuh (1 Korintus 12:13) adalah alasan yang masuk akal dan mengakar bagi setiap orang Kristen yang tergabung dalam komunitas Kristen manapun. Mengapa? Alasan manusia dapat terus berubah mengikuti apa yang ada dalam hatinya, tetapi kebenaran bahwa Roh Kudus itu sendiri yang bekerja di dalam setiap pribadi orang Kristen untuk menyatukan mereka menjadi satu tubuh adalah Pribadi yang tidak berubah-ubah. Jadi, dengan kebenaran bahwa kita dipersatukan oleh Pribadi yang konsisten, maka kita telah memiliki alasan palingĀ  kuat dari mengapa kita harus menetap dalam komunitas Kristen kita (gereja, kelompok kecil, PMK, dll).

Maka ketika kita ada dalam suatu komunitas Kristen, mungkin yang ada dalam pikiran kita adalah hal-hal yang bisa kita dapatkan dari komunitas tersebut. Tetapi kebenaran yang jauh lebih mengakar adalah Roh Kudus itu sendiri yang mempersatukan kita menjadi satu tubuh. Dan seharusnya itu cukup membuat kita menetap di dalam komunitas Kristen kita, meskipun “keuntungan” yang didapat tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan pada awalnya.

Pertanyaannya adalah apakah kita sebagai anggota komunitas dengan sadar mengingat bagian ini? Dan atau apakah kita telah dengan sadar membawa setiap orang dalam komunitas kita kepada Roh Kudus melalui kehidupan yang dibagikan dalam komunitas atau setiap kegiatan yang dilakukan dalam komunitas?

Memperhatikan dan memberi

Paulus melanjutkan tulisannya bagi jemaat Korintus dengan memberi ilustrasi tubuh untuk menjelaskan maksudnya. Bagi saya menarik bagaimana ia memberi ilustrasi bahwa hanya karena beberapa anggota tubuh yang letaknya ada di atas, mereka tidak dapat berkata—ya, memang secara harfiah tubuh kita memang tidak dapat berkata-kata—kepada anggota tubuh yang ada di bawah bahwa mereka yang ada di bawah itu tidak diperlukan. Malahan selanjutnya Paulus menjelaskan bahwa anggota-anggota tubuh yang lemah yang butuh perhatian khusus (1 Korintus 12:21-26).

Penjelasan Paulus mengindikasikan bahwa sepertinya “orang-orang yang ada di atas” dalam jemaat itu menganggap rendah anggota jemaat lain yang ada “di bawah mereka”. Sepertinya beberapa orang di antara mereka cukup fokus dengan kedudukan sosial yang akhirnya mengakibatkan mereka mudah menganggap rendah anggota lainnya.

Tulisan Paulus seharusnya juga menyadarkan kita bahwa kehidupan dalam komunitas Kristen adalah bukan melulu mengenai berkat apa yang akan aku dapatkan, tetapi berkat apa yang bisa aku bagikan untuk anggota komunitas ini. Jemaat Korintus jatuh pada tembok-tembok perbedaan kedudukan sosial, sehingga sulit melihat bahwa kehidupan komunitas adalah juga berbicara tentang memperhatikan dan memberi. Dan seperti ilustrasi Paulus, “bagaimana mungkin setiap anggota tubuh tidak saling memperhatikan?” pertanyaan yang sama juga dilontarkan kepada kita, “bagaimana mungkin kita sesama anggota tubuh Kristus yang telah dipersatukan oleh Roh Kudus hanya mengharapkan mendapat keuntungan tetapi enggan saling memperhatikan dan memberi?”.

Seperti pertanyaan retoris dalam tulisan Paulus yang makin menegaskan keanehan serta kebodohan dalam jemaat Korintus, maka apakah kita mau mengulang keanehan dan kebodohan yang sama ketika kita hanya mengharap keuntungan dengan datang dan pergi dalam komunitas kita?

***

Menginginkan manfaat dari keikutsertaan dalam komunitas Kristen adalah hal yang baik—malahan kita perlu berpikir ulang kalau tidak ada hal yang baik bisa diperoleh dari sana. Tetapi, mengusahakan untuk terus menetap dan menjadi berkat di dalamnya adalah hal yang lebih baik—meskipun mungkin hal ini adalah hal yang merepotkan dan tidak kita sukai.

Tidak ada satupun manusia yang tidak berpotensi melukai atau merugikan orang lain, termasuk sekumpulan manusia dalam suatu komunitas Kristen. Oleh karena itu, kiranya setiap orang dalam komunitas dengan sadar mengusahakan kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran, dan kasih satu sama lain (Efesus 4:2-3). Dan kiranya kebenaran bahwa di dalam Roh Kudus kita telah dipersatukan dan diberi kemampuan menjadi berkat bagi yang lain dapat menolong kita memikirkan ulang komitmen dan kesetiaan kita dalam komunitas Kristen dimana kita berada di dalamnya.

BAGIKAN: