Belum Titik; Masih Ada Koma

Titik koma atau semicolon bisa jadi merupakan tanda baca yang tidak sering kita gunakan dalam keseharian. Namun demikian, tanda baca ini mulai dikenal lebih luas sejak 16 April 2013 terkhusus di dunia literasi kesehatan mental sebagai Hari Titik Koma Sedunia (The World Semicolon Day). Hari yang diperingati untuk mempromosikan kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri. Ya, pencegahan bunuh diri; sebuah isu yang tampaknya cukup tabu tapi sesungguhnya amat penting dibahas, karena kita terkadang tak sadar betapa dekatnya isu ini dengan dunia kita.

Siapa pula yang ingin mengakhiri hidupnya?

Mungkin bukan Anda, bisa juga Anda; mungkin bukan orang di sekitar Anda walaupun bisa juga orang di sekitar Anda; mungkin tidak ada orang yang Anda kenal ingin mengakhiri hidupnya walaupun bisa juga Anda hanya sekedar pernah mendengar kabar burung soal itu. Namun tidak mengetahui bukan berarti tidak ada; tidak ada yang kita tahu ingin melakukannya bukan berarti tidak ada yang pernah ingin melakukannya.

Di sisi lain, mungkin juga Anda atau orang di sekitar Anda pernah atau sedang lelah meneruskan hidup yang terasa sudah seharusnya berakhir sehingga langkah terasa berat dan jalan di depan terasa begitu gelap. Rasanya tak seorang pun manusia yang luput dari kegelapan semacam ini, termasuk Yesus. Bukankah di atas salib, Ia berseru kepada Bapa; “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 27:46b).

Kapan hidup terasa seperti “titik”?

Saat menuliskan ini, memikirkan kata seusai tanda baca “titik” bukanlah hal yang mudah. Titik membuat kita perlu berhenti, terdiam, merenung, berpikir, serta maju untuk menambah kata tapi kembali mundur ketika ada huruf yang perlu dihapus. Melanjutkan setelah titik maupun menggunakan semicolon memanglah tidak semudah itu. Ada ketakutan, keraguan, dan kebingungan untuk melanjutkan usai titik.

Bukankah hidup juga demikian? Kita butuh upaya lebih demi melanjutkan hidup setelah kehilangan pekerjaan, teman, anggota keluarga, atau orang terkasih; berpegang pada harapan setelah mengalami kekecewaan; berdoa kembali setelah permintaan kita tak sejalan dengan kehendak Tuhan.

Di taman Getsemani, Yesus yang sedih dan gentar berkata, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku” (Mat 26:38). Allah yang menjadi manusia menghadapi situasi yang membuat-Nya mengalami kesedihan mendalam hingga ingin mati. Dalam situasi tersebut, Yesus juga berdoa dan berharap agar penderitaan itu berlalu dari pada-Nya sekaligus berserah kepada Allah; “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat 26:39).

Apakah Yesus akhirnya dapat lari? Tidak. Ia tetap harus menanggung akibat dosa manusia dan mengalami penderitaan bukan hanya fisik tapi juga pahitnya dipermalukan, ditinggalkan, dihina, hingga puncaknya keterpisahan dengan Allah Bapa di kayu salib. Ketika Yesus mengutarakan kesedihan-Nya di taman Getsemani, bagaimana respons para murid?

Kita mungkin dapat mencoba memahami bahwa para murid telah letih dengan kegiatan mereka sehari itu. Malam di taman Getsemani yang sunyi bisa menjadi waktu yang terasa tepat untuk beristirahat. Namun, bagaimana perasaan para murid mendengar Sang Guru yang selama ini selalu bijaksana dan berkuasa tiba-tiba mengungkapkan kesedihan yang mendalam kepada mereka? Alkitab tidak mencatat ekspresi atau jawaban mereka tetapi Alkitab mencatat respons mereka dalam bentuk tindakan; mereka tertidur dan tidak berdoa bersama Yesus (Mat 26:40).

Bagaimana menghadirkan “koma” pada “titik”?

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan tanda baca berupa titik koma (;) digunakan untuk menandai bagian kalimat yang sejenis dan setara, juga untuk memisahkan kalimat yang setara dalam kalimat majemuk sebagai pengganti kata penghubung. Tanda baca ini menghubungkan dan meneruskan suatu kalimat; selayaknya upaya kecil yang dapat menolong seseorang untuk tetap melanjutkan hidup.

Tentu, pada masa di mana Yesus dan para murid hidup, pembelajaran kesehatan mental belum berkembang seperti saat ini. Kalimat yang Yesus utarakan bisa jadi terasa hanya sebagai sebuah kiasan bahkan dirasa berlebihan pada saat itu. Namun ketika kita mengetahui peristiwa yang Yesus alami, kita dapat menyimpulkan bahwa kalimat Yesus bukan kiasan atau berlebihan; itu sungguh datang dari perasaan-Nya sebagai seorang manusia.

Allah yang menjadi manusia pernah mengalami apa yang juga dirasa “titik” oleh umat yang dikasihi-Nya. Jika Yesus dalam kemanusiaan-Nya pun tak kebal terhadap situasi demikian, bukankah tidak mustahil kita pun sebagai manusia mengalaminya? Dalam situasi “sedih seperti mau mati rasanya”, Yesus meminta para murid untuk berdoa dan berjaga bersama-Nya. Ia meminta bantuan kepada para murid. Ia meminta kehadiran manusia lain sekalipun Ia juga turut berdoa kepada Allah.

Lantas, bagaimana kita memaknai kehadiran kita bagi sesama di tengah pergumulan yang mereka hadapi?

Hadir seperti koma pada sebuah titik.

Yesus mengajak ketiga murid-Nya untuk mengikuti Dia ke taman Getsemani. Bukankah Ia dapat melakukannya seorang diri? Bukankah Ia memiliki relasi yang begitu dekat dengan Bapa-Nya?

Dalam kemanusian-Nya, Yesus membutuhkan kehadiran sesama manusia juga. Tidak banyak yang Yesus minta dari para murid selain duduk dan menanti, dan menemani-Nya. Terkadang, kita pun dapat melakukan hal-hal sederhana untuk hadir bagi sesama di tengah pergumulan mereka. Duduk bersama, menangis bersama, berjalan melihat pemandangan bersama, ataupun berdoa bersama mereka. Seperti kata seorang teolog dan penulis, Henri Nouwen; “The friend who can be silent with us in a moment of despair or confusion, who can stay with us in an hour of grief and bereavement, who can tolerate not knowing… not healing, not curing… that is a friend who cares.”

Kita memang bukanlah juruselamat bagi sesama; sama seperti halnya para murid yang tak dapat menyelamatkan Yesus dari tentara Romawi. Namun kita dapat memberi ruang bagi sesama kita berbagi beban yang mereka rasakan; sebagaimana Yesus membagi perasaan-Nya kepada para murid. Sayangnya, kehadiran kita bagi sesama terkadang seperti halnya para murid; kita tidak sungguh mendengarkan. Mendengarkan memang bukanlah hal yang sederhana dan perlu terus kita latih. Kita butuh energi, fokus, dan kemauan untuk memberi diri dalam kisah yang dibagikan sesama kita.

Yesus juga meminta mereka berjaga-jaga agar tidak jatuh ke dalam pencobaan. Berjaga-jaga merupakan tindakan aktif yang Yesus harapkan para murid lakukan bukan hanya bagi diri-Nya tetapi juga bagi kebaikan para murid. Berjaga-jaga merupakan tindakan siaga sebelum sesuatu terjadi. Berjaga-jaga dapat menjadi upaya terus memperlengkapi diri dalam kehidupan dengan sesama kita. Contoh konkretnya adalah dengan tetap berdoa bagi sesama; mempelajari topik kesehatan mental; terlibat dalam latihan atau diskusi yang menolong kita memahami dinamisnya seorang manusia.

Menghadirkan “koma” pada “titik” seseorang tidak semata-mata hanya mengenai sesama kita; tetapi juga mengenai diri kita. Kita yang memaknai kembali penderitaan Yesus; kita yang menghidupi kasih yang telah terlebih dahulu kita terima; kita yang bersedia melayani sesama kita sebagaimana Yesus telah memberi hidup-Nya; dan kita yang meyakini kebangkitan-Nya memberi pengharapan.

BAGIKAN: