Menjadi Terang Bagi Indonesia

Soal mencintai Indonesia, agaknya itu sudah merupakan keniscayaan jika kita adalah Warga Negara Indonesia. Tak usahlah diperdebatkan lagi. Apalagi jika kita Kristen yang dikehendaki Tuhan untuk membawa kesejahteraan bagi lingkungan di mana kita hidup (Yeremia 29:7). Namun, soal berbangga atas Indonesia, bagaimana jika ternyata tidak? Atau, cobalah tanyakan pada diri masing-masing: sungguhkah saya bangga menjadi orang Indonesia? Syukur kalau jawabannya “ya”, tapi kalau “tidak”? Haruskah saya membohongi diri atau berpura-pura di hadapan orang-orang lain?

Kata seorang pendeta terkemuka, kita harus bangga menjadi orang Indonesia. Betulkah? Menurut saya tidak. Sebab, kebanggaan adalah sejenis perasaan yang mestinya tumbuh di dasar hati secara alamiah. Saya, misalnya, akan secara spontan mengatakan bangga atas diri adik saya yang pandai bernyanyi dan suaranya sangat merdu. Namun sebaliknya, jika adik saya seorang pecandu narkoba, mana mungkin saya mengatakan bahwa saya bangga atas dirinya? Jelas saya tidak bangga. Walaupun bahwa saya tetap mencintainya, tak usahlah diragukan.

Begitu juga tentang mencintai Indonesia dan membanggakan Indonesia. Syukur kalau memang Anda bangga menjadi orang Indonesia. Kalaupun tidak, tak usah malu mengakuinya. Sebab bagi kita, terlebih karena kita Kristen, bukan soal bangga atau tidak bangga itu yang teramat penting. Melainkan soal cinta atau tidak cinta terhadap Indonesia. Tak penting kita lahir di mana, besar di mana, dan bekerja di mana sekarang. Bukankah yang penting, kita ini orang Indonesia atau tidak? Kalau “ya”, maka berupayalah untuk senantiasa mencintai Indonesia dan merawat cinta itu terus-menerus.

Ini bukan seperti sebuah kalimat iklan komersial, sehingga karena mencintai Indonesia maka kita selalu membeli produk-produk Indonesia. Tidak, bukan seperti itu. Kalau Anda saat ini sedang bermukim di Amerika, masakah Anda memaksa diri untuk selalu membeli produk-produk Indonesia? Tentu tidak toh? Kalau begitu, lalu apa buktinya kita mencintai Indonesia? Jawabannya sederhana dan ringkas saja: menjadi teranglah bagi Indonesia.

Apa artinya menjadi terang bagi Indonesia?

Tak perlu berteori terlalu rumit untuk menjawabnya. Mari kita mengacu pada Firman Tuhan, yang terdapat dalam surat Efesus 5:1-21. Khususnya ayat 8b-9, yang berbunyi begini: “Sebab itu, hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran”.

Kalau kita, para pengikut Kristus ini mengklaim diri sebagai anak-anak terang dan menjadi terang bagi Indonesia, maka buktikanlah di dalam seluruh kehidupan kita bahwa buah terang itu sudah tampak. Kalau belum, tentu kita harus berupaya–dengan pertolongan Roh Kudus tentunya. Kalau sudah, maka ke depannya kita harus lebih serius lagi berupaya untuk membuat terang itu betul-betul tampak – alias tidak lagi remang-remang. Artinya, janganlah puas jika terang kita baru seperti lilin kecil, apalagi selalu berdalih bahwa “lilin kecil pun mampu menerangi”. Betul, terang adalah terang, betapa pun ia kecil. Namun, jika potensi terang itu sesungguhnya besar, mengapa tidak berupaya menjadi besar? Kalau bisa menjadi lampu neon, mengapa harus tetap petromaks?

Nah, mari kita gali lebih jauh lagi. Perhatikanlah bahwa buah terang itu ternyata adalah kebaikan, keadilan, dan kebenaran. Poin-poin penting apa sajakah yang terkandung di dalamnya? Pertama, bahwa buah itu sekaligus merupakan bukti. Artinya, kalau kita ini anak-anak terang, maka tunjukkanlah buktinya di dalam ketiga hal itu. Kedua, bahwa ketiganya merupakan kesatuan. Artinya, tidak mungkin hidup kita berbuahkan kebaikan, tapi tidak berbuahkan keadilan dan kebenaran. Kalau dibolak-balik, ya begitu juga. Maksudnya, jika sudah berbuah kebenaran, pasti juga sudah berbuahkan keadilan dan kebaikan. Ketiganya saling terkait, tidak terpisahkan. Jadi, kalau betul-betul sudah berbuah, ya ketiganya pasti nampak. Mungkin tinggal soal bagaimana kualitas buahnya itu saja. Dalam arti, ada orang yang buahnya masih kecil-kecil dan masam rasanya, sementara orang lain buahnya sudah besar-besar dan manis pula.

Deskripsi tersebut tentu hanya sebuah ilustrasi saja. Konkretnya begini: apakah kita, selaku anak-anak terang, sudah menghasilkan kebaikan, keadilan, dan kebenaran itu di dalam kehidupan sesehari? Agar lebih tegas, jika kita ingin mengintrospeksi diri, maka poin ketiga yang penting diperhatikan adalah bahwa kebaikan-keadilan-kebenaran itu haruslah diperbuat dan disuarakan. Artinya, sebagai anak-anak terang, kita seharusnya senantiasa berbuat baik, adil, dan benar, juga bersuara baik, adil, dan benar di dalam kehidupan sesehari. Jadi, selain diperbuat, juga disuarakan. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi berbuat, di sisi lain bersuara.

Inilah yang teramat penting untuk kita renungkan sebagai orang-orang Kristen di Indonesia. Apalagi kita ini adalah kaum intelektual. Maksud saya, janganlah kita berpikir seperti orang yang naif, bahwa Indonesia yang nyaris bangkrut dan sangat terpuruk ini dapat diubahkan hanya dengan berdoa puasa atau menjala jiwa sebanyak-banyaknya. Amati saja, dengan semakin bertambahnya kelompok pekabaran Injil dan jejaring doa nasional, apakah Indonesia kini semakin baik dibanding dulu? Rasanya tidak.

Sebagai orang-orang yang sudah diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi hendaknya kita sadar bahwa Indonesia membutuhkan orang-orang yang berilmu tinggi, berwawasan luas, kritis, cakap-terampil serta bermental baik dan bermoral terpuji. Untuk itu, maka kita selaku anak-anak terang yang telah berpendidikan tinggi ini harus masuk ke pelbagai bidang kehidupan dan sektor pekerjaan. Tak usah semuanya menjadi rohaniwan karena yang banyak diperlukan justru pengacara, politisi, bankir, usahawan, guru atau dosen, aktivis lembaga swadaya masyarakat, dan lain sebagainya. Di sanalah kita menerangi: berbuat-bersuara kebaikan, keadilan, dan kebenaran. Artinya, janganlah hanya puas bila kita tidak korupsi, tapi suarakan juga anti-korupsi. Janganlah berhenti hanya berbuat adil, tapi suarakan juga tentang keadilan.

Tak cukup hanya berbuat benar, tapi suarakan juga tentang kebenaran.

Sulit? Memang. Siapa bilang mengubah Indonesia yang nyaris bangkrut dan sangat terpuruk ini mudah? Diperlukan orang-orang yang mau berjuang dan rela berkorban, dan dengan sendirinya orang-orang itu haruslah berani serta siap menghadapi pelbagai risiko yang muncul dan tantangan yang menghadang. Dari segi waktu pun, mungkin dibutuhkan puluhan tahun lagi baru kita bisa melihat Indonesia sudah mulai membaik dan patut dibanggakan.

Rezim Orde Baru yang bobrok dan korup itu memang sudah berlalu. Namun, warisan masalah dari kaum penguasa yang telah menyimpang selama puluhan tahun itu masih terasa sampai sekarang. Sungguh, Indonesia hari ini adalah Indonesia yang masih sangat banyak problema dan keburukannya. Korupsi kita juara, munafik itu sifat kita. Apa lagi? Terlalu panjang jika dipaparkan semuanya dalam inci yang rinci. Dan rasanya, kita semua tahu soal itu. Bayangkan, ada orang yang sangat kaya-raya (sampai-sampai terdaftar dalam 10 Besar Terkaya di Asia), tapi ada juga yang sangat miskin-papa (sampai-sampai tidur dan beraktivitas sesehari pun di bawah kolong jembatan). Bukankah negara ini bercita-cita mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi rakyatnya? Bayangkan, agama dijunjung tinggi (sampai-sampai ada sebuah departemen yang khusus mengurusi bidang ini), tapi beribadah dipersulit (sampai-sampai banyak rumah ibadah dirusak pun pemerintah tak berbuat apa-apa). Bukankah bangsa ini menjadikan “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai sila pertama dalam dasar negaranya? Dan lainnya, dan seterusnya.

Terkait itulah, maka tak perlu heran jika banyak orang yang tak bangga menjadi orang Indonesia. Mungkin sebagian di antara mereka adalah kita. Namun, karena kita Warga Negara Indonesia dan Kristen pula, maka seharusnyalah kita mencintai Indonesia dan merawat cinta itu terus-menerus. Itu berarti, berbuatlah dan bersuaralah terus-menerus tentang kebaikan, keadilan, dan kebenaran.

Dalam rangka berbuat dan bersuara itu, maka pelbagai wadah, sarana, dan strategi hendaknya dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dengan wadah, yang dimaksud adalah diri sendiri maupun kelompok atau organisasi serta jejaringnya seluas mungkin (lokal, nasional, regional, dan internasional). Dengan sarana, yang dimaksud adalah pelbagai teknologi modern yang dapat digunakan demi efisiensi, efektivitas, dan luasnya jangkauan. Dengan strategi, yang dimaksud adalah dinamika pendekatan dan metode yang harus terus-menerus disesuaikan dengan konteks.

Akhirnya, sekali lagi, mari mencintai Indonesia dan merawat cinta itu terus-menerus. Buktikanlah cinta itu dengan berbuat dan bersuara tentang kebaikan, keadilan, dan kebenaran. Untuk kemuliaan-Nya, juga demi kejayaan Indonesia.

BAGIKAN: