Kristus Bagi Keadilan Sosial

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” merupakan isi dari sila ke lima dari dasar negara kita, Pancasila. Di dalamnya tersirat bahwa seluruh warga negara di tanah air memiliki derajat yang sama sehingga wajib diperlakukan setara, baik dalam hukum, politik, ekonomi, kesempatan beribadah, menyatakan pendapat, dan sebagainya. Pengakuan akan kesetaraan setiap warga negara di hadapan hukum juga telah diatur dan dijamin dalam UUD 1945. Meski secara das sollen (yang seharusnya) keadilan sosial tercantum dalam dasar negara Pancasila dan UUD, namun, pada kenyataannya secara das sein (realita) keadilan sosial masih belum menjadi kenyataan di atas bumi Ibu Pertiwi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan penduduk Indonesia per Maret 2018 sebesar 9,82 persen, hal ini merupakan angka terendah sejak era krisis moneter 1998. Namun, ketimpangan ekonomi Indonesia masih tinggi, World Bank melaporkan pertumbuhan ekonomi dalam satu dekade terakhir hanya menguntungkan 20 persen orang paling kaya di Indonesia. World Bank lewat laporan bertajuk Indonesia’s Rising Divide menyebutkan empat hal yang mendorong ketimpangan di Indonesia, antara lain ketimpangan kesempatan yang memperkecil peluang sukses anak-anak dari keluarga miskin, ketimpangan upah dalam dunia kerja, pemusatan kekayaan yang tinggi, guncangan (misalnya PHK dan bencana alam). Orang kaya tidak akan kesulitan mengatasi masalah-masalah ini, namun orang yang tergolong miskin dan rentan miskin, tidak akan bertahan jika terjadi guncangan ekonomi, kesehatan, sosial, politik, dan bencana alam.

Ketidakadilan sosial ternyata juga menjadi persoalan Israel dalam Perjanjian Lama, seperti yang disampaikan Nabi Amos berikut, “Kamu menindas orang miskin dan gandumnya kamu rampas. Karena itu kamu tidak akan tinggal di dalam rumah-rumahmu yang mewah, yang telah kamu bangun itu. Kamu tidak akan minum anggur dari kebun-kebun anggur yang kamu tanami. Aku tahu betapa besar kejahatanmu dan betapa banyak dosamu. Kamu menindas orang baik; kamu menerima sogok dan membiarkan orang miskin diperlakukan tidak adil di pengadilan.“ (Amos 5:11-12 BIS LAI)

Secara das sein keadilan sosial dalam bangsa Israel memprihatinkan, namun sebenarnya secara das sollen Israel memiliki dasar kehidupan yaitu Taurat yang mengajarkan mereka untuk berlaku adil terhadap siapa saja, bahkan berlaku murah hati kepada orang asing, janda, dan anak yatim, “Janganlah menindas atau berlaku tidak adil terhadap orang asing; ingatlah bahwa dahulu kamu pun orang asing di Mesir. Jangan memperlakukan janda atau anak yatim piatu dengan sewenang-wenang.” (Keluaran 22:21-22 BIS)

Korban ketidakadilan sosial yang utama adalah pihak-pihak yang lemah karena minoritas, miskin, dan kurang berpendidikan. Mereka seringkali sulit dan dipersulit dalam kehidupan sehari-hari, misalnya suku atau agama minoritas yang sulit memasuki bidang pemerintahan ataupun kampus-kampus negeri. Orang miskin yang sulit mendapatkan keadilan ketika berperkara di pengadilan, padahal seringkali kemiskinan mereka bersifat struktural yaitu karena sulitnya mengakses sumber daya yang sudah dikuasai segelintir orang. Ujung dari ketidakadilan sosial yang terjadi seringkali berupa konflik akibat kemarahan korban. Konflik ini seringkali berakhir tragis dengan kekalahan korban itu sendiri dalam menghadapi kekuasaan yang terlalu besar, sehingga terus berlanjutnya penderitaan bagi mereka, sebagian korban terus menyimpan kemarahan dan kekecewaan terhadap kondisi, terhadap penindas, dan mungkin juga terhadap Tuhan.

Apa penyebab dari ketidakadilan sosial? Penyebab utamanya mungkin adalah kesombongan. Jika seseorang sudah menjadi sombong, maka ia tidak akan lagi peduli dengan orang lain, orang lain hanya dinilai sebagai alat untuk mencapai tujuan, sebagai objek dari kehidupan, bukan lagi sebagai pribadi yang setara. Penyebab ketidakadilan sosial lainnya adalah hawa nafsu, upaya para penguasa untuk mempertahankan status quo kenyamanan dan kenikmatan mereka, sehingga nasib orang lain yang sedang menderita mereka lupakan. Penyebab lainnya dari ketidakadilan sosial adalah sistem dan kultur yang buruk yang sudah lama terbentuk, misalnya sistem pemeriksaan anggota dewan yang dibuat berbelit-belit. Ketidakadilan sosial karena kultur, misalnya budaya sebagian besar suku di Indonesia yang mengidentikkan pekerjaan dapur dan melayani sebagai pekerjaan wanita.

Lalu bagaimana menghadapi fenomena ketidakadilan sosial ini? Jika semua orang berpandangan bahwa semua manusia adalah setara, sederajat, dan bernilai, maka sangat mungkin keadilan sosial terjadi. Paradigma ini harus dikembangkan dan disebarluaskan karena merupakan bagian dari Injil Kristus, seperti yang disampaikan oleh Rasul Paulus kepada jemaat Galatia, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” (Galatia 3:28). Konteks ayat ini adalah jemaat Galatia yang sedang menghadapi para pengajar sesat, yang menyatakan bahwa untuk sungguh-sungguh menjadi umat Allah mereka juga harus melakukan tradisi-tradisi Yahudi yang berasal dari Taurat. Namun, Rasul Paulus menegaskan kepada jemaat Galatia bahwa keselamatan bukan terletak pada Taurat, “Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman.” (Galatia 3:24). Hukum-hukum Taurat menuntun orang Israel untuk hidup benar di hadapan Allah. Namun, melalui Taurat juga bangsa Israel belajar mengenali kegagalan-kegagalan dan dosa-dosa mereka dalam mentaati Taurat, semakin nyata bahwa mereka layak dimurkai Allah, sama seperti bangsa-bangsa lainnya. Bagian lain dari berita Injil adalah bahwa rencana keselamatan dari Allah bukanlah hanya untuk bangsa Israel, tetapi untuk segala bangsa. Jika Allah memilih Abraham dan Israel, tujuannya tidak lain adalah agar mereka membawa keselamatan dari Allah kepada segala bangsa, “Dan Kitab Suci, yang sebelumnya mengetahui, bahwa Allah membenarkan orang-orang bukan Yahudi oleh karena iman, telah terlebih dahulu memberitakan Injil kepada Abraham: “Olehmu segala bangsa akan diberkati.”” (Galatia 3:8).

Berita Injil membuat Israel tidak lagi dapat menyombongkan identitas mereka sebagai umat pilihan Allah dan mengingatkan bahwa mereka adalah orang-orang berdosa, sama seperti bangsa lain yang pantas mendapatkan penghukuman Allah. Dengan paradigma bahwa semua manusia setara dan sederajat, kita didorong untuk memperlakukan sesama secara adil, dan dengan paradigma bahwa manusia diciptakan dan ditebus oleh Allah, kita didorong untuk memperjuangkan keadilan bagi sesama kita yang direndahkan dan ditindas. Sila kelima dari Pancasila nyatanya sejalan dengan Injil Kristus.

Iman Kristen tidak hanya memandang kepada masa lalu yaitu pada kesetiaan Allah terhadap Israel dan karya penebusan. Iman Kristen juga memandang pada masa depan akan janji hadirnya langit dan bumi yang baru, kehidupan yang baru di mana bersatunya segala sesuatu. Tidak akan ada lagi ketidakadilan sosial yang berujung pada konflik, permusuhan, dan peperangan seperti yang digambarkan oleh Nabi Yesaya, “Ia akan menjadi hakim antara bangsa-bangsa dan akan menjadi wasit bagi banyak suku bangsa; maka mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang.” (Yesaya 2:4). Iman Kristen juga memandang pada masa kini, iman tentang Allah Roh Kudus yang bekerja dalam dunia ini khususnya melalui Gereja-Nya, orang-orang percaya.

Gereja, baik sebagai pribadi maupun komunitas, dipanggil sebagai prototype dan duta Kerajaan Allah yang akan datang. Diri kita pribadi sebagai Gereja dan warga Kerajaan Allah haruslah menunjukkan sikap kasih dan adil terhadap semua orang. Bahkan secara rohani kita tidak boleh menganggap diri kita lebih berharga karena merasa diri lebih dewasa.Satu domba yang tersesat akan dicari walaupun harus meninggalkan yang sembilan puluh sembilan (Lukas 15:4). Hal tersebut bukan karena domba yang tersesat lebih berharga dari yang lain, tetapi justru karena semua domba tersebut sama-sama berharga di mata Allah.

Komunitas Gereja atau persekutuan harus menjadi contoh tentang keadilan sosial. Pendeta atau pembicara tidak lebih berharga dari pada jemaat, suku tertentu tidak boleh diperlakukan lebih baik dari suku yang lainnya, orang kaya tidak boleh diperlakukan spesial karena kekayaannya. Persekutuan atau Gereja sebaliknya, justru harus memperjuangkan agar orang-orang yang “lemah” baik secara ekonomi, pendidikan, karakter, maupun kerohanian mendapatkan pelayanan terbaik untuk dipulihkan. Mari kita mimpikan persekutuan kita, baik persekutuan siswa, mahasiswa, dan alumni sungguh menjadi prototype dan duta Kerajaan Allah. Kita memperlakukan semua orang secara adil karena siapa dia di hadapan Allah yang menciptakan dan menebus dia.

Mari kita berjuang agar dalam persekutuan tidak terjadi ketimpangan ekonomi, misalnya dalam persekutuan siswa dan mahasiswa jangan sampai kita menemukan bahwa ada yang tidak sanggup membayar uang kuliah dan terpaksa cuti, sementara di persekutuan yang sama ada yang selalu membeli handphone keluaran terbaru dengan harga belasan juta. Dalam persekutuan alumni, kantor, maupun Gereja jangan sampai kita menemukan ada yang kesulitan untuk makan sehari-hari sehingga sering berpuasa, sementara di persekutuan yang sama ada yang sering berlibur ke luar pulau atau luar negeri. Alangkah indah teladan jemaat mula-mula di Yerusalem yang direkam dalam Kisah Para Rasul 2:44-45 “Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.

Dalam buku Skandal Hati Nurani Kaum Injili terbitan Literatur Perkantas Jawa Timur diceritakan tentang seseorang bernama Graham Cyster, seorang pemuda Kristen di Afrika Selatan pada masa politik apartheid (politik diskriminasi warna kulit). Suatu kali ia diberikan kesempatan untuk berbicara di depan rekan-rekannya yang sama-sama berjuang melawan politik apartheid. Cyster kemudian memberikan kesaksian yang jelas dan kuat dari Injil sambil menunjukkan bagaimana iman pribadi di dalam Yesus Kristus secara ajaib sanggup mengubah seseorang dan membentuk sebuah kesatuan baru dari orang-orang percaya, di mana di sana tidak ada pembedaan antara orang Yahudi atau orang Yunani, laki-laki atau perempuan, orang kaya atau orang miskin, orang kulit hitam atau kulit putih. Namun, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun tiba-tiba berseru, “Apa yang disampaikan sangat indah! Tapi tunjukkan kepada saya di mana hal itu dapat ditemui.” Cyster tertunduk lesu karena tidak dapat menemukan komunitas Kristen yang menghidupi Injil yang demikian. Sebulan kemudian pemuda tersebut meninggalkan desanya dan bergabung dengan kelompok bersenjata melawan apartheid.

Injil tentang kesetaraan semua orang di dalam Kristus akan dipandang sebagai omong kosong jika kita–Gereja baik secara pribadi maupun komunitas–tidak menunjukkan sikap yang adil dan tidak memperjuangkan keadilan. Mari membangun keadilan sosial, di mulai dari rumah kita masing-masing, lingkungan sekitar, sekolah, kampus, tempat kerja, dan persekutuan. Oleh karena keadilan sosial adalah bagian dari berita Injil Kristus.

BAGIKAN: