Memento Mori, Penyerahan Hidup Bagi Tuhan

Banyak manusia hidup percuma
Tak tahu ke mana arah hidupnya
Berjuang dalam dunia cari kesenangannya
Tapi akhirnya m’reka ‘kan binasa

Pada awal bulan Agustus yang lalu, salah satu penginjil dan pelayan Tuhan yang setia dipanggil pulang Bapa di sorga. Kepergiannya begitu cepat dan mendadak. Tidak ada tanda atau isyarat untuk kita bersiap menegarkan hati dari kunjungan rasa kehilangan. Pdt. Mangapul Sagala telah mengakhiri masa pengabdiannya kepada Tuhan dalam umur 66 tahun. Banyak orang, dan khususnya keluarga, yang ditinggalkan merasa terkejut. Kekuatan kehadiran dan pelayananya begitu luas, menyentuh banyak hati. Wajar saja jika banyak yang merasa sedih dan kehilangan atas meninggalnya Pdt. Mangapul Sagala. Banyak orang yang masih belum puas dilayani Tuhan melalui hidupnya. Namun, Tuhan berkata lain. Rasa sayang Tuhan kepada beliau memilih memanggilnya pulang.

Ada banyak warisan iman dan pelayanan yang beliau tinggalkan bagi banyak orang. Telah banyak buku dan lagu Kristen yang ditulis untuk menjadi teman perjalanan kehidupan rohani banyak orang. Telah banyak pelayanan yang dirintis, telah banyak juga kotbah yang beliau sampaikan. Pelayanannya begitu berdampak dan hebat sampai-sampai banyak orang (khususnya penulis) yang lupa sadar kalau beliau masih manusia biasa yang bisa mengalami kematian fisik. Namun, satu hal yang jelas terwariskan dari hidup beliau: bukan suatu hal yang mustahil bagi orang percaya untuk menyerahkan seluruh aspek hidup kepada Tuhan.

Penyerahan hidup kepada Tuhan selalu merupakan sebuah pilihan. Itu bukanlah paksaan dan Pdt. Mangapul Sagala memilih untuk melakukannya semasa hidupnya di bumi.

Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan. – Efesus 5 : 15 -17

Tuhan, lewat Paulus, meminta anak-anak-Nya untuk bersikap seperti orang bijak. Mereka diminta untuk memperhatikan hidup dengan seksama. Hal itu berarti adanya sebuah upaya untuk mengevaluasi dan merancang hidup. Sehingga anak-anak Tuhan tidak hidup sembarangan, hidup hanya sekedar hidup, hidup hanya untuk menghabiskan masa waktu kontrak di dunia. Anak-anak Tuhan perlu dengan serius menjalani kehidupan yang telah dipercayakan kepada mereka. Bukan berarti indikator keseriusan dalam mejalani hidup diukur melalui kesuksesan seperti yang dunia tawarkan – kekayaan material, bisnis yang sukses, kenaikan jabatan, network yang luas, dan lain-lain. Karena pada akhirnya manusia bisa saja mendapatkan semua hal itu tapi, tetap hidup sebagai orang bebal.

Keseriusan menjalani hidup perlu diselaraskan dengan kehendak Tuhan. Oleh sebab itu Paulus meminta jemaat Efesus untuk benar-benar serius, berlelah-lelah dalam usaha mengerti kehendak Tuhan. Jika gagal mengerti kehendak Tuhan, manusia akan sangat sulit memanfaatkan waktu yang ada semaksimal mungkin. Alih-alih menginvestasikan waktu untuk melakukan hal kekal, mereka justru menghabiskannya bagi sesuatu yang fana. Tanpa mengetahui kehendak Tuhan, manusia akan salah arah dalam memanfaatkan waktu hidup. Sangat mungkin mengira telah menggunakan waktu hidup dengan maksimal tapi, sesungguhnya sedang memakainya percuma seperti orang bodoh.

Paulus mengingatkan bahwa “hari-hari ini adalah jahat”. Berarti dunia dengan segala hingar bingarnya membuat seseorang sulit untuk mengerti kehendak Tuhan. Waktu hidup kita bisa diisi oleh banyak kegiatan. Sayangnya banyak manusia yang mengisinya dengan segala macam kesibukan yang tersedia di dunia ini. Lebih senang menghibur diri dengan apa yang kefanaan tawarkan ketimbang berusaha dengan sungguh mencari tau kehendak Tuhan dan melakukannya. Memang begitu menggoda jika orang lain bisa menyimpulkan kalau hidup kita sibuk, terlihat penuh, dan sukses tapi, sebenarnya kosong tanpa arah.

Pada acara penghormatan terakhir bagi Pdt. Mangapul Sagala, seorang penginjil besar dan senior dari beliau, Pdt. Stephen Tong hadir memberi sambutan. Dalam sambutan tersebut Pdt. Stephen Tong menyatakan telah melihat banyak penginjil-penginjil muda yang takut akan Tuhan pergi mendahului dia. Hal ini memunculkan pertanyaan dalam dirinya, mengapa dia yang sudah tua masih harus bekerja keras, banting tulang, untuk kerajaan Tuhan? Melanjutkan sambutannya, beliau menyatakan jika setiap hari dia masih bisa bangun dipagi hari berarti telah bertambah satu hari lagi kesempatan untuk mememuliakan Tuhan.

Memento mori (Latin: “Ingatlah akan kematianmu”)

Setiap manusia memang memiliki umur yang berbeda-beda. Namun, setiap manusia memiliki ukuran waktu yang sama. Satu hari berjumlah 24 jam diberikan oleh Tuhan. Jumlah tersebut tidak bisa ditambah atau dikurangi. Tidak bisa ditabung ataupun diputar ulang meskipun ada yang rela menukarkan nyawanya hari ini. Hal ini membuktikan kalau setiap momen hidup kita sangatlah berharga. Apalagi jika kita mengingat kematian fisik menunggu di ujung setiap umur manusia. Tentulah kita perlu benar-benar menggunakan satu kali kesempatan hidup ini melakukan hal-hal yang berharga. Pertanyaanya adalah persiapan seperti apa yang sudah kita lakukan untuk memanfaatkan kesempatan yang satu kali itu?

Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. – Matius 25 :21

Dalam usaha menyerahkan diri kepada Tuhan, kita perlu menyadari juga talenta apa saja yang telah Tuhan percayakan kepada kita. Semua pemberian tersebut akan Tuhan minta pertanggung jawabanya saat bertemu  muka dengan-Nya. Satu sisi adalah sebuah kebahagiaan kita dipercayakan oleh Tuhan talenta. Namun, tentu Sang Pemilik talenta ingin agar kita mengembangkannya dengan baik. Hanya kita perlu berhati-hati untuk tidak menentukan keberhargaan diri dari seberapa banyak talenta yang telah berhasil kita kembangkan dalam hidup. Memang benar kita perlu berusaha mencari tau, talenta atau hal apa saja yang telah Tuhan berikan kepada kita. Namun, yang Tuhan inginkan adalah bentuk sikap kita kepada setiap pemberian tersebut ketimbang hasilnya. Apakah kita cuek terhadap pemberian tersebut? Atau kita cenderung menghabiskannya untuk keegoisan diri? Atau justru kita mengembangkannya untuk melayani sesama dan Tuhan?

Sangat besar kemungkinan Pdt. Mangapul Sagala telah mengerjakan PR (pekerjaan rumah) untuk mengerti kehendak Tuhan. Beliau sadar betul ada batasan waktu bagi manusia untuk hidup di dalam dunia. Oleh sebab itu begitu giat beliau hari demi hari menambah penyerahan diri kepada Tuhan. Memang sosok kepergiannya sebagai seorang penginjil yang setia tidak akan bisa tergantikan bagi orang yang mengenalnya. Namun, warisan teladan yang telah diajarkannya membangkitkan banyak orang untuk merenungkan kembali arah hidup. Beliau adalah manusia biasa sama seperti kebanyakan orang lainnya. Hanya pilihan hidupnya untuk memilih Tuhan Yesus membuat hidupnya terlihat asing bagi dunia.

Di ujung hidup, tentu kita rindu mendengar pujian karena tidak menyia-nyiakan setiap pemberian yang Tuhan beri. Oleh sebab itu baiklah kita berusaha dengan sungguh bertanya apa yang jadi kehendak Tuhan atas setiap pemberian yang Dia beri bagi kita?

Ini kami Tuhan tunduk s`rahkan diri
Pakailah selamanya.

BAGIKAN: