Kebodohan Berita Salib

“Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah.“ (1Kor. 1:22–24)

Dianggap Bodoh Itu Nggak Enak

Di reruntuhan kota tua Roma, ditemukan sebuah coretan dinding (grafiti) yang diyakini berasal dari tahun 200an Masehi.1 Dalam coretan tersebut tertulis: “Alexamenos menyembah Tuhannya.” Di dekat tulisan tersebut terdapat gambar seseorang (Alexamenos) yang sedang menyembah. Yang disembah adalah seseorang yang disalib, dan yang tersalib adalah sesosok manusia berkepala keledai – sebuah olok-olok yang cukup umum ditujukan kepada seorang pengikut Yesus saat itu.2 Ejekan ini diberikan karena umat Kristen menyembah Allah yang disalib dan mati sebagai kriminal besar – karena pada zaman itu hanya kriminal besar yang dihukum salib. Tidak heran Marcus Fronto, seorang ahli retorika Roma di abad kedua, menyimpulkan bahwa kekristenan adalah kepercayaan dari orang-orang yang bodoh dan yang mudah ditipu.

Apa yang dikatakan oleh Fronto, dan coretan dinding yang ditujukan kepada Alexamenos, bukanlah hal yang baru. Sebaliknya, ejekan-ejekan tersebut sudah dialami oleh umat Kristen sejak dari abad pertama. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul Paulus, bagi mereka yang tidak percaya, “pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan…” (1Kor. 1:18).

Di satu sisi orang-orang Yahudi, diwakili oleh para ahli Taurat (ay. 20), meyakini bahwa Sang Mesias akan datang dengan tanda-tanda ajaib. Dan dengan kuasa yang besar Ia akan menaklukkan musuh-musuh mereka. Oleh sebab itu, sungguh tidak masuk akal, dan bahkan konyol, jika Sang Mesias tampak lemah, menderita sengsara, dan bahkan mati terbunuh di kayu salib – simbol dari seseorang yang dikutuk. Di sisi lain orang-orang Yunani, diwakili para orator (“pembantah dari dunia,” ay. 20) dan para filsuf (philosopher=pecinta hikmat) meyakini bahwa kebenaran hanya bisa ditemukan melalui tradisi retorika dan filsafat Yunani-Romawi. Dan menurut analisa dan standard evaluasi mereka, berita mengenai salib jelas-jelas adalah kebodohan.

Bisa jadi jemaat di Korintus terintimidasi oleh kondisi tersebut. Pada saat itu filsuf dan orator merupakan orang-orang yang sangat dihormati dan dianggap sangat terpelajar. Jika mereka menyimpulkan berita salib adalah bodoh, bukankah itu membuat orang Kristen terlihat bodoh, ketinggalan zaman, kampungan dan rawan di-bully? Dalam masyarakat yang sangat menjunjung kehormatan, hal terakhir yang mau mereka hadapi adalah dipermalukan.

Tidakkah lebih baik bagi orang Kristen mula-mula untuk merevisi pengajaran mereka? Jika berita salib adalah hal yang memalukan, tabu, bukanlah lebih baik disamarkan, atau sekalian disembunyikan. Dengan demikian maka ajaran Kristen, dan orang Kristen, mungkin bisa terima. Siapa tahu, dengan meminimalkan salib, kekristenan akan dianggap pengajaran yang up to date, nge-hits, sesuai dengan generasi milenial saat itu, dan memperoleh banyak like dan acungan jempol. Sebagaimana nasihat yang pernah diberikan kepada teman saya saat ia berkhotbah: “Jangan sekali-kali berbicara mengenai dosa!” Atau masukan yang saya sendiri pernah terima: “Tolong khotbahnya yang ringan dan yang lucu.”

Rasul Paulus menolak opsi yang demikian. Alasannya jelas: kepintaran dan hikmat para orator dan filsuf tidak sanggup membawa seseorang kepada kebenaran dan keselamatan. Satu-satunya yang sanggup membawa seseorang kepada kebenaran hakiki dan keselamatan adalah karya Kristus di kayu salib. Itu sebabnya Sang Rasul menyatakan bahwa bagi orang Kristen, berita salib adalah kekuatan dan hikmat Allah (ay. 18, 24). Tidak hanya itu, Rasul Paulus menyatakan bahwa “Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil” (ay. 21). Berita salib yang dianggap bodoh di mata dunia, merupakan hikmat di mata Allah. Bukan berarti Paulus menolak kontribusi dari filsafat atau ilmu retorika. Rasul Paulus sendiri menggunakan ilmu retorika untuk menyampaikan berita Injil. Yang salah adalah anggapan bahwa filsafat dan ilmu retorika sebagai yang paling hakiki dan utama untuk menggapai kebenaran dan keselamatan – anggapan bahwa filsafat dan retorika adalah game changer.

Kesadaran Paulus akan kuasa Allah melalui berita Injil tidak bisa tidak mempengaruhi pelayanan yang ia lakukan. Paulus menyatakan bahwa ia memberitakan Injil bukan dengan kata-kata indah atau kata-kata hikmat yang fasih (1:17; 2:1). Sang Rasul menyatakan bahwa ia melayani dengan takut dan gentar, dan “dengan keyakinan pada kekuatan Roh” (2:3–4).

Berbeda dengan Paulus, terkadang rasa malu dengan berita salib tanpa sadar kita bawa dalam pelayanan. Kita menghabiskan lebih banyak waktu dan menaruh iman kita terutama kepada strategi, analisa, teknologi terkini, metode pelayanan, teknik khotbah dan motivasi, musik dan lagu kekinian; demi menjangkau kaum milenial kita berusaha menjadi seperti mereka – semua karena kita tidak yakin berita salib berkuasa.

Dianggap bodoh itu nggak enak. Tapi yang lebih bodoh lagi adalah jika kita menghilangkan dan menyarukan berita salib karena takut dianggap bodoh oleh dunia. Kristus tanpa salib bukanlah Kristus yang sesungguhnya. Kekristenan tanpa salib bukan lagi kekristenan. Pernyataan Martin Luther, sang Bapak Reformasi patut ditanam dalam benak kita: the cross alone is our theology. Berita Salib adalah fondasi dari iman Kristen yang tidak bisa ditawar.

[su_divider]

1 Alexamenos graffito
2 Untuk info lebih lanjut dan gambar grafiti, bisa lihat di https://en.wikipedia.org/wiki/Alexamenos_graffito dan http://penelope.uchicago.edu/~grout/encyclopaedia_romana/gladiators/graffito.html

BAGIKAN: