Kasih Tanpa Batas

Sebagai warga negara yang baik, kita berkewajiban menggunakan hak politik untuk memilih para wakil rakyat yang akan duduk di lembaga-lembaga legislatif dan juga memilih sosok pemimpin bagi negara ini, yaitu presiden dan wakil presiden.

Kita tahu dan sadar betul bahwa banyak sekali pro dan kontra yang ada di sekitar kita menjelang Pemilu. Kawan dan lawan saling beradu kekuatan. Saking sengitnya, tanpa kita sadari, muncullah fanatisme dari para pendukung terhadap ‘jagoan’nya masing-masing. Perasaan saling membenci pun kemudian tidak dapat dihindari. Sedihnya, Pemilu yang harusnya menjadi ajang adu intelektualitas politik (visi-misi, nilai-nilai, program kerja, dan sebagainya) kian lama menjadi celah yang besar bagi timbulnya perpecahan di kalangan rakyat.

Melihat fenomena tersebut, beberapa pertanyaan terlintas dalam benak saya, “Bagaimana kita sebagai orang Kristen menyikapi hal ini? Apakah kita juga terhitung di antara mereka yang membenci kandidat yang lain serta pendukung-pendukungnya? Bagaimana dengan kasih serta pengampunan yang diajarkan kepada kita bisa dinyatakan di tengah-tengah kondisi seperti ini?” Saya kemudian teringat akan apa yang Yesus nyatakan, yang tercatat di dalam Lukas 10:25-37.

Kasih yang Berbatas

Seorang ahli Taurat datang kepada Yesus hendak mencobai-Nya. Tentunya sebagai seorang ahli Taurat, ia sudah sangat tahu dan menguasai hukum-hukum Taurat. Namun, ia melontarkan satu pertanyaan kepada Yesus, “Apa yang harus kuperbuat untuk hidup yang kekal?” Yesus tidak langsung menjawabnya, namun kembali bertanya kepadanya tentang apa yang ia sudah baca di dalam hukum Taurat. Singkat cerita, ia memberi jawaban tentang hukum yang terutama: kasihi Allah dan kasihi sesama. Yesus menerima jawabannya itu dan memintanya, “Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” Namun, ternyata urusan sang ahli Taurat tidak berhenti sampai di situ saja.

Sang ahli Taurat kemudian bertanya lagi, “Siapakah sesamaku manusia?” Ini bukan pertanyaan yang biasa. Lihat bagaimana Lukas memberikan catatan sebelum pertanyaan tersebut diucapkan, “Tetapi untuk membenarkan dirinya…” Pertanyaan inilah yang sebenarnya ia gunakan untuk mencobai Yesus, sekaligus sebuah pertanyaan yang ia ujarkan untuk membenarkan dirinya. Mengapa demikian?

Masyarakat Yahudi saat itu sangat mengisolasi diri dari mereka yang termasuk orang-orang Samaria. Bagi mereka, orang Samaria adalah orang yang najis, masyarakat kelas bawah, sesama yang tidak layak untuk diperhatikan dan dikasihi. Membenci mereka adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh seorang Yahudi. Oleh sebab itu, kita bisa mengetahui bahwa sang ahli Taurat hendak membenarkan dirinya dengan membatasi “sesama manusia” hanya kepada mereka, sesama kaum Yahudi. Bukankah dengan demikian ia sudah mengerjakan hukum “Mengasihi Sesama”? Mari kita simpulkan bahwa kasih dari sang ahli Taurat adalah kasih yang berbatas, kasih yang memiliki batas.

Kasih yang Tidak Lagi Membatas

Yesus menanggapi pertanyaan sang ahli Taurat tersebut dengan menceritakan sebuah perumpamaan “Orang Samaria yang Murah Hati.” Dalam perumpamaan tersebut, Yesus menceritakan bahwa ada seorang yang sedang melakukan perjalanan dari Yerusalem menuju Yerikho. Nampaknya orang tersebut baru saja selesai mengikuti ibadah di Bait Allah dan karenanya kita bisa menyimpulkan bahwa ia adalah seorang Yahudi. Di tengah perjalanan, ia dirampok, dianiaya, dan ditinggalkan setengah mati. Ia terkapar menderita.

Seorang imam, yang mungkin baru saja bersama-sama dengan orang tersebut beribadah di Bait Allah, melewati jalanan itu. Namun, ia membiarkan orang tersebut begitu saja. Kemudian seorang Lewi juga melewati jalan itu, akan tetapi hal yang sama dilakukannya. Bahkan kita bisa melihat bahwa mereka melewati si korban dari seberang jalan; sebuah respon dari mereka yang tidak hanya membiarkan tetapi juga dengan sengaja menjauhi si korban. Namun, setelah mereka, ada orang ketiga yaitu seorang Samaria. Ia adalah seseorang yang nyatanya berasal dari kaum yang paling dibenci oleh orang-orang Yahudi, tetapi ia-lah yang pada akhirnya memberi diri untuk menolong orang Yahudi tersebut. Pertolongannya pun tidak tanggung-tanggung, ia betul-betul menolong, merawat, dan mengasihi orang tersebut seperti ia mengasihi dirinya sendiri (lihat ayat 33-35). Kasih dari seorang Samaria inilah kasih yang tidak lagi membatas, kasih yang tidak lagi tersekat-sekat.

Kasih Tanpa Batas

Kasih tanpa batas dalam perumpamaan ini tidak sekadar terletak pada tindakan baik yang dilakukan oleh orang Samaria tersebut. Kasih tanpa batas tidak hanya mengajak kita untuk berbuat baik, memberikan sedekah dan atau pertolongan pada kaum lemah. Kasih tanpa batas bicara lebih dari itu.

Yesus menutup perumpamaan yang diceritakannya dengan suatu pertanyaan kepada sang ahli Taurat, “Siapakah di antara ketiga orang ini adalah sesama manusia dari orang yang malang itu?” Bila saya parafrase-kan maka kalimat Yesus akan berbunyi seperti ini, “Siapakah di antara ketiga orang ini yang mengasihi sesamanya manusia seperti ia mengasihi dirinya sendiri? Siapakah di antara ketiga orang ini yang mengasihi tanpa batas, tanpa memandang siapa yang harus dikasihi dan siapa yang harus dibenci?” Melalui pertanyaan ini, Yesus juga hendak berkata kepada sang ahli Taurat, “Kalau orang yang tidak dianggap dan dibenci saja (orang Samaria) bisa sedemikian mengasihi mereka yang adalah musuhnya (orang Yahudi), masa engkau yang mengetahui kebenaran (ahli Taurat) tidak mau mengasihi sesama seperti dirinya sendiri?” Sang ahli Taurat pun menjawab bahwa orang Samaria inilah yang telah menunjukkan kasih tanpa batas itu. Yesus kemudian menanggapi ia dengan sebuah perinta, “Pergi dan perbuatlah demikian!”

Bagaimana dengan kita?

Menjelang Pemilu, kita dihadapkan kepada situasi hidup bermasyarakat yang semakin “panas”. Situasi di mana konflik horizontal semakin tajam dan tak terelakkan dari hari ke hari. Kebencian, perpecahan, dan toleransi yang tercederai semakin nyata terlihat dalam keseharian. Konflik antar golongan bahkan antar agama yang semakin meresahkan ada di sekitar kita. Hal-hal inilah yang kemudian dapat menyeret kita—sebagai orang-orang Kristen—untuk berhenti mengasihi, merangkul, dan mengampuni mereka yang membenci kita. Kita pun tergoda untuk mengeluarkan mereka dari “Daftar Nama Sesamaku Manusia.”

Namun, perlu kita ingat bahwa kita dipanggil bukan sebagai orang Kristen yang ala kadarnya. Kenyataannya, kita dipanggil untuk menjadi murid-murid Kristus yang radikal, yaitu radikal untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama—tanpa batas. Bagaimana panggilan itu ada di dalam hidup kita? Panggilan itu tidak hadir hanya karena kita mengerti tentang arti kasih ataupun perintah untuk mengasihi secara nalar atau rasio kita. Lebih dari itu, panggilan itu berasal dari pengalaman rohani kita sendiri, yaitu bahwa kita telah mengalami kasih yang sejati melalui Yesus Kristus, Putra tunggal Bapa yang telah bersedia menanggung dosa dan menyelamatkan kita. Kita telah dikasihi tanpa batas, sehingga kita pun diajak untuk tanpa batas mengasihi sesama kita (bandingkan 1Yoh. 4:11, 20-21).

BAGIKAN: