Dari Pudarnya Kesatuan Hingga Kepada Ciptaan yang Baru

“Kita hendak mendirikan suatu Negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi ‘semua buat semua’!” (Ir. Soekarno, 1945).

Bayangkan, betapa berharganya kalimat itu untuk setiap suku etnis, golongan, agama, dan sebagainya. Derajat mereka diangkat dan memiliki status baru bukan hanya sebagai budak jajahan atau pekerja rodi melainkan status orang merdeka sebagai warga negara Indonesia. Akan tetapi, ada juga kalimat menarik yang mengarah kepada peringatan. Kalimat yang pernah diucapkan oleh Mohammad Hatta, “Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.”

Menurut anda keadaaan Bangsa Indonesia seperti apa saat ini? Apakah persatuan dan kepedulian antar suku-golong-agama semakin meningkat atau semakin memudar? Pada tahun 2018 Komnas HAM bersama dengan Litbang Kompas membuat survei yang berjudul “Survei Penilaian Masyarakat Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di 34 Provinsi”. Survei dilakukan melalui wawancara tatap muka terhadap 1.207 responden dengan latar belakang ekonomi yang beragam. Berdasarkan hasil survei ditemukan bahwa sebanyak 81,9 persen responden mengatakan lebih nyaman hidup dalam keturunan keluarga yang sama. Kemudian, sebanyak 82,7 persen responden dalam survei tersebut mengatakan bahwa mereka lebih nyaman hidup dalam lingkungan ras yang sama. Sementara sebanyak 83,1 persen mengatakan lebih nyaman hidup dengan kelompok etnis yang sama.
Komnas HAM mencatat sedikitnya 101 kasus diskriminasi ras dan etnis dalam periode 2011-2018 yang dilaporkan kepada mereka. Pelanggaran tersebut meliputi pembatasan terhadap pelayanan publik, maraknya politik etnisitas atau identitas, pembubaran ritual adat, diskriminasi atas hak kepemilikan tanah bagi kelompok minoritas, serta akses ketenagakerjaan yang belum berkeadilan.

Tidak hanya itu, kasus lainnya pun terjadi. Pada bulan Agutus tahun 2019 terjadi kembali diskriminasi. Diskriminasi terhadap orang Papua. Sungguh miris ketika saudara sebangsa didiskriminasi begitu rupa. Hal tersebut semakin membesar ketika mahasiswa dan orang Papua meminta keadilan dengan melalukan protes, demonstrasi dilakukan di daerah Papua dan ibukota DKI Jakarta. Apabila melihat lingkup yang lebih kecil, tidak jarang terjadi juga bentrok antar fakultas, antar kampus, bahkan antar gereja di Indonesia. Tidak jarang menemukan bentrok antar gereja karena masalah peraturan gereja, aliran, dan masalah non-esensial lainnya. Tidak hanya itu, gereja seringkali juga mempertanyakan atau mempermasalahkan adanya “gereja tandingan” seperti para-church.

Jadi apa yang semakin membuat pudarnya persatuan? Krisis persatuan dan identitas diri tidak hanya dialami oleh orang Indonesia. Hal yang sama terjadi juga kepada jemaat di Efesus. Di dalam Efesus 2:11-16, Paulus mengingatkan kembali akan status jemaat Efesus yang bukan orang Yahudi, kenyataannya dahulu status mereka bukan umat Allah dan orang-orang Yahudi saat itu memanggil mereka dengan sebutan orang-orang yang tak bersunat. Sunat merupakan tanda perjanjian Allah dengan Israel, yang membedakan mereka dengan orang lain di dunia. Jadi secara sederhana Paulus hendak mengatakan kepada orang-orang bukan Yahudi bahwa status mereka dulu merupakan “orang luar”. Mereka bahkan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan dan tanpa pengharapan (ayat 11-12).

Menjadi “orang luar” tanpa identitas tentu bukan keinginan setiap orang. Tetapi jika Allah hanya memilih Israel, tidak ada satupun usaha yang dapat orang lain lakukan bukan? Tanpa Kristus, tidak ada yang mampu memiliki harapan kepada Allah yang benar dan hidup. Akan tetapi karena darah Kristus, status mereka berubah. Dahulu jauh, sekarang menjadi dekat. Darah Kristus yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan antara orang Yahudi dan bukan Yahudi. Melalui kematian Tuhan Yesus di atas kayu salib, dua golongan ini menjadi ciptaan yang baru. Oleh Tubuh Kristus, hanya karena satu tubuh itu, telah diciptakan orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi yang diperdamaikan dengan Allah pada salib (ayat 13-16). Bayangkan hal tersebut. Sekarang Allah berkenan memasukan orang-orang bukan Yahudi menjadi umat-Nya. Sebuah anugerah yang layak disyukuri senantiasa, setiap orang yang percaya Kristus merupakan ciptaan baru. Tidak hanya status siswa, mahasiswa, anggota gereja, bahkan warna negara. Tetapi semua orang percaya merupakan ciptaan baru dalam Kristus. Kita merupakan umat kepunyaan Allah yang mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan dan memiliki pengharapan.

Sebagai bagian dari Perkantas sedunia, kita pun merupakan ciptaan yang baru. Kita hidup untuk cerita yang berbeda. Itu sebabnya dari awal pembentukan pelayanan mahasiswa di Amerika, Inggris, dan Eropa mereka tidak hanya sekedar bersekutu di dalam kampus masing-masing. Tetapi memiliki kerinduan untuk menyatakan bahwa setiap orang percaya merupakan ciptaan baru dalam Kristus. Hal itu membuat para mahasiswa bersedia untuk bermisi ke kampus lain, ke kota lain, bahkan hingga ke luar negeri. Itulah cerita kita. Perkantas atau secara internasional IFES (International Fellowship of Evangelical Students) merupakan bagian dari ciptaan baru yang membawa cerita Allah ke dalam sekolah dan kampus. Walaupun kita dibagi dalam suku, golongan, dan warna negara. Namun, kita tetap adalah ciptaan baru yang membawa cerita Allah ke dalam sekolah, kampus, Indonesia, bahkan dunia.

Tidak hanya Indonesia yang mengalami perseteruan dalam hal SARA. Seluruh dunia kurang lebih memiliki permasalahan yang tidak jauh berbeda. Oleh karena itu kiranya kita sebagai ciptaan baru, bisa menjadi pendoa bagi para saksi Kristus yang menyatakan cerita-Nya di sekolah dan kampus yang ada di seluruh dunia.

Secara khusus di bulan Oktober dalam rangka “World Student Day”. Marilah kita berdoa untuk seluruh siswa dan mahasiswa, tidak hanya di Indonesia melainkan di seluruh belahan dunia. Kiranya cerita Allah, Injil Kerajaan Sorga dapat menghancurkan tembok penghalang di sekolah dan kampus. Kiranya Cerita Allah juga menolong para siswa dan mahasiswa Kristen untuk memelihara kesatuan sesama orang percaya. Sehingga siswa dan mahasiswa Kristen di seluruh dunia menjadi barisan yang terdepan menyatakan tidak terhadap diskriminasi dan ketidakpedulian. Berdoalah sebagai bentuk pengharapan karena kita telah mengetahui ending dari cerita ini.

“Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru: “Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!” (Wahyu 7:9-10)

BAGIKAN: