Bahkan di Titik Nadir, Allah Hadir

“Bahkan di titik nadir, Allah hadir.” merupakan kalimat yang menggambarkan kondisi saya sebelum memutuskan menjadi seorang staf.

Pada Oktober 2012 dalam Retreat KMK/PMK Fakultas Ekonomi USU, sore itu kala sesi pembuka, saya menyerahkan hidup untuk memercayai Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Lagu “Lihatlah Anak Domba Allah” karya Amang Sagala menghantarkan saya pada isak tangis akan dosa dan memohon pengampunan serta mempercayai-Nya. Malam harinya sembari berdoa, saya diteguhkan ayat sidi yang saya dapatkan ketika SMA, Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. (Mat.6:33)”. Firman ini meneguhkan saya untuk bernazar kepada Tuhan, saya ingat sekali saya mengatakan: ‘Tuhan, aku mau melayanimu sampai aku mati.”

Setelah itu saya cukup aktif melayani di persekutuan mahasiswa, menjadi pengurus, PKTB, dan sebagainya. Dalam altar calling sesi pengutusan kamp yang diadakan Perkantas Medan yang di pimpin Bang Alex, saya mau menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan. Dalam hati dan pikiran, saya berbicara bahwa “Saya ingin mahasiswa lainnya merasakan apa yang saya rasakan ketika bertemu Kristus.” Tidak lama setelah kamp dilaksanakan saya dihubungi oleh salah satu staf Perkantas Medan untuk menjadi staf di sana ketika sudah lulus, namun saya menolak karena belum siap dan takut yang saya rasakan hanyalah semangat semu pada waktu kamp saja.

Saya tetap menjadi pengurus bahkan menjadi penilik kampus, dan kerinduan saya untuk menjadi hamba Tuhan terus dikuatkan. Hingga suatu hari seminggu sebelum saya sidang skripsi, saya mendapatkan kabar bahwa adik kandung saya meninggal dunia. Kabar itu datang bak batu besar yang menimpa kepala saya. Saya tidak tahu harus berkata apa, saya hanya diam dan Tuhan pun seolah-olah diam. “Ternyata mengikut Tuhan tidak semenyenangkan itu ya!”. Saya pulang ke Jakarta, menghadiri pemakaman dan melihat keluarga kami begitu hancur. Singkat cerita, beberapa bulan setelah lulus kuliah, saya kembali ke Jakarta. Saya merasa harapan saya pupus, “Soal panggilan? Ah, itu sudah tidak masuk akal!”. Bagaimana tidak, semangat keluarga yang down paska peristiwa itu mempengaruhi ke segala aspek kehidupan keluarga, bahkan aspek ekonomi.

Bagi saya, menyemangati keluarga yang sedang down dan mencari uang yang banyak adalah jalan paling logis saat itu, tetapi semakin saya mencoba mencari kerja, semakin saya mengalami banyak kegagalan. Di sisi yang lain, sebenarnya kerinduan untuk terus melayani mahasiswa semakin mendalam, tetapi saya juga semakin lari. Saya mencoba dan terus mencoba mencari pekerjaan tetap, dalam tahun ketiga saya mencoba, tak terasa saya berada dalam titik nadir. Saya menyadari bahwa saya telah habis, rapuh, dan gagal. Energi, emosi dan semua hal sudah sampai pada titik penghabisan. Saya marah dan meragukan Tuhan, membaca Alkitab? Berdoa saja tidak! Hingga di suatu sore, adik KTB saya menelepon, “Bang, dirimu masih mendoakan menjadi hamba Tuhan kan? Di Perkantas Jakarta ada posisi kosong sebagai staf literatur.”. Saya tidak langsung menerima, tetapi meminta waktu untuk berpikir.

Dalam dua hari saya bergumul dan terus bergumul. Saya kembali berdoa dan membaca Alkitab, lagi-lagi ayat sidi saya dari Matius 6:33 terus datang mengingatkan saya akan nazar saya kepada Tuhan, bahwa saya akan melayani sampai akhir hayat. Di tengah kegamangan, saya menjawab “Ya” kepada panggilan itu. Dalam doa saya di tengah kegamangan, saya hanya berkata, “Saya sudah capek berlari dari-Mu, saya mau taat dan berjalan bersama-Mu.”. Singkat cerita, saya memulai kehidupan sebagai staf literatur dan di tengah-tengah perjalanan sebagai staf, saya semakin diteguhkan akan panggilan ini. Kamp Nasional Mahasiswa menjadi momen dimana saya meyakini bahwa panggilan saya untuk kembali ke dunia pelayanan mahasiswa tidaklah salah, saya melihat bahwa mahasiswa butuh akan Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka sebagaimana yang saya alami dulu.

Ketika saya mengingat kembali akan panggilan itu, saya terus mengingat apa yang Polikarpus (murid Rasul Yohanes) katakan ketika hendak diperintahkan untuk menghujat Kristus dan di hukum mati, “Selama 86 tahun aku telah mengabdi kepada Kristus dan Ia tidak pernah menyakitiku. Bagaimana aku dapat mencaci Raja [Kristus] yang telah menyelamatkanku?”. Ini juga yang terus saya rindukan boleh saya alami ketika menjalani panggilan sebagai staf. Tuhan begitu baik! Bahkan dalam titik nadir, Allah hadir!

Note: ketika saya menulis sharing panggilan ini, saya mendapat momen peneguhan kembali melalui foto ini.

BAGIKAN: