Kasih yang Berjuang

Di tengah pandemi, saat Covid-19 membuat masyarakat saling menjaga jarak, orang percaya justru perlu bersehati dan membangun jembatan relasional. Saya masih ingat, ketika Presiden RI secara resmi mengumumkan pandemi Covid-19 di Indonesia. Masyarakat sudah dilanda panic buying. Masker yang biasanya mudah didapat mendadak menjadi langka. Ini terjadi hampir merata di seluruh wilayah. Menurut seorang pakar pendidikan, hal itu merupakan dampak dari sikap manusia yang terlalu berlebihan dalam merasakan khawatir, kecemasan dan ketakutan di tengah situasi darurat. Namun, di sisi lain panic buying menunjukkan betapa manusia itu begitu egoisnya sehingga tidak peduli dengan kebutuhan orang lain. Ironis, berburu masker justru menunjukkan siapa diri kita yang sebenarnya. Dan benar, pandemi Covid-19 menunjukkan siapa orang Kristen sebenarnya.

Dalam Yoh. 13:35 Tuhan Yesus mengatakan kepada para murid-Nya, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Nah pertanyaan dengan cara apa gereja dan persekutuan sebagai komunitas murid melakukannya di tengah social distancing saat ini? Saat-saat ini tentu sangat menantang kita yang dipanggil untuk bertumbuh dalam kasih kita kepada Tuhan dan sesama untuk membangun kesatuan satu sama lain  walau terpisah jarak dan waktu.

Pemuridan di kalangan siswa-mahasiswa selalu dimulai dengan relasi antar pribadi, dan berusaha menawarkan relasi dengan Tuhan dan sesama. Melalui relasi yang dibangun itulah pengajaran, penyembahan dan misi terjadi. Pemuridan selalu diawali dengan menawarkan kehadiran kita, sehingga orang lain dapat mengalami kasih Tuhan. Sehingga di tengah isolasi maupun social distancing, ini menjadi kesempatan di mana kita bisa menemukan cara-cara yang efektif untuk terhubung dengan orang lain, cara-cara kreatif untuk menjangkau dan melibatkan diri kita dengan kawan-kawan siswa dan mahasiswa. Untuk membangun relasi yang melampaui apa yang sudah pernah kita lakukan selama ini, untuk menolong seseorang menyadari bahwa dia tidak pernah sendirian dan bahwa Tuhan menyertai kita. Ini adalah tugas dan panggilan kita.

Dalam dua tahun ini, kehidupan, rutinitas, dan komunitas kita sedang dibentuk ulang. Demikian juga dengan pola bersekutu, melayani, dan bersaksi. Gedung-gedung gereja dan ruangan-ruangan persekutuan ditutup, sehingga tempat-tempat beribadah dan bersekutu dipindahkan ke rumah-rumah kita, dan ke lingkungan kita masing-masing. Selama dua tahun ini juga, banyak orang dilanda kesepian dan keterasingan. Banyak orang merindukan koneksi dan komunitas. Namun, di sisi lain kita juga tau bahwa salah satu bentuk perbuatan kasih adalah tetap di rumah dan tidak berkumpul secara fisik yang berpotensi menularkan satu sama lain jika ada yang terpapar. Di tengah banyaknya pembatasan inilah Tuhan berikan banyak cara untuk senantiasa terhubung lewat kehadiran kita dan menciptakan komunitas yang membangun hubungan.

Social, not Relational Distancing. Salah satu cara kita melakukannya adalah dengan saling peduli satu sama lain. Kita memang perlu social distancing, namun jikalau kita dan saudara seiman saling menjauh yang terjadi justru akan lebih buruk. Jadi sekalipun kita melakukan social distancing kita tidak melakukan relational distancing. Mari ambil kesempatan untuk saling memeriksa atau kontak dengan sahabat-sahabat kita. Mari bangun jembatan relasional saat corona virus memisahkan kita dari mereka. Kita masih bisa bersehati, saling mendoakan dan mengasihi satu sama lain. Penulis Amsal menyatakan bahwa seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran. Paulus menuliskan, “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu, demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus”. Sehingga komunitas sejati itu bukan soal being life together, tetapi doing life together, di mana apa yang jadi kesusahanmu adalah kesusahanku, sukacitaku adalah sukacitamu. Inilah prinsip dalam pemuridan.

Maka implikasinya, pertemuan dalam jaringan dirayakan sebagai pertemuan persahabatan. Di luar pertemuan, masing-masing anggota terus mengingat sukacita, ucapan syukur, dukacita dan pergumulan satu sama lain lalu mendoakannya, sehingga ada keterhubungan ada koneksi. Dan, di sepanjang minggu, komunikasi, saling sharing dan update perkembangan terus berjalan. Jika ada anggota yang bersukacita, yang lain ikut bersukacita dan sebaliknya. Jika ada anggota yang sakit, maka yang lain ikut memberikan dukungan dan perhatian, baik lewat doa, mengirimkan makanan, atau apapun yang diperlukan untuk pemulihannya. Demikian juga jika ada anggota yang mendapat berkat atau jawaban doa, seluruh anggota akan ikut bersyukur dan merayakannya. Inilah yang dimaksud sahabat yang menaruh kasih setiap waktu dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran. Seringkali kita memang mengasihi sahabat kita, tetapi belum tentu kita selalu memiliki kesempatan untuk menyatakan kasih kepadanya. Ketika sahabat kita mengalami kesusahan, itulah kesempatan untuk menjadi seorang saudara bagi dia.

Namun membangun komunitas yang penuh kasih seperti ini bukan hal yang mudah. Diperlukan waktu dan proses interaksi yang cukup untuk tiap anggota saling mengenal, saling percaya, perlu rasa aman dan saling memiliki. Tiap anggota perlu membangun relasi yang mendalam dan saling mengasihi secara autentik, apa adanya, tiap anggota menjadi dirinya sendiri, apa adanya dalam pergumulan terhadap kebenaran. Di atas relasi yang mendalam inilah kebenaran demi kebenaran dapat tersampaikan, mulai muncul kesadaran-kesadaran baru sebagai murid Kristus. Kalau kita tidak memperjuangkannya, maka kita hanya akan terus berlindung dalam topeng-topeng aman kita. Akan sulit sekali discipleship culture itu ditularkan satu sama lain dan pertumbuhan rohani hanya menjadi mimpi.

Kesulitan lainnya adalah soal fokus dan prioritas. Karena memelihara relasi dalam kasih itu memakan waktu, menuntut konsistensi, dan rentan terhadap gangguan. Apalagi sebagai siswa, mahasiswa dan alumni, kita semua sibuk dengan banyak peran dan tanggung jawab. Lalu bagaimana? Tidak ada cara lain selain dengan intensional kita memelihara relasi satu sama lain. Ini jadi fokus dan prioritas setiap anggota. Seperti Paulus dalam pelayanannya di Tesalonika, dia melayani setiap jemaat secara personal. Katanya, “kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya. Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi.” (1Tes. 2:7-8). Ini jelas bukan kata-kata yang ringan. Paulus berkata lagi, “Kamu tau, betapa kami seperti bapa terhadap anak-anaknya, telah menasehati kamu dan menguatkan hatimu, seorang demi seorang, dan meminta dengan sangat supaya kamu hidup sesuai dengan kehendak Allah.” (ay 10-11). Jadi kita perlu mengubah paradigma kita dalam pola persekutuan dan pemuridan kita, dari penekanan pada aktivitas menjadi relasional. Dan kita butuh fokus dan konsisten melakukannya.

Sekalipun demikian, tekad saja tidak cukup. Kita perlu tinggal di dalam Kristus dan firman-Nya. Kita perlu bersandar pada Sumber Kasih tersebut. Hanya dengan tinggal di dalam Dia, maka pemuridan kita akan menghasilkan buah.

BAGIKAN: