I Will Live for My Lord

“Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan sehebat itu terhadap diriNya… supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa. Dalam pergumulan kamu melawan dosa, kamu belum sampai mencucurkan darah” (Ibr. 12:3-4)

Dari seruan tersebut di atas kita dapat mengambil satu pelajaran penting, yaitu betapa pentingnya merenungkan Tuhan Yesus. Merenungkan Yesus yang sedemikian menderita bagi umat-Nya, bagi kita semua. Hal itu berguna agar kita “tidak menjadi lemah dan putus asa”. Dengan perkataan lain, jika kita mampu masuk ke dalam perenungan yang bermutu, maka kita akan terhibur dan dikuatkan. Hal itulah yang mau kita lakukan. Banyak hal yang dilakukan Yesus di dalam hidup-Nya yang tentu sangat baik dan sangat berkesan untuk kita renungkan. Salah satunya adalah saat-saat terakhir ketika Dia berada di sebuah taman, Getsemani. Bagi kita, biasanya, taman merupakan tempat santai, relax dan menghilangkan stress. Tetapi tidak demikian dengan Yesus, Alkitab menjelaskan bahwa di taman itu Tuhan Yesus bergumul sedemikian berat dan mengalami stress yang sangat besar. Hal itulah yang disoroti oleh penulis-penulis Injil. Penginjil Matius menulis, “Ia merasa sedih dan gentar…” (Mat. 26:37). Sementara itu, penginjil Lukas yang memiliki kemampuan berbahasa Yunani yang menonjol dibandingkan dengan penulis Injil lainnya mencatat, “Ia sangat ketakutan…” (Luk. 22:44). Menarik sekali untuk memperhatikan kata “ketakutan” tersebut. Dalam bahasa Yunani, kata yang digunakan adalah agonia. Dalam seluruh Perjanjian Baru, kata ini hanya muncul satu kali, yaitu dalam ayat tersebut di atas. Kata ‘agonia’ menunjukkan adanya konflik batin atau ketegangan yang sangat hebat.

Marilah kita perhatikan dua fakta penting yang dituliskan oleh Lukas yang menunjukkan betapa seriusnya pergumulan Tuhan Yesus tersebut (yang tidak ditulis oleh penulis Injil lainnya). Setelah Lukas mencatat keadaan Yesus yang sangat ketakutan, maka dia melanjutkan dengan, “Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah…” (Luk. 22:44). Rupanya Lukas, yang memiliki latar belakang seorang dokter, ingin menggunakan segala cara, termasuk bahasa medis untuk menggambarkan kondisi tubuh Yesus ketika itu. Karena itu, untuk melukiskan betapa beratnya pergumulan Yesus pada saat itu, dia mencatat fakta adanya peluh darah keluar dari tubuh Yesus. Sebenarnya dr. Lukas sedang melukiskan kasus medis yang sangat jarang terjadi. Ketika seseorang ada dalam kondisi stress yang hebat, maka orang tersebut akan mengeluarkan butir keringat yang besar, yang lain dari biasanya. Bila kondisi ini berjalan terus, maka akan sampai pada kondisi klimaks di mana pembuluh darahnya pecah. Dalam keadaan ini, maka keluarlah keringat campur darah (bloody sweat). Menurut seorang ahli di bidang medis, orang yang mengalami kondisi seperti ini, bisa tiba-tiba pingsan, tidak sadarkan diri. Ketakutan dan ketegangan yang dialami Yesus sedemikian rupa, sehingga kita melihat fakta kedua yang dicatat oleh Lukas, yaitu adalah adanya seorang malaikat dari langit menampakkan diri untuk memberi kekuatan kepada Yesus (Luk. 22:43).

Sungguh luar biasa pergumulan Yesus tersebut! Bagaimanakah kita mampu memahami hal itu sepenuhnya? Secara jujur saya mengatakan bahwa sesungguhnya kita tidak mampu mengerti dan membayangkan betapa beratnya pergumulan tersebut. Selanjutnya, di tengah-tengah pergumulan Yesus yang sedemikian berat, mari kita amati kisah selanjutnya. Di taman tersebut, Tuhan Yesus memutuskan satu peristiwa yang teramat penting dalam sejarah hidup manusia. Ada banyak, entah berapa banyak keputusan yang telah dibuat oleh manusia, khususnya para pemimpin kita dalam sejarah Republik Indonesia tercinta ini. Namun, tidak semua keputusan tersebut penting dan menguntungkan orang banyak. Malah sebaliknya, tidak sedikit keputusan diambil yang merugikan dan menghancurkan orang banyak. Masih ingat keputusan menaikkan harga BBM? Entah, berapa besar penderitaan yang dialami oleh rakyat akibat keputusan tersebut. Namun, tidak demikian dengan Yesus. Sesungguhnya, keputusan apakah yang dilakukan oleh Yesus di taman Getsemani itu? Jawabnya adalah keputusan yang menentukan nasib seluruh manusia yang berdosa. Bila Ia taat, itu berarti kehidupan kekal akan menjadi kenyataan bagi manusia. Artinya, hidup kekal bukan lagi sekedar impian atau pengharapan kosong para rohaniwan. Namun, bila tidak, maka kebinasaan semua manusia berdosa tidak mungkin dielakkan. Untuk itulah Yesus harus menimbang harga yang harus Dia bayar dan upah yang akan Dia terima. Menolak salib dan segala murka Allah yang tersedia di depan, berarti ‘kenikmatan’ bagi Dia, tetapi kebinasaan bagi kita. Menerimanya, berarti ‘neraka’ bagi Dia, tetapi surga bagi kita.

Yesus bergumul dan terus bergumul. Kemanusiaan-Nya yang sejati menampakkan betapa hebatnya pergumulan itu dan betapa gentarnya Dia menghadapinya. Tidak heran bila Dia harus berdoa dan berseru sampai tiga kali. Tidak heran bila dari tubuh-Nya terus mengalir butir-butir keringat yang besar, hingga mengeluarkan keringat campur darah. Dalam pergumulan seperti itu, ketika perasaan begitu gemetar dan penuh ketakutan maka sesungguhnya wajarlah bila Yesus undur. Tetapi masalahnya, keputusan tidak boleh sekedar didasari perasaan. Sebab jika demikian, betapa labilnya hidup ini dan betapa malangnya perjalanan ini. Syukurlah ada dasar lain yang sangat penting, yaitu komitmen, tekad, kesetiaan. Bukan tekad yang didasari egoisme, tetapi tekad untuk membahagiakan orang banyak. Itulah yang dilakukan Yesus. Ketaatan-Nya bukanlah ketaatan yang terpaksa karena ketaatan itu juga didasari kasih. Ya, kasih-Nya terhadap orang berdosa. Kasih-Nya terhadap kita. Dia tidak menghendaki kita mengalami murka Allah yang akan datang. Murka yang begitu mengerikan, yang tidak terbayangkan. Tidak tertahankan oleh siapapun. Dia mau agar kita dilepaskan dari murka. Karena itu, di taman itu Dia memutuskan untuk taat dan berdoa, “Jadilah kehendakMu”.  Kalimat tersebut merupakan satu kalimat yang sungguh-sungguh membahagiakan kita dan membahayakan Yesus. Jika kemudian -sebagaimana kita saksikan dalam film The Passion of the Christ– Tuhan Yesus ditangkap, dicemooh, diludahi, dicambuk dan dianiaya, maka itu adalah konsekuensi dari keputusan tersebut.

Akhirnya, marilah kita memasuki minggu sengsara ini dengan selalu mengingat Dia yang bergumul sedemikian berat dan mengambil keputusan yang penuh resiko, menderita, bahkan disalibkan demi kita. Mari kita renungkan bahwa segalanya telah Dia berikan untuk kita, manusia berdosa. Dia bukan saja memberikan pengajaran-pengajaran yang agung, mukjizat-mukjizat yang hebat dan lain sebagainya. Tetapi yang terutama dari semua itu, Dia pun telah memberikan diri-Nya sendiri kepada kita. Dengan demikian, genaplah apa yang pernah Dia pernah disabdakan-Nya dalam khotbah perpisahan, persis menjelang saat kematian-Nya, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15: 13).

Bagaimanakah respon kita terhadap semua itu? Menjawab pertanyaan ini, saya ingin menggaris bawahi bahwa pengorbanan Tuhan Yesus yang sedemikian besar, tidaklah menjamin adanya respon yang baik dan benar dari kita. Semoga kita tidak seperti Petrus dan kedua temannya. Di tengah-tengah pergumulan Tuhan-nya yang begitu berat -yang sebenarnya bergumul bagi mereka- mereka malah tertidur! Karena itu, marilah kita bercermin di hadapan-Nya yang penuh kasih. Apakah yang selama ini kita lakukan? Teolog besar, yaitu Karl Barth pernah mengatakan bahwa apa yang penting bagi seseorang, hal itu akan terus menerus memenuhi pikirannya. Jika demikian, izinkan saya bertanya, “Apakah yang memenuhi pikiran Anda selama ini, sejak bangun di pagi hari hingga tidur di malam hari? Apakah ambisi, yang terus menerus membara dalam hati Anda? Bagaimanakah Anda menggunakan waktu dan segala karunia yang telah Allah berikan? Ke manakah orientasi hidup Anda? Apakah jawaban terhadap semua pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa kita sedang tertidur atau sedang berjaga bersama Tuhan Yesus?

Semoga kita bersama-sama menjadi orang yang senantiasa berjaga-jaga bersama Dia. Untuk itu, marilah kita serahkan segalanya yang mampu kita berikan kepada-Nya: waktu, uang, tenaga, talenta dan sebagainya. Kiranya kita tidak menghitung-hitung apa yang telah kita berikan kepada-Nya. Tetapi sebaliknya, kita menanyakan apa yang belum kita berikan yang seharusnya kita berikan. Itulah semangat kasih. Itulah teladan yang kita peroleh dari Dia yang pernah bergumul di taman Getsemani.

“Now that I have believed and the Savior received. Now that I from the guilt of my sins am relieved. I will live for my Lord, not for gain nor reward. But for love thinking of what His grace has restored. I will never comprehend redemption’s plan. How Christ could condescend to die for men. Such a Savior I’ll praise till the end of my days…” (I Know Whom I Have Believed)

BAGIKAN: