Hidup Dalam Komunitas, Berdampak Bagi Realitas

Menjadi bagian dari komunitas rasanya bukan menjadi hal yang asing lagi bagi kehidupan kita saat ini. Dengan kemajuan teknologi dan kehadiran media sosial, setiap kita bisa menjadi bagian dari suatu komunitas dengan sangat mudah. Tanpa repot-repot, dalam sekejap kita dapat membuat atau menggabungkan diri dalam group-group yang ada di media sosial seperti Whatsapp, Facebook, Instagram dan platform lainnya yang serupa.

Namun, di balik segala kemudahan tersebut ternyata ada tantangan serius yang kita hadapi. Craig Groeschel dalam bukunya, Struggles, mengatakan bahwa generasi yang hidup dalam era media sosial seperti ini menghadapi tantangan yang serius dan bahkan akan berdampak buruk pada spiritualitas seseorang bila tidak ditangani dengan benar. Groeschel mengatakan bahwa kehadiran media sosial yang menghubungkan kita dengan lebih banyak orang di luar sana, justru malah membuat kita dilanda rasa kesepian yang lebih dalam, yang lebih mengerikan.

Bagaimana dengan keberadaan komunitas Kristen? Apakah relasi kita dengan sesama orang percaya hanya sekadar aktivitas online? Adakah tujuan dari hadirnya komunitas murid Kristus di tengah-tengah realitas (dunia) saat ini?

Komunitas Kristen adalah Anugerah

“Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.” – Efesus 2:19-20

Berbicara tentang komunitas Kristen tentu tidak dapat lepas dari Kristus itu sendiri. Mungkin ini adalah hal yang sudah banyak kita tahu, tetapi seringkali kita abaikan atau lupakan.

Sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa dalam Kejadian 3, konsekuensi dosa yang harus dihadapi oleh umat manusia bukan saja bicara tentang rusaknya relasi manusia dengan Allah, namun juga rusaknya relasi dengan sesamanya. Dalam kenyataan sehari-hari ini menjadi sesuatu yang sering terjadi. Dengan mudah kita menaruh curiga kepada orang lain, dengan mudah muncul negative thinking di pikiran kita, ataupun juga ada kecenderungan kita untuk menganggap rendah orang lain. Bila hal-hal ini kita biarkan dan terus memuncak, tentunya akan menimbulkan konflik yang sia-sia.

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa ketika kita dapat duduk berdampingan dengan sesama orang percaya, ketika kita dapat mengashi jemaat ataupun rekan pelayanan di dalam persekutuan kita, dan ketika kita dimampukan untuk mengampuni, menghibur, serta menguatkan mereka yang ada di dalam komunitas kita, itu terjadi semata-mata karena anugerah Allah di dalam Yesus Kristus. Hanya Kristus-lah sebagai Sang Juruselamat yang dapat membersihkan kita dari dosa, sekaligus melepaskan kita dari segala jerat dan konsekuensi dosa, termasuk memulihkan relasi dengan sesama yang rusak tersebut! (bdk. Ef. 2:14). Dengan demikian—Paulus menggambarkan—komunitas Kristen sebagai suatu kerajaan dan keluarga Allah, yang di dalamnya setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama, untuk diterima-menerima, untuk dikasihi-mengasihi, untuk diperhatikan-memerhatikan, untuk diampuni-mengampuni (bdk. Ibr. 10:22-25).

Mengasihi? Bagikanlah Injil dan hidupmu!

“Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi.” – 1 Tesalonika 2:8

Belajar dari teladan Paulus saat ia hidup dan melayani di tengah-tengah jemaat Tesalonika, ada dua hal yang bisa kita lakukan sebagai wujud dari hidup yang mengasihi di tengah-tengah komunitas Kristen, yaitu berbagi Injil dan berbagi hidup.

Injil dan Firman Tuhan menjadi sesuatu yang sentral di dalam komunitas Kristen. Paulus lebih lanjut menuliskan di dalam Efesus 2:20, bahwa kerajaan dan keluarga Allah itu “…dibangun di atas para rasul dan para nabi, dengan Yesus Kristus sebagai batu penjuru.” Dietrich Bonhoeffer dalam bukunya, Hidup Bersama, menjelaskan bahwa komunitas Kristen adalah suatu kenyataan rohani, bukan kenyataan psikologis. Artinya, komunitas Kristen mendasarkan keberadaannya pada Firman Tuhan, komunitas Kristen membenamkan dirinya pada kebenaran dan kasih yang sejati, dan hanya Firman Tuhanlah yang berotoritas memerintah di dalam komunitas ini. Di sinilah komunitas Kristen menjadi sangat berbeda dari komunitas yang lain. Firman Tuhan menjadi dasar, menjadi pengikat, menjadi inti dan nafas dari komunitas Kristen. Bukankah ini juga yang dapat kita contoh dari kisah jemaat mula-mula, di mana mereka bertekun (devoted themselves) dalam pengajaran para rasul (Kis. 2:41-42)?

Di sisi lain, bukan sekadar perkataan, nasihat, dan teguran-lah yang perlu terus-menerus dibagikan dalam komunitas Kristen. Kata “hidup” dalam 1 Tes 2:8 berasal dari kata “psuke” dalam bahasa Yunani (nantinya menjadi akar kata dari kata “psiko” dalam psikologi). Psuke memiliki arti suatu inner-being dari seorang manusia. Sehingga, berbagi hidup memiliki arti bukan saja untuk berbagi materi (harta benda, uang, atau tenaga) tetapi juga untuk berbagi pengalaman dan perasaan terdalam dari suatu pribadi. Misalnya, di dalam kelompok kecil, hendaknya setiap pertemuan tidak hanya fokus terhadap membahas Firman Tuhan tapi juga bagaimana pengalaman-pengalaman hidup yang terkait dengan Firman tersebut dibagikan; keberhasilan-kegagalan, ketaatan-ketidaktaatan, serta suka-duka semua dibagikan sehingga menjadi kesaksian yang menguatkan bagi sesama anggota komunitas.

Relasi yang inkarnasional seharusnya menjadi gaya hidup yang kita hadirkan bagi komunitas Kristen kita, di sekolah, di kampus, di kantor, di keluarga, dan di gereja. Relasi ini tidak sekadar menjadikan kita sebagai guru, penasehat, “orang tua” rohani, namun makin membentuk kita menjadi rekan atau sahabat seperjalanan, yang sama-sama hadir (inkarnasi) dalam suka-duka hidup, sekaligus juga menghadirkan (inkarnasi) Kristus di dalam hidup sesama.

Berdampak bagi Realitas

“Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.” – 1 Petrus 2:9

Kehidupan kita sebagai komunitas Kristen tidak hanya berhenti pada makna “kita dikuduskan, kita dipisahkan dari dunia”, tetapi berlanjut kepada makna “kita diutus kembali ke dalam dunia untuk menjadi berkat, menjadi pembawa kabar sukacita, menjadi garam dan terang bagi dunia, realitas di sekitar kita”. Sama seperti bangsa Israel yang dibebaskan oleh Allah dari Mesir untuk kembali ke tanah Kanaan sehingga dapat menjadi berkat bagi bangsa-bangsa (sesuai yang Allah janjikan kepada Abraham), demikian juga kita yang telah dikuduskan oleh Allah dari dosa dan maut dipanggil Allah untuk menjadi berkat bagi dunia ini (sesuai dengan rencana penciptaan-Nya).

Tentunya berdampak bagi dunia sekitar kita bisa kita mulai sejak dini. Tidak harus melulu menunggu sampai kita menjadi alumni atau sampai kita punya “panggung pentas”, tetapi berdampak dapat kita mulai sejak masa-masa menjadi siswa di sekolah dan mahasiswa di kampus. Apalagi di tengah-tengah kondisi masyarakat dan bangsa yang sedang terpecah-belah akibat isu agama dan kesatuan, yang juga banyak diisukan sampai hari ini di berbagai sekolah dan kampus. Melalui komunitas Kristen yang hadir melalui Rohkris, PMK, Persekutuan Alumni,  mari kita menjadi komunitas yang berdampak menjadi realitas di sekitar kita, menjadi berkat bagi masyarakat dan bangsa ini.

Penutup

Allah tidak memanggil kita sekadar menjadi orang Kristen yang biasa-biasa saja. Ia memanggil kita untuk menjadi murid-murid-Nya yang menghadirkan Kerajaan Allah di bumi ini. Kehadiran komunitas Kristen menjadi alat kasih karunia Allah bagi kita—murid-murid-Nya—untuk bertumbuh, mengenal dan menikmati persekutuan dengan Allah dan sesama, sehingga pada akhirnya dapat berbuah bagi dunia atau realitas di sekitar kita. Kiranya Allah menolong kita untuk hidup di dalam komunitas dan berdampak bagi realitas.

BAGIKAN: