Sabat, Berhenti Sejenak untuk Istirahat dan Mengingat

Saat sedang menulis tesis, dosen pembimbing menyarankan kepada saya untuk tidak terus-menerus menulis tapi ada kalanya mengambil waktu berhenti dari menulis. Waktu berhenti ini dia maksudkan agar saya dapat segar kembali saat melanjutkan penulisan. Melakukan sebuah pekerjaan yang sama terus menerus tanpa henti akan membuat kita penat dan lelah. Akibatnya pekerjaan tersebut jadi tidak menyenangkan dan tidak maksimal dalam pengerjaannya. Itulah sebabnya kita butuh waktu untuk berhenti.

Dalam Kekristenan kita mengenal istilah Sabat. Sabat berasal dari bahasa Ibrani yang dapat diartikan dengan berhenti. Dalam Perjanjian Lama, Sabat adalah perintah dan teladan dari Tuhan Allah sendiri. Ketentuan tentang Sabat diatur dalam kesepuluh hukum Allah sebagai hukum ke-4. Dalam Kel. 20:8-11, peraturan tentang Sabat dikaitkan dengan tindakan Allah berhenti pada hari ketujuh setelah mencipta (Kel. 1:1-2:3). Tuhan Allah telah meneladankan Sabat dalam tindakan penciptaan yang Ia lakukan. Dia mengkhususkan hari ketujuh sebagai hari untuk Dia berhenti dari pekerjaan mencipta dan beristirahat. Demikianlah seharusnya kita mengkhususkan hari Sabat untuk berhenti dari pekerjaan rutin yang kita lakukan.

Jikalau dalam Keluaran ketentuan Sabat dikaitkan dengan teladan Allah yang berhenti dari pekerjaan mencipta, maka dalam Ulangan, ketentuan Sabat dikaitkan dengan pekerjaan Allah menyelamatkan Israel dari Mesir (Ul. 5:12-15). Menurut Peter Scazzero dalam bukunya The Emotionally Healthy Leader, Frasa kunci dalam Ul. 5:12-15 terdapat pada ayat ke-15 yang menyatakan: “Sebab, haruslah kau ingat, bahwa engkaupun dahulu budak di tanah mesir dan engkau dibawa keluar dari sana oleh Tuhan Allahmu.” Menurut Scazzero, pada saat Israel menjadi budak di Mesir, maka tujuan hidup mereka hanyalah untuk bekerja. Orang Mesir dengan kejam memaksa orang Israel untuk bekerja (Kel. 1:13-14), mereka menjadi budak selama lebih dari 400 tahun. Sebagai budak, mereka tidak memiliki kebebasan untuk berhenti dan beristirahat apalagi menikmati hasil kerjanya.

Melalui Sabat Allah ingin mengingatkan Israel bahwa mereka bukan lagi budak, Firaun bukan lagi tuan mereka tapi Allah yang telah mengeluarkan mereka dari perbudakan di Mesir. Oleh karena itu, mereka harus melakukan Sabat sebagai waktu yang dikhususkan bagi Tuhan Allah untuk mengingat perbuatan-Nya yang telah menyelamatkan mereka dan juga menikmati kebebasan dari perbudakan yang telah diberikan.

Dalam Perjanjian Baru, beberapa bagian narasi Injil memperlihatkan bagaimana Yesus seringkali mengungkapkan ketidaksetujuannya pada orang Farisi dan Ahli Taurat mengenai Sabat (Mat 12:1-8, Luk. 13:10-17, Mrk. 3:1-6). Namun, ketidaksetujuan Yesus tidak terletak pada ketentuan Sabat itu sendiri. Yesus tidak pernah bermaksud menghilangkan ketentuan Sabat. Bagi-Nya, Sabat tetap penting untuk dilakukan, hanya saja Dia mengkoreksi orang Farisi dan Ahli Taurat dalam hal menggunakan Sabat, apa yang harus dilakukan saat Sabat. Berkali-kali teguran diberikan kepada orang Farisi karena salah memaknai Sabat dan menjadikan Sabat sebagai ketentuan yang membebankan masyarakat. Bagi Yesus, tidak salah untuk makan di hari Sabat, tidak salah untuk menyembuhkan orang dan melakukan kebaikan di hari Sabat, karena bagi Yesus hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat (Mrk. 2:27-28).

Dalam Perjanjian Baru, ketentuan mengenai Sabat juga mengalami perkembangan. Perkembangan paling signifikan adalah masalah hari. Dalam Perjanjian Lama, hari Tuhan yakni hari Sabat jatuh pada hari ketujuh. Hal ini tampaknya menjadi masalah bagi beberapa orang Kristen di Roma yang menganggap semua hari sama saja dan tidak ada suatu hari tertentu yang lebih penting dari hari-hari lainnya (Rm. 14:5). Hal inilah mungkin yang membuat Paulus dalam Rm. 14:5-6 Paulus menegaskan bahwa masing-masing orang harus menentukan pendiriannya sendiri tentang masalah hari, yang terpenting bukanlah hari apa tapi bagaimana menjalani hari tersebut untuk Tuhan. Tidak masalah hari apa yang dipilih selama melakukannya untuk Tuhan (ay. 6). Dengan demikian tidak ada hari tertentu yang lebih spesial, semua hari sama dan semua hari yang kita jalani seharusnya adalah untuk Tuhan.

Relevansi Sabat di Masa Kini

Sebagaimana telah diuraikan di atas, Sabat adalah hari perhentian. Sebagaimana Tuhan Allah kita berhenti dari pekerjaan-Nya mencipta, maka Dia pun ingin agar kita berhenti sejenak dari pekerjaan rutin kita sehari-hari. Namun, di masa kini, ada anggapan bahwa berhenti sejenak adalah hal yang tidak efektif dan produktif. Motto work hard, play hard menjadi hal yang dipegang oleh kebanyakan orang yang bekerja. Mereka menuntut diri mereka sendiri untuk bekerja keras agar dapat menikmati hidup. Oleh karena itu, tidak heran jika ada yang berpikir bahwa Sabat tidak lagi relevan di zaman serba cepat dan sibuk seperti sekarang. Namun, apakah benar demikian?

Saat Allah memberikan perintah mengenai Sabat, maka Allah tidak ingin membebani manusia, Dia justru memaksudkan hal yang baik untuk kita. Dia ingin kita menikmati waktu berhenti sejenak, tidak bekerja dan tidak melakukan hal apa pun terkait dengan pekerjaan. Dia ingin kita untuk melihat hal lain dalam hidup ini selain bekerja. Dia ingin kita meluangkan waktu bukan hanya untuk bekerja tapi juga untuk bersama dengan keluarga, bersantai dengan teman, melakukan hobi kita dan tentu meluangkan waktu untuk berelasi dengan-Nya.

Sebagaimana Allah mengingatkan umat Israel melalui Sabat bahwa mereka bukan lagi budak di tanah mesir, demikianlah Allah ingin mengingatkan kita bahwa kita bukanlah budak. Kita bukan lagi budak dosa, kita juga bukan budak prestasi, bukan budak masa depan, bukan budak pekerjaan atau pun perusahaan, bukan budak uang, bukan budak kekhawatiran, kita bukan budak dari apa pun atau siapa pun.

Dengan mempraktekkan Sabat, Allah ingin kita mengingat perbuatan dan karya-Nya yang telah memerdekakan kita bukan hanya dari dosa tapi dari segala hal yang membebani kita. Tim Keller dalam bukunya Every Good Endeavor: Connecting Your Work to God’s Work, menyatakan bahwa Sabat adalah deklarasi kemerdekaan kita. Oleh karena itu siapa pun yang tidak dapat mematuhi perintah Allah dalam melakukan Sabat adalah seorang yang membuat dirinya menjadi budak.

Setiap orang butuh waktu untuk berhenti sejenak, baik untuk beristirahat maupun untuk mengingat perbuatan Tuhan yang telah menyelamatkan hidup kita dan membebaskan kita dari perbudakan dosa dan segala hal lainnya yang membebani hidup kita. Oleh karena itu, pada prinsipnya ketentuan mengenai Sabat ini tentu masih berlaku dan relevan dalam kehidupan kita di masa kini.

Bagaimana Melakukannya?

Mempraktekkan Sabat berarti kita berhenti sejenak untuk beristirahat dan mengingat. Beristirahat, berarti kita stop melakukan pekerjaan rutin yang biasa kita lakukan. Apa bentuk istirahat yang dapat kita lakukan? Masing-masing orang tentu memiliki cara yang berbeda-beda dalam beristirahat. Ada yang tidur, menghabiskan waktu dengan keluarga atau teman, membaca, menonton, pergi ke suatu tempat untuk melepas lelah, melakukan hobi, dan lain sebagainya. Hal yang terpenting dari beristirahat adalah melakukan kegiatan lain yang bukan pekerjaan sehari-hari kita. Kegiatan yang dapat menyegarkan kita dan memulihkan tenaga bahkan emosi agar kita siap untuk melakukan pekerjaan rutin kita kembali.

Ini tentu bukan hal yang mudah karena seringkali ada banyak pikiran yang berkecamuk mengenai hal yang belum selesai dalam pekerjaan. Ada saja urusan pekerjaan atau pun study yang terpikir oleh kita untuk dilakukan sehingga kita sulit untuk mempraktekkan Sabat. Oleh karena itu, kita harus mendisiplinkan diri untuk melakukan Sabat, tentukanlah hari untuk melakukannya dan jauhkan diri dari segala hal yang dapat membuat kita terhubung dengan pekerjaan rutin kita.

Berhenti sejenak saat Sabat bukan hanya untuk memulihkan diri secara fisik tapi juga secara spiritual. Pemulihan dan penyegaran secara rohani dapat kita nikmati dengan mengingat. Bagi umat Israel Sabat adalah hari kudus bagi Tuhan, dimana mereka mengingat akan karya-Nya dalam penciptaan dan penyelamatan mereka dari Mesir. Demikian juga bagi kita di masa kini, Sabat seharusnya menjadi waktu kita mengingat akan karya dan perbuatan Tuhan dalam hidup kita, akan kasih dan kebaikan Tuhan yang dinyatakan kepada kita. Dengan mengingat, maka kita dapat menaikan pujian dan penyembahan yang tulus. Sabat seharusnya menjadi waktu dimana kita mengingat akan perintah-Nya sehingga kita dapat terus hidup bagiNya.

Mengingat saat Sabat dapat dilakukan dengan beribadah, berdoa dan membaca firmanNya, dengan berefleksi atas kasih Tuhan dalam hidup kita. Kita juga dapat mengingat dengan cara menceritakan tentang perbuatan-Nya kepada orang lain. Jadikanlah Sabat waktu untuk berhenti sejenak sehingga kita dapat beristirahat dan mengingat akan Tuhan dan karyaNya.

BAGIKAN: