Finally, I’ve Found You

Bicara tentang pasangan hidup, dari mahasiswa saya sudah diajarkan bahwa ini adalah hal terpenting kedua dalam hidup setelah menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat. Hal ini membuat saya menjadi orang yang berhati-hati sekali dalam memilih pasangan hidup. Saya menetapkan sejumlah kriteria yang sangat ketat dan tidak mudah digoyahkan oleh pria yang tidak memenuhi kriteria itu ataupun memenuhi sebagian saja dari kriteria tersebut. Kalau saya suka pada seseorang, saya tidak akan menunjukkannya. Sehingga orang yang saya sukai juga bahkan tidak tahu kalau saya menyukainya. Saya pikir waktu itu memang saya belum siap berelasi khusus dengan pria, ego saya masih sangat tinggi. Ketika usia bertambah, kedewasaan bertambah, pembinaan tentang relasi antara pria dan wanita banyak diikuti, banyak membaca buku, sedikit demi sedikit hati ini mulai terbuka untuk berelasi dan kriteria yang saya tetapkan dikoreksi menjadi lebih realistis.

Dalam pengalaman saya, ketika mulai siap berelasi dengan pria, hal inilah yang terjadi:

Saya menyadari kebutuhan saya untuk menikah. Pada usia kurang lebih 30 tahun dan masih single, saya sangat dikuatkan dari Kejadian 2:18 yang berkata, “tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Pada saat itu saya merasakan tidak ada orang yang cocok dengan saya (bukan karena ada konflik). Walaupun saya berada di tengah keramaian, rasanya sepi dan kadang-kadang tanpa alasan bisa menangis sendiri. Sahabat bercerita banyak, tapi rasanya bukan sahabat seperti itu yang saya butuhkan (sahabat bercerita saya wanita semua), rasanya seperti ada yang kurang lengkap. Saya waktu itu berpikir, apa yang terjadi pada saya? Sampai saya bercerita dengan teman-teman perempuan yang umurnya diatas saya, ketika masih single mereka juga pernah mengalami masa seperti itu. Perasaan mellow itu berbeda-beda antara setiap orang, ada yang lama, ada juga yang sebentar. Nah, ketika membaca Firman di atas, disitulah saya mengerti bahwa saya dipanggil untuk menikah. Perasaan yang beraneka rupa itu adalah signal yang Tuhan berikan untuk saya yang sebelumnya berpikir tidak menikah tidak menjadi masalah untuk saya.

Saya membuka diri untuk didekati pria dan saya tidak langsung memasang benteng dan menolak orang yang mendekat. Saya juga memperlengkapi diri dengan membaca buku-buku tentang pernikahan, salah satu buku yang berkesan yaitu “So You’re Getting Married” oleh H. Norman Wright. Ada kalimat dari buku lain yang saya baca, yang membuat saya terhenyak, “Kesuksesan suatu pernikahan bukan terjadi karena menemukan orang yang ‘tepat’, tetapi karena kemampuan kedua belah pihak untuk menyesuaikan diri dengan pribadi sesungguhnya dari orang yang mereka nikahi (John Fisher).” Hal ini memberikan pengertian baru kepada saya dalam berelasi dengan pria. Ada mentor yang mengajarkan saya banyak hal & mendoakan saya dalam pergumulan PH ini. Saya sangat bersyukur untuk itu.

Ketika ada pria yang serius mendekati, komunitas menolong saya untuk jernih melihat dan berpikir apakah ini orang yang tepat untuk saya dan apakah saya orang yang tepat untuk dia. Saya memperkenalkannya pada banyak teman, senior dan keluarga saya. Saya meminta pendapat mereka walaupun saya yang mengambil keputusan. Kalau kita sedang jatuh cinta seringkali kita hanya melihat sisi positif saja, kita belum secara real melihat kepribadiannya, seperti pepatah, “kalau cinta sudah melekat, taik kucing pun rasa coklat”. Semua orang yang saya ajak berdiskusi, memiliki respon yang positif dengannya. Sebelum masa bergumul selesai, Tuhan menjawab melalui saat teduh dari Mazmur 37:25-26 mengenai keraguan saya kepadanya dan hubungan kami. Dengan keyakinan itu akhirnya saya berani maju dan mantap untuk menikah dengan Hubert, yang sekarang sudah menjadi suami saya. Ketika sudah memasuki pernikahan, saya lebih siap untuk bertoleransi dan menerima dia apa adanya, fleksibel, dan saling mengampuni. Komunitas sangat membantu dalam pengambilan keputusan penting ini selain saya pun sudah mendapatkan kemantapan dalam Firman.

Satu hal yang saya sangat syukuri, Tuhan menjawab doa jauh lebih banyak dari yang saya doakan dan pikirkan. Di saat tidak berpatokan lagi pada kriteria ketat yang saya buat sewaktu mahasiswa, justru hampir seluruh kriteria yang saya harapkan, Tuhan berikan. Betapa baiknya Tuhan itu. Inilah pengalaman saya dalam menemukan cinta, kiranya dapat menjadi berkat untuk teman-teman single dalam menemukan cinta.

“Pernikahan adalah sebuah hadiah (anugerah). Dasarnya bukan si penerima layak mendapatkannya. Pernikahan adalah kesempatan untuk belajar tentang cinta. Pernikahan adalah perjalanan yang harus kita lalui dengan berbagai pilihan dan konsekuensi. Pernikahan lebih banyak dipengaruhi oleh komunikasi batiniah daripada komunikasi lahiriah. Pernikahan adalah panggilan untuk melayani. Pernikahan adalah panggilan untuk bersahabat. Pernikahan adalah panggilan untuk menderita. Pernikahan adalah proses pemurnian, kesempatan untuk dibentuk Allah menjadi pribadi yang dikehendaki-Nya. Pernikahan mencakup keintiman di segala bidang yang harus terus dibina. Pernikahan adalah sebuah komitmen tak bersyarat bukan perjanjian.” (So You’re Getting Married – H. Norman Wright)

BAGIKAN: