Pemuridan dan Cinta

Waspada terhadap Apa yang Dilihat

Sering kali pemikiran kita ditipu oleh apa yang dijumpai secara kasat mata di dalam komunitas kristiani. Ada orang-orang, termasuk hamba Tuhan, yang nampak sangat giat dalam melayani dan mengikut Yesus tetapi belum tentu sesuai dengan yang sebenarnya. Craig Groeschel, seorang pendiri dan gembala senior LifeChurch.tv di Amerika Serikat menceritakan betapa ia sangat militan dalam mengikut Tuhan ketika anak pertamanya lahir. Setelah dokter mengizinkan istri dan bayinya untuk pulang di hari Jumat, Craig justru ke seminari karena menghadiri kelas percepatan semester agar bisa lulus kuliah lebih cepat sehingga meminta orang lain untuk mengantar istri dan anaknya dari rumah sakit. Malam harinya, Craig langsung berkhotbah di ibadah Jumat mingguan. Sabtu pagi, ia berangkat sebelum matahari terbit untuk ke seminari, di mana ia berada di sana seharian. Minggu pagi, ia berkhotbah tiga kali. Ketika ia pulang ke rumah, Craig mencatat sebuah sejarah dalam tiga tahun pernikahannya yaitu untuk pertama kalinya bertengkar hebat dengan istrinya. Pada ahirnya, melalui pertengkaran itu, Craig mengaku bahwa ia kecanduan kerja. Namun demikian, Craig menyadari ada masalah yang lebih mendasar di balik kecanduannya yaitu ia kecanduan untuk membuktikan bahwa ia layak dihormati, di mana selama ini ia memiliki perasaan tidak berharga.

Tuhan Yesus tidak tertipu dengan fenomena. Meskipun ada orang berbondong-bondong yang ingin menjadi murid-Nya, mengikut Yesus dengan militan, bahkan ingin menjadikan Yesus sebagai raja (Yoh. 6:15,24), Ia menyoroti bahwa yang mereka cari adalah makanan (Yoh. 6:26). Kebutuhan fisik (makanan, kekayaan, kesehatan), penerimaan (ingin dicintai, menghilangkan rasa bersalah), pengakuan (pembuktian), dan rasa aman (lari dari kenyataan dan kesulitan) tidak jarang menjadi hal yang mendorong orang untuk rajin ke gereja, melakukan saat teduh, melayani, dan mengikut Yesus. Apa yang menggerakkanmu untuk menjadi murid Yesus?

Cinta sebagai Motivasi Terutama

Bruno Mars, dalam lagu Grenade, mengatakan:

I’d catch a grenade for ya
Throw my head on a blade for ya
I’d jump in front of a train for ya
You know I’d do anything for ya.

Pernyataan-peryataan hiperbolis tersebut menggambarkan mengenai kesediaan seseorang untuk berkorban, bahkan nyawa, demi pasangannya. Namun rasul Paulus mengatakan bahwa semua pengorbanan seperti itu tidak bermakna tanpa cinta (1Kor. 13:3). Melalui bagian ini ditunjukkan bahwa seseorang dapat mengikut Yesus, bahkan dengan penuh pengorbanan seperti yang dilakukan oleh orang banyak dalam Yohanes 6 tetapi tidak memiliki hati yang mencintai Yesus.

Hal inilah yang disoroti oleh Yesus dari diri Simon Petrus. Pertanyaan yang disampaikan oleh Yesus kepada Petrus sebelum pada akhirnya mengajaknya untuk mengikut Dia (Yoh. 21:19) adalah,”… apakah engkau mengasihi Aku?” (ayat 15, 16,17). Pertanyaan ini ditujukan Yesus kepada Petrus yang sudah bertahun-tahun mengikut Yesus tetapi kembali kepada kehidupan lamanya sebagai penjala ikan (Yoh. 21:3). Setelah Yesus ‘menangkap basah” Petrus, secara kiasan dan harfiah, Yesus tidak menanyakan alasan kembalinya Petrus kepada kehidupan lamanya ataupun memarahinya atas lemahnya iman Petrus. Yang Yesus tanyakan adalah: apakah engkau mencintai Aku? Sebagaimana pengulangan kalimat menunjukkan penekanan, demikian pula ketika Yesus menanyakan hal yang sama kepada Petrus hingga tiga kali menunjukkan bahwa cinta merupakan motivasi yang terpenting. Meskipun dalam bahasa aslinya kata ‘cinta’ di ayat 15 dan 16 (agape) berbeda dengan ‘cinta’ di ayat 17 (philia) tetapi yang membuat Petrus sedih bukan karena perbedaan penggunaan kata melainkan frekuensi pertanyaan yang diberikan (Yoh. 21:17) sehingga nampak bahwa ketiga pertanyaan Yesus mengacu kepada satu hal yang sama yaitu apakah Petrus mencintai Yesus.

Cinta merupakan fondasi bagi seseorang untuk mengikut Tuhan, termasuk untuk menggembalakan umat Tuhan. itulah mengapa sebelum Yesus memerintahkan Petrus untuk menggembalakan domba-domba-Nya, Ia terlebih dahulu menanyakan mengenai cinta Petrus kepada-Nya. Hal ini juga yang Yesus cermati dari gereja di Efesus (Why. 2:1-7). Meskipun jemaat Efesus sangat maju, memiliki pengajaran yang kuat, dan dipuji oleh Yesus karena militansinya tetapi mereka dinilai oleh Yesus telah mengalami kejatuhan yang sangat dalam. Kejatuhan tersebut bukan karena pelanggaran moral, ataupun penggelapan uang melainkan karena kehilangan cinta yang semula (Why. 2:4,5). Apa yang dimaksud dengan cinta yang semula: cinta kepada Allah atau cinta kepada sesama? Pada prinsipnya, hidup seorang Kristen bukanlah mengenai dirinya dan Allah saja, melainkan Allah, dirinya, dan sesamanya (Mat. 22:37-40). Dengan demikian, hanya seorang yang mencintai Allah yang mampu mencintai umat-Nya. Donald Whitney memberikan penegasan bahwa salah satu tolok ukur kesehatan rohani seseorang – sehebat apapun pencapaian pelayanannya, selama apapun waktu pelayanannya, sebanyak apapun jemaat yang dilayani, sebesar apapun pengaruh yang ditimbulkannya – adalah mengenai cintanya. Seorang yang menjadi murid Tuhan tetapi tidak mencintai-Nya berarti sedang mengalami sakit rohani. Apa kah engkau mencintai Yesus sehingga engkau menjadi murid-Nya?

Ketidakmampuan untuk Mencintai Yesus

Cinta merupakan karakteristik murid Kristus (Yoh. 13:34,35). Namun cinta yang diterapkan di dunia oleh manusia pada umumnya bukanlah cinta yang dimaksud oleh Tuhan. Santo Agustinus mengatakan bahwa dosa pada dasarnya adalah disordered love, yaitu lebih mencintai hal yang kurang penting dan kurang mencintai hal yang lebih penting. Manusia mencintai dengan persyaratan, yaitu mencintai ‘karena’ dan ‘asalkan’. Hal ini menyebabkan manusia jauh lebih mudah untuk mencintai hal-hal lain kecuali Tuhan. Cinta seperti inilah yang ditantang oleh Yesus ketika banyak orang berbondong-bondong mau menjadi murid-Nya, dengan mengatakan bahwa jika seseorang tidak membenci keluarganya, bahkan nyawanya sendiri maka ia tidak dapat menjadi murid Yesus (Luk. 14:25,26).

Yesus menuntut kasih yang tertinggi hanya ditujukan kepada-Nya. Jika seorang mau menjadi murid-Nya tetapi kurang mencintai-Nya maka cepat atau lambat ia akan meninggalkan Yesus. Petrus menunjukkannya ketika ia kembali kepada kehidupan lamanya. Meskipun ia cukup berani menjawab bahwa ia mencintai Yesus tetapi apakah ia sanggup mencintai Yesus secara konsisten, berhubung pertanyaan Yesus berbentuk present tense yang menandakan mengenai tindakan yang dilakukan terus-menerus? Petrus bukan hanya gagal mencintai Tuhan di masa lalu dengan penyangkalannya hingga tiga kali (Yoh. 18:17,25-27) melainkan juga setelah perjumpaannya dengan Yesus yang bangkit ketika ia merasa ingin lebih unggul ketimbang salah satu murid-Nya yang lain (Yoh. 21:20,21). Petrus tidak cukup mampu untuk mencintai Yesus sehingga sanggup untuk mengikut Yesus. Demikian pula kita, tidak cukup mampu untuk mencintai Yesus baik di masa lalu maupun di masa datang.

Kisah perjumpaan Yesus dan Petrus di tepi danau Tiberias bukanlah mengenai cinta Petrus yang membawanya untuk mengikut Yesus, melainkan mengenai cinta Yesus terhadap Petrus yang membawanya untuk mengikut Yesus. Dalam perikop inilah untuk pertama kalinya, di dalam Injil Yohanes, Yesus meminta Petrus untuk mengikut Dia (Yoh. 21:19,22). Petrus yang gagal mencintai Yesus mengalami pengampunan, penerimaan, dan kesempatan berikut oleh Yesus untuk menjadi murid-Nya. Yesus menerima Petrus apa adanya, termasuk dengan ketidakmampuannya untuk mencintai Yesus terus-menerus. Hal yang diminta oleh Yesus adalah agar Petrus mengikut Dia, di mana nantinya ia akan setia kepada Allah sampai mati di usia tua (Yoh. 21:18,19). Dalam Injil Matius, Yesus pernah mengatakan kepada Petrus, ”Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Mat. 4:19). Seruan Yesus tetap sama, baik di awal kemuridan Petrus maupun di dalam perikop ini, yaitu bahwa yang menjadi bagian Petus adalah mengikut Yesus dan mengizinkan Yesus untuk memproses ia untuk menjadi murid-Nya. Max Lucado mengatakan, “Tuhan mengasihi kita apa adanya, tetapi Ia menolak untuk membiarkan kita seadanya.” Tuhan Yesus mengerti segala ketidakmampuan dan kegagalan kita untuk mencintai-Nya. Tetapi hal ini tidak menghalangi-Nya untuk memanggil kita untuk menjadi murid-Nya, karena Ia mencintai kita. Sebelum engkau bertekad untuk menjadi murid-Nya, maukah engkau mengakui ketidakmampuanmu untuk mencintai-Nya dan mengizinkan Ia untuk mencintaimu?

BAGIKAN: