Kebenaran Vs Ketakutan dalam Kedaulatan Allah

Gue sebenarnya sudah tidak tahan disuruh bikin dokumen-dokumen anak perusahaan bodong kayak gini. Udah kerjaan jadi banyak banget, kerjaannya gak benar lagi. Bikin gue dikejar-kejar rasa bersalah,” curhat seorang teman.

Dia bekerja sebagai staf legal di sebuah perusahaan besar di Jakarta, dan ternyata kebanyakan pekerjaannya adalah untuk membuat dokumen-dokumen hukum maupun perizinan anak-anak perusahaan “bodong” dari perusahaan tempatnya bekerja. Saya hanya bisa mendengar ceritanya dengan prihatin. Kalimat “kamu seharusnya memberitahu bos-mu bahwa mendirikan anak perusahaan bodong untuk mengakali pajak adalah sebuah pelanggaran hukum,”sepertinya tidak relevan, karena saya yakin atasan temansaya mengetahui dengan jelas kebenaran itu.

Cerita teman saya di atas mungkin juga harus dihadapi banyak teman-teman alumni di luar sana, yang harus mengerjakan pekerjaannya di dalam kondisi-kondisi yang tidak ideal. Harus diakui, dunia yang sudah jatuh dalam dosa juga mencemari dunia kerja, sehingga banyak kebohongan, manipulasi, dan tipu muslihat yang digunakan untuk memperlancar urusan bisnis. Di tengah dunia yang sudah jatuh ini, alumni Kristen dipanggil untuk berdiri dalam kebenaran dan menyatakan tiada yang lain selain kebenaran.

Menyatakan kebenaran tentu tidak mudah, terutama jika untuk menyatakannya akan membuat diri kita terancam. Di dalam dunia dewasa ini, kebanyakan orang berlomba-lomba mengejar kehidupan yang nyaman, dan alangkah beratnya jika kita harus mengorbankan kenyamanan kita untuk menyatakan kebenaran. Namun bagi orang Kristen, panggilan untuk menyatakan kebenaran bukan sekadar anjuran atau saran, melainkan kewajiban. Ketika Pilatus menghakimi Yesus, Pilatus tidak menemukan kesalahan hukum apapun pada diri Yesus (Yohanes 19:4). Namun tekanan orang banyak membuatnya takut, karena dengan tidak mengikuti keinginan publik untuk menyalibkan Yesus, tentu ia akan kehilangan pamor. Pilatus sebenarnya telah berusaha untuk membebaskan Yesus (Yohanes 19:12), namun orang banyak kemudian mengancam Pilatus dengan mengatakan bahwa dengan membebaskan Yesus, berarti Pilatus bukan sahabat Kaisar. Akhirnya Pilatus menyerahkan Yesus untuk disalibkan orang banyak, meskipun Pilatus tahu bahwa Yesus tidak bersalah.

Sebaliknya, di hadapan orang banyak, Pilatus, dan bahkan hukuman mati; Yesus bergeming. Ia tidak lagi takut setelah menyerahkan diri-Nya pada kehendak Bapa di Taman Getsemani. Apa alasan Yesus? Dengan jelas Yesus menyatakannya: “Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas” (Yohanes 19:11a). Yesus yakin betul siapa yang berdaulat di atas segalanya: Allah. Keyakinan ini ini membuatnya tidak takut dengan manusia mana pun.

Keyakinan Yesus akan kedaulatan Allah berkebalikan dengan Pilatus. Pilatus menganggap bahwa orang banyak berkuasa untuk membuatkan kehilangan kekuasaan dan pamornya; dan itu membuatnya takut. Pilatus tidak tahu bahwa Allah-lah yang berdaulat atas semesta dan segala ciptaan (bahkan keputusan Pilatus pada saat itu juga berada dalam kedaulatan Allah).

Allah berdaulat atas hidup kita, sejarah dunia, dan alam semesta. Memahami bahwa segala sesuatu berada dalam kontrol Allah seharusnya menolong kita untuk tidak takut terhadap dunia dan tetap berdiri tegak di dalam kebenaran. Menyatakan kebenaran jelas tidak mudah, tapi kita adalah garam dan terang dunia (Matius 5:13). Tidak mungkin kita mencegah dunia dari kebusukan serta mengusir kejahatan dan kegelapan tanpa menyatakan kebenaran. Semoga keyakinan akan kedaulatan Allah meneguhkan kita untuk berdiri dalam kebenaran dan mengalahkan ketakutan kita, seperti syair bait ketiga dari lagu This is My Father’s World:

“This is my Father’s world, O let me never forget,
That though the wrong seems off so strong, God is the ruler yet.”
(This is My Father’s World, Maltbie D Babcock)

“Dunia ini adalah dunia Bapaku, semoga aku tidak akan pernah lupa,
Bahwa meski ketidakbenaran terlihat sangat kuat, Allah tetaplah penguasa di atas segalanya.”

BAGIKAN: