Deepness

“Aku bersyukur kepada Dia, yang menguatkan aku, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia menganggap aku setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku — aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihani-Nya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman.” – 1 Timotius 1:12-13 (ITB)

“On the one hand, in many parts church is growing by leaps and bound, but in the other hand, superficiality everywhere. That’s the paradox. Growth without depth” (John Stott, International Consultation on Discipleship, 1999)

Mengalami perubahan hidup yang mendalam dan radikal sebenarnya adalah sebuah kewajaran bagi seseorang yang telah mengalami kasih karunia Allah. Ada satu ilustrasi yang diceritakan oleh Philip Yancey dalam bukunya What So Amazing About Grace, dia mengisahkan satu bagian dalam novel karya Victor Hugo, Les Miserables. Ada seorang penjahat, Jean Valjean, yang satu hari bebas dari penjara. Karena statusnya itu, tidak ada seorang pun yang mau memberikan tumpangan kepadanya, sampai akhirnya ada seorang pastor yang bermurah hati menerimanya. Jean diberikan sebuah ruangan kosong dengan ranjang tidur yang cukup enak. Sang pastor mengasihi si penjahat itu dengan tulus. Tapi dasar penjahat, satu malam dia melarikan diri dan mencuri beberapa perabot perak si pastor. Tak lama kemudian, si penjahat ini ditangkap polisi, kemudian polisi itu membawa Jean ke rumah sang pastor. Saya membayangkan, pasti selama di jalan, Jean sudah terbayang bahwa sang pastor pasti akan sangat marah kepadanya karena kelakuannya itu. Tapi ajaib, ketika bertemu dengan si penjahat, sang pastor malah mengatakan: “Aku senang sekali bisa ketemu engkau lagi. Apakah kau lupa bahwa aku mau memberikan beberapa peralatan perak lain ini kepadamu?“ Lalu sang pastor itu mengatakan kepada polisi: “Orang ini bukan pencuri, aku memberikan semua ini sebagai hadiah untuknya”. Sembari memberikan barang perak itu, sang pastor berbisik kepadanya “Berjanjilah padaku, bahwa engkau akan menggunakan uang ini untuk membuatmu menjadi orang yang baik” Si penjahat begitu kaget dengan perlakuan sang pastor dan singkat cerita pengalaman diampuni dan diberikan kasih karunia yang berlimpah itu mengubah hidup si penjahat itu.

Ayat yang mendasari artikel ini merupakan cerita pengalaman hidup Paulus, yang juga mengalami perubahan hidup yang mendalam dan radikal setelah menerima pengampunan dan kasih karunia yang berlimpah. “Aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas…” Kalau melihat catatan dalam Kisah Para Rasul 8, memang kesaksian Paulus ini sangat apa adanya. Stefanus, martir pertama yang dicatat di dalam Kisah Para Rasul dibunuh, dan dicatat, Paulus menyetujuinya. Dalam bahasa aslinya “syneudokon” yang berarti menyetujuinya dengan senang hati. Dahulu bagi Paulus, kematian orang Kristen adalah sebuah kesenangan. Saya sulit sekali membayang bisa ada orang yang begitu keji dan berdarah dingin seperti itu yang kesenangannya adalah menyaksikan kematian orang lain. Tetapi itu “dahulu”, atau “tadinya”.

Sebuah ungkapan mengatakan “Every saint has a past, and every sinner has a future”, Paulus dengan masa lalu yang begitu ganas, telah mengalami kasih karunia Allah. Yang dahulu kesenangannya adalah menyaksikan kematian orang lain, kasih karunia Kristus telah mengubahnya secara mendalam dan radikal. Ada satu bagian yang saya pikir menjadi bukti betapa radikalnya perubahan hidup Paulus. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, pada pasal 9:3 dia mengatakan “Bahkan, aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani”. Terpisah dari Kristus yang adalah sumber kehidupan sama saja dengan mati. Bayangkan, Paulus rela mati demi saudaranya bisa mengalami kasih karunia Kristus! Dulu kesenangannya adalah melihat kematian orang lain, sekarang sebaliknya, Paulus dengan senang rela mati demi orang lain. Bukankah ini merupakan sebuah perubahan yang sangat mendalam dan radikal?

Pelayanan Perkantas dipanggil untuk memuridkan kaum intelektual. Satu kata yang penting dalam pemuridan adalah perubahan (transformation). Segala upaya yang kita lakukan demi menolong siswa, mahasiswa, dan alumni menjadi seorang murid yang berubah dalam pikiran (mind), hasrat (desires), nilai-nilai hidup (values), karakter (character), dan juga kebiasaannya (habit). Perubahan-perubahan itu bukan hanya sesuatu yang terlihat, outward (karakter, perilaku dan kebiasaan), tetapi bahkan juga hal-hal yang tak terlihat, inward (pikiran, nilai, hasrat).

Berhasil atau tidaknya pelayanan kita bukan lah diukur dari berapa banyak orang yang ikut dalam kegiatan atau program-program yang kita jalankan, berapa banyak yang subscribe, follow, view, dan seterusnya. Saya tidak mengatakan bahwa angka itu sama sekali tidak penting. Lukas dalam kitab Kisah Para Rasul melaporkan angka (120 orang ke 3000 orang lalu ke 5000 orang dan seterusnya) untuk menunjukkan bahwa Tuhan menyertai pemberitaan Injil yang dilakukan oleh para rasul dan orang percaya. Tapi apa artinya catatan yang angka begitu baik, namun tidak ada perubahan hidup yang dialami oleh orang-orang yang kita layani? John Stott dalam sebuah konfrensi pemuridan pada tahun 1999 di Inggris, memberikan pengamatan yang saya kira perlu mendapat perhatian dari kita, gereja, dan komunitas Kristen, betapa berbahayanya bertumbuh tanpa kedalaman (growth without depth). Lebih lanjut dia menambahkan, Tuhan tidak akan berkenan pada pemuridan yang superfisial (dangkal, hanya di permukaan), karena Tuhan menginginkan kita bertumbuh menuju kedewasaan dalam Kristus.

Sampai di sini kita semua pasti setuju dengan uraian di atas. Namun kalau kita mau jujur, mengalami perubahan yang mendalam dan radikal bukanlah hal mudah. Bahkan tidak jarang, kita sendiri sebagai pelayan dan pembimbing rohani sangat sulit untuk berubah. Di satu sisi, saya sangat bersyukur dan terbantu dengan banyaknya buku-buku dan seminar-seminar yang memperlengkapi saya untuk bisa memahami dan memuridkan di zaman post-modern dan generasi digital ini dengan lebih efektif. Sedikit banyak itu mengubah paradigma, pendekatan dan metode saya dalam melayani di zaman ini. Itu semua penting. Tapi ijinkan saya kali ini untuk membagikan beberapa hal yang sangat sederhana, namun merupakan hal yang mendasar dan mutlak agar kita dapat mengalami perubahan hidup.

Ada 3 hal, yaitu kuasa Roh Kudus, Firman dan Injil. Pertama, kuasa Roh Kudus. Mungkin kita berpikir, “Ini terlalu klise dan semua juga sudah tahu!” Tapi saya harap kita terus sadar betapa dosa sudah begitu hebat merusak setiap inci kehidupan kita (bandingkan Roma 3), sehingga tidak ada sedikit pun kapasitas dalam diri kita untuk bisa berubah menjadi orang yang lebih baik. Seringkali sebagai pelayan dan kakak rohani, kita menilai adik rohani kita belum berubah atau bertumbuh karena dia belum berusaha lebih keras lagi untuk berubah, kurang disiplin, dan seterusnya. Namun bagi saya, mereka bukannya tidak mau bertumbuh, tapi memang tidak bisa bertumbuh dengan kekuatan sendiri. Seseorang yang mengalami perubahan hidup yang sejati itu pasti karena dia telah mengalami pekerjaan Roh Kudus yang mengubahkan. Oleh karena itu pekerjaan Tuhan, maka bagian kita adalah terus berdoa memohon agar Roh Kudus terus menyatakan kuasanya di dalam diri kita dan orang yang kita layani.

Kedua, kuasa Firman. Roh Kudus bekerja menggunakan Firman perkataan Allah untuk mengubah hidup seseorang. Yesus dalam Yohanes 15:3 mengatakan murid-murid telah bersih karena Firman yang telah dikatakan-Nya. Aktivitas penting dalam proses pemuridan adalah belajar. Menjadi murid Yesus berarti belajar dari perkataan dan pengajaran Yesus. Yesus menghabiskan seluruh waktu pelayanan-Nya untuk mengajar murid-murid, perlahan tapi pasti, murid-murid mengalami perubahan hidup yang mendalam dan radikal. Tanpa pengajaran Firman yang kuat dalam persekutuan, Kelompok Kecil, dan pembinaan-pembinaan lainnya, tidak akan ada perubahan hidup yang sejati.

Ketiga, kuasa Injil. Saya membedakan Firman dengan Injil. Injil pada dasarnya adalah sebuah berita. Berita tentang Yesus yang mati disalibkan, yang menolong kita untuk sadar bahwa kita begitu berdosa jauh lebih buruk dari yang kita duga. Di saat yang bersamaan, Injil menjadi berita yang mengatakan bahwa kita diterima dan dikasihi jauh daripada yang kita harapkan. Luther suatu kali pernah ditanya oleh seorang jemaat yang sering mendengar kotbahnya, “Mengapa engkau selalu mengkhotbahkan Injil dalam setiap khotbah-khotbahmu?”, jawab Luther “Kita harus selalu mendengarkan Injil, karena kita selalu melupakannya”. Kiranya kita dan pelayanan kita terus mengingat Injil dan tiap-tiap hari juga mengalami kuasa Injil yang mengubahkan. Amin.

Soli Deo Gloria.

BAGIKAN: