Relevankah Pelayanan Kita?

“Iya kak relevan. Karena pendekatan pelayannya sesuai sama kondisi yang dibutuhin gitu.”

“Relevan kak. Mungkin karena Perkantas lembaga pemuridan, jadi bisa menjangkau siswa lebih personal.”

“Buatku relevan kak karena kau bener-bener nikmatin waktu kelompok kecil siswa dulu. Ya maksudnya bisa benar-benar sesuai sama konteks dunia siswa yang kena banget.”

Itu adalah beberapa jawaban yang diutarakan oleh adik-adik yang telah menikmati pelayanan Perkantas saat diajukan pertanyaan; apakah menurutmu pelayanan Perkantas relevan? Tanpa menjelaskan arti dari relevan itu sendiri, respons itulah yang disampaikan oleh adik-adik ini.

Sementara itu, KBBI memberi penjelasan bahwa relevan dapat diartikan sebagai kait-mengait; bersangkut-paut; berguna secara langsung. Jika melihat konteks pelayanan Perkantas, maka pelayanan Perkantas dapat dikatakan relevan ketika setiap hal yang dikerjakan oleh Perkantas memiliki hubungan dengan kehidupan jemaat yang dilayani yaitu siswa, mahasiswa dan alumni.

Relevan? Untuk apa?

Dalam perjalanan pelayanan Yesus, Ia berjumpa dengan banyak orang dengan kehidupan yang berbeda. Misalnya, kedua belas murid dengan latar belakang yang berbeda.

Ketika Simon Petrus melihat hal itu ia pun tersungkur di depan Yesus dan berkata: ‘Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.’ Kata Yesus kepada Simon: ‘Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia.’” (Lukas 5:8, 10b)

“Kemudian ketika Yesus pergi ke luar, Ia melihat seorang pemungut cukai, yang bersama Lewi, sedang duduk di rumah cukai. Yesus berkata kepadanya, ‘Ikutlah Aku!’ Maka berdirilah Lewi dan meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Dia.” (Lukas 5:27-28)

Yesus juga berdiskusi dengan seorang Farisi yang juga pemimpin agama Yahudi;

“Adalah seorang Farisi yang bernama Nikodemus, seorang pemimpin agama Yahudi. Ia datang pada waktu malam kepada Yesus dan berkata: ‘Rabi, kami tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah; sebab tidak ada seorang pun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang Engkau adakan itu, jika Allah tidak menyertainya.’ Yesus menjawab, kata-Nya: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.’” (Yohanes 3:1-3)

Bahkan Ia pun berbicara dengan seorang perempuan Samaria, hingga duduk makan bersama seorang kepala pemungut cukai.

“Pada waktu itu datanglah murid-muridNya dan mereka heran, bahwa Ia sedang bercakap-cakap dengan seorang perempuan. Tetapi tidak seorang pun yang berkata, ‘Apa yang Engkau kehendaki?’ Atau, ‘Apa yang Engkau percakapkan dengan dia?’ Maka perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang yang di situ, ‘Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?’” (Yohanes 4 : 27-29)

“Ketika Yesus sampai ke tempat itu, Ia melihat ke atas dan berkata, ‘Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.’ Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita.” (Lukas 19:5-6)

Kepada berbagai orang ini, Yesus memiliki pedekatannya sendiri dengan cara yang tak sama namun berita yang disampaikan-Nya sama. Sekalipun tampak berbeda, sesungguhnya orang-orang ini memiliki kebutuhan terdalam yang sama yaitu perjumpaan dengan sang Mesias sejati. Melihat hal ini, kita pun belajar bahwa Injil perlu diberitakan untuk seseorang dapat dimenangkan tanpa mengabaikan kondisi yang sedang mereka alami.

Sebagai murid yang mengerjakan pemuridan, kita pun perlu belajar untuk tunduk dan mengikuti seperti apa yang Yesus telah lakukan. Yesus melihat siapakah orang-orang yang secara intensional didekati-Nya dan menyampaikan kebenaran sesuai dengan kondisi yang sedang mereka hadapi. Memahami kondisi orang-orang yang dilayani membuat kita mengalami apa artinya melayani jiwa, bukan sekedar mengerjakan program ataupun kegiatan. Sebab yang kita rindukan adalah dimenangkannya jiwa-jiwa yang dikasihi oleh Allah. Dalam memahami kondisi orang-orang yang dilayani, kita perlu juga melakukan seperti yang Yesus lakukan agar pelayanan kita relevan di tengah generasi yang dinamis, yaitu hadir, mendengarkan, dan memahami yang mereka alami.

Relevan? Bisakah?

Sebagaimana Yesus yang memahami kondisi orang-orang yang dilayani, cara ini juga yang terlihat dari Paulus untuk memahai jemaat yang dilayaninya sebagaimana ia mencatatnya dalam surat 1 Korintus 9:20-23. Demikianlah bagi orang Yahudi, ia menjadi seperti orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum taurat ia menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum taurat, sekalipun ia sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum taurat, ia menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum taurat, sekalipun ia tidak hidup di luar hukum Allah, karena ia hidup di bawah hukum Kristus. Semuanya ini dilakukan Paulus karena Injil sehingga akhirnya orang-orang ini dapat dimenangkan. Belajar memahami, mendengarkan, dan hadir di tengah-tengah jemaat.

Jika demikian, apakah artinya Paulus berkompromi terhadap cara hidupnya? Kata “seperti” berulangkali Paulus tuliskan yang menunjukkan bahwa kata ini menjadi penekanan dalam menjelaskan pelayanan yang ia kerjakan. Hal ini berbeda ketika Paulus menyatakan bahwa ia menjadikan dirinya sebagai seorang hamba (ay.19) dengan tidak menambahkan kata “seperti” di dalam pernyataannya. Maka, kata “seperti” memberi batasan bagi Paulus dalam cara hidupnya untuk menjangkau orang-orang dari berbagai latar belakang ini. Lebih lanjut Paulus menjelaskan dalam 1 Korintus 10:31-11:1 bahwa akhirnya, sama seperti dia mengikut Kristus, jemaat pun perlu mengikut Kristus dalam cara hidup.

Sebagaimana Yesus menjadi sama seperti manusia untuk menjangkau kita yang berdosa, namun Ia tidak membuat diri-Nya turut melakukan perbuatan dosa. Bahkan Yesus yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Filipi 2:6-7). Dengan inilah Yesus menjawab kebutuhan terdalam setiap manusia.

Namun sayangnya, seringkali kita hanya terjebak dalam berbagai metode maupun program yang tampak “kekinian” ketika membahas mengenai relevansi. Berbagai standar diciptakan untuk menentukan apakah ini pelayanan yang relevan atau tidak. Beberapa pembahasan tentang relevansi juga menyinggung mengenai pemilihan bahasa, cara ibadah, hingga alat musik yang dipakai. Tentu hal ini tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi, saat fokus pembahasan mengenai relevansi hanyalah mengenai metode, maka pelayanan kita perlahan bergeser dari melayani jiwa menuju melayani teknis. Bahkan seringkali, relevansi menjadi alasan untuk seseorang berkompromi terhadap cara hidup yang jatuh ke dalam dosa maupun mengutamakan kesenangan orang yang dilayani dibandingkan kebutuhan terdalamnya di dalam Kristus.

Kiranya sebagai orang-orang yang dipercayakan untuk melayani generasi yang terus berubah ini, kita pun mengikuti teladan Yesus Kristus yang mengosongkan diri-Nya untuk bisa memahami kebutuhan generasi ini. Sehingga, kita bukan hanya mengerjakan program secara rutin maupun kegiatan-kegiatan yang tampak menarik. Namun, melalui penundukkan diri sebagai hamba yang mengesampingkan kepentingan diri, kita mengutamakan jiwa-jiwa yang dilayani melalui Penginjilan dan Pemuridan.

BAGIKAN: