Impianku Bukanlah Panggilanku

Masa muda adalah masa dimana banyak orang berbondong-bondong mengejar impiannya. Salah satunya adalah saya. Di akhir SMA, saya melihat ada seseorang yang mampu menghidupi hidupnya sendiri dan mendapatkan penghasilan di usia muda. Orang tersebut memiliki semangat yang tinggi dan juga impian yang besar untuk sukses. Singkat cerita, saya dan teman saya bergabung dalam bisnis MLM dan mempunyai impian untuk mencapai kesuksesan. Financial freedom. Passive Income. Sukses dibawah usia 30 tahun. Hal inilah yang digaungkan selama saya menggeluti bisnis MLM. Itulah impian saya, mengejar kesuksesan di usia muda.

Kelulusan SMA adalah titik awal dari pergumulan dan kebingungan saya karena tidak tahu mau kuliah apa. Hanya karena alasan Ujian Nasional mengambil Fisika maka saya mengambil kuliah di jurusan Teknik Sipil Trisakti. Saya benar-benar tidak mempersiapkan diri untuk bergumul dan berdoa mengenai hal ini. Ternyata masuk Teknik Sipil sangat sulit, hampir-hampir saya berpikir untuk keluar di tahun kedua karena tidak tahan dengan banyaknya remedial yang harus saya ambil dan harus mengeluarkan biaya lagi untuk remedial tersebut. Saya sempat terpikir untuk menekuni bisnis MLM ini saja dan tidak melanjutkan kuliah atau ganti jurusan lain. Namun semua pemikiran tersebut akhirnya berubah setelah saya terlibat dalam persekutuan kampus.

Uniknya, yang pertama saya cari saat masuk dalam Trisakti adalah persekutuan Kristen atau perkumpulan orang Kristen. Alasannya karena melihat banyaknya orang muslim di Trisakti. Ketakutan itu justru mendorong saya untuk mencarinya. Walaupun banyak orang yang tidak datang ke Persekutuan Jumat karena alasan tidak ada kelas di hari jumat, saya mencoba untuk ikut persekutuan secara rutin. Ternyata kebutuhan akan komunitas mendorong saya untuk mencari dan mengikutinya. Sedih rasanya melihat kondisi orang Kristen di jurusan saya yang sulit diajak bersekutu dan lebih memilih nongkrong di depan kelas. Padahal jarak persekutuan itu hanya berbeda beberapa langkah saja. Inilah kesedihan awal yang muncul ketika melihat kondisi orang Kristen di kampus yang kemudian menjadi titik awal panggilan Tuhan bagi saya.

Ada kalanya saya mengikuti khotbah, seolah-olah itu dengan keras menegur dan ditujukan kepada saya. Khotbah tersebut membahas ayat Lukas 12:13-21. Singkatnya, ada seorang kaya yang ingin membangun lumbung-lumbungnya dan membangun yang lebih besar, di mana ia menaruh semua gandum dan barang-barangnya. Bertahun-tahun dia menimbunnya dan kalau sudah jadi dia mau menikmati hasilnya, tapi Tuhan bilang untuk apa kamu mengumpulkan semua itu, lalu untuk siapa? Hari ini juga kamu akan mati. Sejujurnya, ini adalah peringatan yang sangat keras. Lalu setelah sekian lama firman ini kembali bersuara ketika saya sedang mengendarai motor. Inilah titik awal ketika saya mulai menyadari bahwa impian yang saya kejar bukanlah panggilan Tuhan. Mungkin ada sebagian orang seperti saya yang suka merenung sambil di jalan -memang agak berbahaya sih-, tapi inilah awal Tuhan membukakan kepada saya pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan saya. Awalnya, seperti yang sudah saya katakan bahwa saya mengejar hidup sukses, financial freedom. Namun, sewaktu kuliah saya juga mempunyai keinginan untuk melayani. Saya memikirkannya dan mempunyai keinginan untuk mengejar hidup sukses terlebih dahulu agar kelak saya bisa punya banyak waktu untuk melayani Tuhan di kemudian hari. Namun di motor itulah saya berpikir, kalau saya mengejar kesuksesan dulu, lalu apa jadinya jika saya tiba-tiba mati ditengah jalan? Artinya saya tidak bisa melayani dong. Akhirnya saya menyadari peringatan yang Tuhan berikan itu.

Momen natal Trisakti di tahun kedua kuliah saya adalah titik dimana Tuhan memanggil saya untuk menjadi hamba Tuhan sepenuh waktu. Meski saat itu saya melayani sebagai pemusik Cajonis, namun pada momen Altar Call saya berdoa dan merenungkan panggilan Tuhan tersebut. Yang mendorong saya untuk menjawab panggilan itu adalah karena ada kesedihan melihat orang-orang Kristen disekitar saya yang sulit diajak bersekutu, namun ada kebingungan bagaimana cara mengajaknya. Ada kerinduan supaya mereka mengenal Tuhan. Ini adalah panggilan yang Tuhan berikan kepada saya di tahun kedua saya berkuliah. Namun, saya terus menggumulkan hal itu selama 4 tahun sampai saya lulus kuliah dan tidak terburu-buru mengambil keputusan seperti dulu. Saya juga bersyukur di Perkantas saya mengikuti Pre-Graduate Session Mentoring yang diperuntukkan bagi mahasiswa akhir yang akan menjadi alumni. Panggilan saya semakin diteguhkan melalui sesi-sesi dan mentoring yang ada. Saya melihat bagaimana Tuhan menuntun dan menyertai saya dari masa kecil hingga sekarang. Ada konfirmasi yang bisa dilihat juga ketika memeriksa perjalanan hidup saya. Ayat firman yang kembali meneguhkan panggilan saya adalah tentang suku Lewi yang tidak mendapat warisan, karena warisan mereka adalah TUHAN, Allah Israel (Yosua 13:14). Hal inilah yang membuat saya tidak kuatir akan penghidupan saya karena hanya Tuhan Allah yang menjadi warisan saya. Dialah yang pasti akan memelihara hidup saya.

Impian yang awalnya menjadi tujuan hidup saya, ternyata bukanlah panggilan saya. Dulu saya berusaha keras untuk mengejar hal-hal fana, namun dalam kasih karunia Tuhan, Dia menarik saya kembali untuk hidup dalam panggilan-Nya. Coba renungkan, apakah hidup yang kamu jalani ini merupakan panggilan dari Tuhan ataukah kamu hanya sekadar mewujudkan impianmu semata? Kiranya impian kita selaras dengan panggilan Tuhan bagi kita. Soli Deo Gloria.

BAGIKAN: