Resolusi Konflik

Mungkin Kis. 15:35-41 adalah bagian yang paling familiar jika kita bicara tentang konflik. Apalagi konflik di sini adalah konflik yang dilakukan oleh salah satu hamba Tuhan sekaliber Rasul Paulus. Melalui kejadian ini, kita ditantang untuk memikirkan dengan sungguh-sungguh tentang apa yang Alkitab ajarkan mengenai konflik dan bagaimana kita menghadapinya.

Konflik memang sudah menjadi keniscayaan dalam hidup bersosial. Sulit sekali dalam hidup ini kita menghindari konflik, apalagi dalam kehidupan bergereja, dalam komunitas rohani seperti di PMK atau di Rohkris, bahkan dalam relasi suami isteri. Semua relasi seringkali diwarnai dengan konflik. Karena relasi antar manusia dengan latar belakang dan pikiran yang berbeda, dengan sendirinya akan alami gesekan, ada emosi, keunikan kepribadian, sehingga konflik tidak dapat dihindarkan.

Tentu saja di samping ada konflik yang memang perlu terjadi, ada pula konflik yang tidak perlu terjadi. Sebagai contoh adalah konflik antara Raja Saul dan Daud. Mengapa? Karena Daud tidak pernah memusuhi Saul, dan bagi Daud, Saul memusuhi Daud bukan karena alasan yang betul-betul disadari Saul (karena Saul juga memiliki gangguan kejiwaan – akibat dirasuk roh jahat). Jadi memang ada orang-orang yang jiwanya tidak sehat, seperti Raja Saul. Sehingga jika orang-orang seperti ini mengajak kita berkonflik atau berkelahi, kita tidak boleh meladeni. Ada orang yang secara fisik kelihatan sehat, mau bergaul dengan komunitas tapi bawaannya selalu kritik dan menyerang, ada lagi yang cenderung menghindar karena merasa tidak aman. Dan, seharusnya sama seperti Daud, kita tidak perlu meladeni, karena itu adalah konflik yang tidak perlu.

Kisah Para Rasul 15:35-41 adalah konflik yang menarik karena konflik ini terjadi di antara para rasul. Saat itu, Paulus ingin memulai perjalanan penginjilan kembali. Lalu dia mengajak Barnabas, rekan sekerjanya, namun Barnabas ingin membawa kemenakannya, yaitu Yohanes Markus. Kalau kita membaca Kisah 13, Markus sudah pernah ikut di perjalanan pertama, namun di tengah jalan dia undur diri dengan alasan yang tidak jelas (mungkin medan pelayanan terlalu berat sehingga Markus lelah atau takut), tetapi bagi Paulus itu merupakan hal yang tidak masuk akal dan Paulus sulit memaafkannya, sehingga ketika Barnabas mengajak Markus, Paulus tidak setuju. Lukas mencatat bahwa mereka bertengkar dengan sangat tajam sampai akhirnya perpecahan pun tidak terhindarkan.

Padahal kalau kita mau perhatikan dari 13 surat Paulus, tidak sekalipun Paulus menceritakan pengalaman konfliknya dengan Barnabas. Mengapa demikian? Padahal konfliknya dengan Petrus (Galatia 2) dicatatnya. Dia mengecam kemunafikan Petrus. Tapi kenapa Paulus tidak menceritakan konfliknya dengan Barnabas? Mungkin karena dia malu, karena dia tau kesalahannya. Seharusnya dia memberi kesempatan kedua bagi Markus dan melanjutkan pelayanannya bersama Barnabas. Dia tau Barnabas adalah orang yang saleh, penuh Roh dan iman. Dia telah menjadi teladan bagaimana menjual seluruh harta bendanya untuk jemaat yang miskin. Barnabas adalah satu-satunya orang yang membawa Paulus kepada kedua belas rasul. Tetapi kita mengerti bahwa di kemudian hari, baik di Kolose 4:10 maupun dalam surat 2 Timotius 4, Paulus menyebut Yohanes Markus, yang sebelumnya tidak disukai. Ternyata Paulus memuji Markus, karena Markus menjadi orang yang dipakai Tuhan luar biasa. Kita tau bukan ada 4 Injil? Yohanes Markus adalah penulis Injil mula-mula (Injil Markus).

Bagi kita konflik bisa terjadi kapan saja, dengan siapa saja. Baik dengan rekan sekerja, maupun dengan orang yang kita layani. Jika penyebab konflik tidak signifikan atau sepele, Amsal 19:11 memberitahu kita untuk memaafkannya. Jadi, jika seseorang mengiritasi kita untuk hal-hal yang tidak esensi, kita perlu bermurah hati dan mengampuninya. Namun untuk konflik yang sulit dan berat, kita perlu menghadapi dan menyelesaikannya. Resolusi konflik bukan soal membuktikan siapa yang benar atau salah, melainkan untuk memulihkan relasi antar dua pribadi yang berkonflik tersebut.

Nah, Tuhan Yesus sudah memberikan langkah-langkah resolusi konflik, khususnya dalam Matius 18:15-17. Bagian ini biasanya mengacu pada disiplin gereja, namun kita juga bisa menggunakannya untuk resolusi konflik yang Alkitabiah.

Langkah pertama (ay. 15) adalah berbicaralah secara pribadi dengan rekan yang berselisih dengan saudara. Bicarakanlah konflik, latar belakang, pemicu, hingga dampaknya tanpa menghakimi. Jika orang itu mendengarkan saudara, menyadari kekeliruannya dan meminta maaf kepada saudara, maka konflik telah terselesaikan (resolved).

Langkah kedua (ay. 15) adalah menyertakan 2 atau 3 orang Kristen lain dalam percakapan penyelesaian konflik. Mereka bisa jadi adalah anggota keluarga, sahabat, atau pemimpin rohani, atau konselor Kristen yang dewasa rohani untuk mendukung argumen-argumen saudara dan membantu mencapai resolusi konflik.

Jika langkah kedua ini gagal, maka langkah terakhir yang Yesus berikan (ay. 17) adalah membawa masalah tersebut ke hadapan jemaat. Dalam konteks gereja langkah ini berarti menyelesaikan konflik secara resmi melalui pertemuan jemaat. Jika orang tersebut tetap tidak mau mendengarkan atau mengakui kesalahananya, maka dia harus dianggap “orang kafir” atau “pemungut cukai”. Dalam konteks ini, sebutan tersebut bukan penilaian moral melainkan suatu status yang menunjukkan bahwa orang tersebut tidak bersedia mengakui kesalahannya dan bertobat. Namun jika orang itu pada akhirnya sadar dan akhirnya bersedia untuk memperbaiki kesalahannya, sebagai komunitas kita perlu mengampuni dan memberikan kesempatan kedua baginya serta memulihkan relasi dengan mereka, sebagaimana Tuhan telah mengampuni kita (1Pet. 4:8; Ef. 4:32). Tidak ada ruang dalam komunitas orang percaya untuk kepahitan, kebencian, kemarahan, bahkan dendam.

Ketika kita mengupayakan resolusi konflik yang biblikal, kita perlu melakukannya dengan semangat kebaikan, belas kasih dan kemurahan. Resolusi konflik tidak boleh dilakukan karena permusuhan, kemarahan atau kesombongan. Yesus memanggil kita untuk menjadi pembawa damai di tengah pertikaian dunia (Matius 5:9). Kita akan diberkati jika kita mencoba berdamai di antara pihak-pihak yang berkonflik. Roma 12:18 mengatakan, “Sedapat-dapatnya, sedapat mungkin, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.”

Resolusi konflik dapat dicapai melalui menaati Firman, mendengarkan tuntunan Roh Kudus, dan melatih diri dengan kerendahan hati dan belas kasih Kristus.

BAGIKAN: