Mengusahakan dan Mendoakan Kesejahteraan Indonesia

Firman Tuhan di dalam kitab Yeremia 29:4-14 mungkin bukanlah merupakan kalimat-kalimat asing bagi sebagian besar dari kita. Apa lagi jika membaca ayat ke-7 yang berbunyi, “usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Ayat ini adalah ayat yang acapkali diangkat di dalam tema-tema persekutuan yang berbicara tentang bangsa dan negara. Namun, berapa banyak dari kita yang benar-benar telah melakukan prinsip alkitabiah yang terkandung di dalam perintah tersebut? Perintah ini jelaslah perintah yang sangat unik, bahkan Timothy Keller menyebutnya sebagai perintah yang radikal. Di dalam keunikan perintah inilah terletak kekuatan namun juga kedalamannya.

Jika kita adalah orang buangan yang tengah menjadi tawanan bangsa Babel pada masa pemerintahan Raja Zedekia dari Yehuda, perintah untuk mengusahakan kesejahteraan kota dan mendoakan kota Babel adalah perintah yang konyol. Perhatikan isi surat yang dikirim ke Babel pada ayat ke-4 sampai ke-6. Pada ayat-ayat tersebut dikatakan bahwa orang-orang buangan ini malah diminta untuk mendirikan rumah di Babel untuk didiami, membuat kebun untuk dinikmati hasilnya, bahkan untuk membentuk keluarga dan mencarikan calon-calon anggota keluarga bagi anak-anak mereka yang laki-laki dan perempuan. TUHAN memerintahkan agar mereka terus bertambah dan jangan berkurang. Lalu TUHAN memberikan alasan yang menarik di dalam perintah tersebut yakni, “sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”

TUHAN memerintahkan orang-orang tawanan tersebut untuk hidup dengan normal—seolah mereka bukan orang buangan—dan bahkan meminta mereka untuk mengusahakan tanah dan peradaban serta sumber daya manusia bagi Babel. Berapa lama kehidupan seperti ini berlangsung? Ayat ke-10 menyatakan, “sebab beginilah firman TUHAN: Apabila telah genap tujuh puluh tahun bagi Babel, barulah Aku memperhatikan kamu. Aku akan menepati janji-Ku itu kepadamu dengan mengembalikan kamu ke tempat ini.”

Menjalani kehidupan normal dan mengusahakan kesejahteraan kota Babel di tengah-tengah pembuangan selama 70 tahun jelaslah perintah yang sulit. Apalagi sebelumnya nabi Hananya telah bernubuat palsu dengan mengatakan bahwa Yehuda hanya akan memikul kuk Babel selama 2 tahun saja (Yeremia 28:1-4). Bukan hanya sulit melainkan juga membingungkan. Bahkan salah satu seorang buangan bernama Semaya, orang Nehelam (baca Yeremia 29:24-32), bersikap sangat menentang isi firman yang disampaikan oleh Nabi Yeremia tersebut. Ia bahkan menuduh bahwa Yeremia sendiri yang menganggap dirinya nabi—meragukan bahwa dialah utusan sejati dari Allah—dan menginginkan agar Yeremia dipasung dan dirantai saja dengan besi. Ia menyebut Yeremia adalah orang gila.

Bangsa Yehuda tidak percaya bahwa mereka akan takluk kepada Babel, sebab sejumlah nabi palsu telah bernubuat palsu, seperti yang lalu-lalu. Mereka yang berkata, “damai sejahtera!” padahal tidak ada damai sejahtera, mereka juga yang berkata, “tidak mungkin kita takluk kepada Babel”. Pada kenyataannya, mereka takluk dengan sempurna. Yeremia sendiri sudah berulangkali dicurigai keabsahannya sebagai nabi yang dari Allah, namun anehnya mereka tidak mencurigai nabi-nabi palsu itu sama sekali. Betapa bebalnya mereka.

Tantangan besar yang harus dihadapi bangsa Yehuda dalam menerapkan firman TUHAN ini adalah bagaimana mereka bisa menjalankan kehidupan normalnya tanpa kehilangan identitas mereka sebagai milik TUHAN Allah, yang dipilih, dikhususkan, berbeda dari bangsa-bangsa lain. Sederhananya, untuk tetap hidup sebagai umat Allah yang sejati di tengah bangsa yang tidak mengenal Allah. Pilihan yang lebih mudah barangkali adalah menjadi serupa dengan orang-orang Babel atau menolak perintah ini sama sekali dengan tinggal di luar kota Babel. Ingat, hal tersebut berlangsung selama 70 tahun.

Namun ayat ke-11 sampai ke-14 memberikan tujuan dari pembuangan tersebut yakni menyatakan bahwa Allah merancangkan hari depan yang penuh harapan bagi umat-Nya; bagi mereka yang senantiasa berseru, datang berdoa kepada-Nya. TUHAN akan menyatakan diri-Nya dan memulihkan keadaan mereka serta mengumpulkan mereka dari antara segala bangsa dan dari segala tempat ke mana mereka dicerai-beraikan. TUHAN memberikan kesempatan yang panjang bagi pertobatan serta untuk memperbaiki relasi pribadi mereka dengan TUHAN, sang Raja sejati atas umat-Nya. Sebab TUHAN tahu rancangan-rancangan apa yang ada pada diri-Nya mengenai umat yang sudah Ia pilih.

Bagaimana dengan kita? Tidak seperti Babel, Indonesia jelas bukanlah tempat pembuangan bagi kita. Allah telah menetapkan kita untuk mendiami bangsa yang besar yang akan memasuki usia kemerdekaannya yang ke-74 di tahun ini. Kita tidak lagi takluk kepada bangsa-bangsa lain. Namun sebagai murid yang dipanggil ‘garam dunia dan terang dunia’, melalui prinsip firman ini kita didorong untuk hadir di tengah-tengah masyarakat yang belum mengenal Allah yang sejati di dalam Kristus. Tidak hanya itu, sebagaimana yang terjadi juga di Kerajaan Selatan (Yehuda), kita hadir di tengah-tengah bangsa di mana kebenaran menjadi kabur dan ketidakadilan dianggap enteng. Dua hal inilah yang juga selalu ditentang TUHAN melalui kehidupan umat-Nya selain yang terutama yakni tentang penyembahan berhala.

Demikianlah konteks bangsa Indonesia yang membuat perintah di Yeremia 29:7 ini menjadi relevan. Prinsip ini menuntut kita untuk berani mendiami dan mengusahakan kota-kota di mana kita tinggal di seluruh pelosok negeri, bukan hanya kota di mana kita tinggal saat ini melainkan juga seluruh bangsa Indonesia. Mengusahakan kesejahteraan bangsa tidak mungkin dilakukan hanya di satu kota. Tidak jarang absennya kesadaran kita akan hal ini membuat kita seolah-olah merasa terkutuk jika harus ditempatkan sebagai alumni di kota-kota yang tidak kita inginkan—biasanya kota-kota kecil. Mungkin juga inilah yang membuat banyak orang, tidak terkecuali orang percaya, hanya memandang Indonesia dari secuplik megahnya ibukota dan berlomba-lomba memenuhinya untuk melanjutkan sekolah dan karir. Tak heran kesejahteraan dan pemerataan ekonomi sulit sekali terjadi.

Mengusahakan kesejahteraan Indonesia yang penduduknya beragam ini menuntut kebijaksanaan dari setiap orang percaya, terlebih mereka yang menyebut dirinya sebagai murid Kristus. Seperti yang sepatutnya menjadi pilihan umat Israel yakni tidak mengikuti nilai, kepercayaan, tingkah laku, dan kebiasaan bangsa Babel—melainkan hidup sebagai umat pilihan, yang berbeda, yang tetap melayani di tengah-tengah pembuangan, betapa lebih tinggi lagi sepatutnya keyakinan kita untuk menghidupi prinsip tersebut. Orang percaya dipanggil keluar dari kegelapan dunia untuk diutus masuk ke dunia sebagai umat Kerajaan Sorga.

Apa yang membedakan orang Kristen dengan saudara-saudari kita dari agama yang berbeda dalam hal sama-sama mengusahakan kesejahteraan Indonesia? Motivasi dan pengharapan kita. Orang Kristen dimotivasi oleh kasih dan pengorbanan Kristus yang telah berkata, “kasihilah sesamamu manusia seperti kamu mengasihi dirimu sendiri”. Kristus yang telah datang karena begitu besarnya kasih Allah pada dunia dan orang-orang di dalamnya, termasuk pada Indonesia dan segenap rakyat. Selain motivasi, orang Kristen memiliki pengharapan bahwa Allah dapat menyatakan keselamatan umat-Nya di bangsa kita dan yang menegakkan kebenaran dan keadilan melalui orang-orang yang takut akan Allah.

Kehadiran orang percaya di Indonesia seyogyanya menjadikan bangsa ini semakin sejahtera dan semakin selaras dengan kehendak Allah—sekalipun tetap harus diakui tidak akan ada yang sempurna. Sebab orang percaya dapat dan harus berdoa kepada Allah Tritunggal bagi Indonesia, seperti yang juga diperintahkan bagi orang-orang buangan terhadap Babel. Mengusahakan kesejahteraan bangsa tanpa mendoakannya membuat kita mudah lupa siapa Allah yang berdaulat dan merancangkan segala sesuatunya bagi bangsa kita.

Allah telah memberikan visi bagi pemerintahan yang baru untuk Indonesia maju. Adapun visi tersebut adalah pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia, investasi untuk lapangan kerja, reformasi birokrasi, dan APBN yang tepat sasaran. Mari turut mendoakan agar visi ini dapat terwujud sebagaimana yang Allah kehendaki dan tentunya memerhatikan dengan sungguh-sungguh, di bagian mana Anda dan saya dapat turut terlibat sebagai warga negara. Mulai sekarang, mari memohon kepekaan kepada Allah untuk melihat dengan jeli ke bidang apa kita akan lebih efektif mewujudkan integrasi iman & ilmu kita. Doakanlah jurusan-jurusan tempatmu berkuliah, kembangkanlah kapasitasmu di tempat-tempat bekerja.

Warga negara yang baik adalah warga negara yang senantiasa bertanya, “Apa yang dapat saya berikan kepada negara saya?” dan ini merupakan pertanyaan yang selaras dengan Kekristenan. Siswa, mahasiswa, dan alumni Kristiani dipanggil memang untuk memberikan apa yang dapat diberikannya bagi negara; berkontribusi, mengasihi, dan tentunya mengusahakan kesejahteraannya, di mana pun kita berada di belahan bumi Indonesia.

BAGIKAN: