Cintaku Bersemi Sejak Putih Abu-Abu

“Cintaku bersemi di putih abu-abu”, rasanya ini adalah sepenggal lirik yang menggambarkan hidupku saat itu. Aku menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi di penghujung putih biru menuju fase hidup yang baru yaitu putih abu-abu. Aku bersyukur sekali karena aku merasakan kehangatan kasih-Nya di awal masa pertobatanku melalui persekutuan di sekolahku. Masih baru rasanya dalam ingatanku ketika dimasa MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik) aku disambut dengan ‘sangat teramat hangat’ oleh kakak-kakak rohkris di SMA 1 Depok. Aku tidak pernah menyangka jika kehangatan itu bisa menolongku untuk bisa menikmati Tuhan di hidupku sampai hari ini.

Aku bukan orang yang terbiasa dengan persekutuan, apalagi persekutuan yang interdenom seperti yang ada di sekolahku. Selama hidupku, sebelum aku ‘kecemplung’ di rohkris aku hanya tau yang namanya gereja, persekutuan naposobulung di gerejaku, dan lain-lain. Belum pernah aku mendengar persekutuan semacam itu sebelumnya. Masih amaze juga rasanya mengingat keluargaku dulu juga bukan keluarga yang cukup terbuka terhadap persekutuan seperti ini meskipun papaku seorang hamba Tuhan. Papaku tetap takut jika aku terlibat dalam persekutuan, aku malah membenci papa mamaku dan meninggalkan gereja. Mereka juga takut aku cuma senang kumpul-kumpul tetapi tidak mencintai Tuhan. Bukannya aku juga tidak takut, tapi saat itu aku yakin bahwa persekutuan ini lebih membangun, dan benar lambat tetapi pasti keluargaku bisa melihat lebih banyak aspek hidupku yang dibangun daripada ‘tergerus atau hancur’ karena ditolong dalam persekutuan ini.

Singkat cerita, setelah pertobatanku, di rohkris kemudian aku mulai dilibatkan dalam pelayanan, mulai dari sebagai usher, kolektan, pendoa syafaat, panitia hingga pengurus rohkris di semester 2 kelas 10. Selain itu, aku dibina dalam kelompok kecil (KK) oleh PKK yang juga alumni dari sekolahku dan ada persekutuan besar yang bisa kunikmati setidaknya dua kali dalam sebulan. Di sekolahku juga ada kakak TPS yang rutin melakukan kunjungan di hari jumat, menyapaku, mendoakanku, mendengarkan sharing, menegurku, dan banyak bukti kasihNya melalui kakak ini. Dengan kata lain, sebenarnya aku pantas bersyukur karena Tuhan sungguh-sungguh menyatakan kasihnya melalui komunitas yang sehat dan itu mampu untuk mendorongku melihat Kristus atas hidupku.

Di kelas 12, aku juga bersyukur dilibatkan dalam pelayanan sebagai pengurus siswa di PSKJ yang dapat “memaksaku” untuk melihat bahwa Allah tidak hanya mengasihi siswa-siswa di sekolahku, tetapi juga sekolah lain. Pada tahun 2014, aku ikut Kamp Pengutusan Siswa (KPu Siswa) yang diadakan oleh PSKJ. Salah satu kalimat pengantar yang disampaikan oleh sang MC waktu itu yaitu “kita sekarang ada di persimpangan jangan…” membawaku pada banyak pertanyaan, terkait pilihan studi dan dimana aku akan melayani saat mahasiswa nanti. Yang aku tahu, pelayanan di gereja itu seumur hidup, tetapi pelayanan pada kaum intelektual hanya bisa dilakukan saat aku menjadi kaum intelektual juga, yaitu pada masa siswa dan mahasiswa. Dalam semangat yang berapi-api, aku akhirnya memutuskan untuk melayani di mahasiswa karena pikiran polosku berkata “Aku kan mahasiswa, mahasiswa ya bangun mahasiswa, kalau melayani mahasiswa di kampus juga nanti bisa aktualisasi diri, kalau di siswa kayaknya gak punya harapan.” ditambah saat penerimaan mahasiswa baru, aku bertemu dengan salah satu senior PO, baru bertemu pertama kali langsung menceritakan kalau PO begitu menyedihkan saat itu, nampaknya. Dengan makin geer aku merasa jika Tuhan pasti panggil aku buat bangun kampus. Singkat cerita, ternyata skenario hidup yang sudah kususun berantakan. Ada Firman yang menggelisahkan, sharing dengan salah satu TPS, kemudian seorang kakak staf akhirnya memintaku untuk mendoakan jadi TPS, serta “hutang Injil” yang meskipun gak bisa dibayar mengarahkanku dengan jelas untuk kembali melayani siswa. Aku mantap kembali ke dunia siswa dengan keyakinan kalau Allah pasti menyediakan juga bagi kampusku orang-orang yang terbeban untuk menangkan mahasiswa.

Meskipun sebagai pelayan siswa, aku juga menyadari jika aku adalah mahasiswa dan karenanya dalam kapasitas dan kesempatan tertentu aku juga melayani di kampus dan PMKJ. PMKJ juga jadi wadah pertumbuhan buatku mengingat aku jarang ikut PJ di kampus karena harus ke sekolah namun aku butuh “makanan rohani”, butuh “dilayani” juga. Sebaliknya, beberapa teman-teman mahasiswa juga memberi diri untuk melayani siswa pada beberapa kesempatan, seperti menjadi PPIPA keliling di sekolah, MC, Pemusik di Student Fellowship, pelayan KKRS, bahkan Kamp-Kamp Siswa.

Disini aku bersyukur bisa melihat kesinambungan pelayanan siswa dan mahasiswa dan bagaimana masing-masing komponen saling mendukung. Kakak-kakak alumni juga tidak kalah dalam memberikan kontribusi dalam mendukung pelayanan siswa dan mahasiswa, dalam hal dana, doa, bahkan diri (3D). Teladan mereka meninggalkan kesan bagiku “jika bukan karena cinta kepada-Nya yang terus bersemi sejak siswa/mahasiswa, mereka tidak akan ‘rela’ memberikan hal ‘berharga’ itu”.

Seperti kakak-kakak alumni itu, kehadiran kita di ladang masing-masing sampai hari ini juga pasti karena kasih-Nya yang sanggup ‘menghisap’ kita pada pekerjaan mulia-Nya, melayani siswa atau mahasiswa. Kalau aku, cintaku kepada-Nya bersemi sejak putih abu-abu, sebagian dari kita mungkin sejak pakai jaket almamater di kampus masing-masing. Kapan pun kita pertama kali jatuh cinta kepada-Nya, kiranya semangat persekutuan dan pelayanan kita juga terus digerakkan karena cinta yang terus bersemi kepada-Nya sampai menjadi alumni dewasa nanti. Selamat mengecap dan membagikan cinta-Nya mahasiswa!

(Dimuat di Buletin Nehemia PMKJ edisi Mei 2017)

BAGIKAN: