Yesus Penebusku, Inilah Diriku

Pada masa Pra-Paskah tahun 2004, di Amerika mulai diputar sebuah film yang menceritakan saat-saat terakhir ketika Yesus di salib. Sebagian dari kita mungkin tahu judul dari film tersebut, “The Passion of The Christ”. Terdapat banyak pro dan kontra mengenai film ini, tetapi ada satu kesamaan pendapat bahwa film ini cukup sadis. Oleh karena itu, film ini dinilai tidak baik ditonton oleh anak-anak.

Apakah memang peristiwa penyaliban Yesus tergolong sadis? Alkitab menjawab: ‘Sangat sadis!’. Dalam Yesaya 53, peristiwa penyaliban ini digambarkan dengan terperinci. Hamba Tuhan ini diceritakan mengalami penghinaan, dihindari orang, dianiaya, tetapi membiarkan dirinya ditindas dan tidak membuka mulutnya. Penulis kitab Yesaya melukiskan peristiwa ini seperti anak domba yang tidak berdaya dibawa ke tempat pembantaian. Atau, juga seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya.

“… penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya… dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita,”

Dalam Yesaya 53:4-5 pula ditegaskan bahwa peristiwa ini bukan tanpa arti. Peristiwa ini justru sangat berarti bagi kita. Pasalnya, apa yang Ia alami adalah gambaran dari apa yang seharusnya kita alami. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Tuhan Yesus kepada perempuan-perempuan yang menangis dan meratap. Ketika menyaksikan secara langsung penyiksaan yang dialami oleh Tuhan, Ia berespon, “Janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu!“ (Luk. 23:28). Tuhan Yesus menegaskan bahwa apa yang Ia derita adalah apa yang seharusnya kita terima. Ia menebus kita dengan cara menggantikan tempat kita, menanggung hukuman dosa.

Peristiwa Paskah atau kebangkitan Tuhan Yesus dari kematian menandakan bahwa Tuhan telah tuntas menebus kita dari dosa. Kebangkitannya dari antara orang mati menandakan bahwa Ia telah mengalahkan maut yang merupakan akibat dari dosa. Maut atau kematian sudah kehilangan kuasanya atas kita, umat yang ditebusnya. Bagaimana respon kita terhadap karya-Nya ini?

Respon Kita Terhadap Karya Penebusan

Ketika Yesus diurapi oleh seorang wanita berdosa, orang Farisi yang mengundang Yesus mempertanyakan kenabian-Nya (Luk. 7:36-40). Yesus menanggapi keraguan dari orang Farisi itu dengan berdialog bersama Simon tentang sebuah perumpamaan mengenai dua orang yang memiliki hutang yang tidak sanggup dibayar. Kedua orang yang pada dasarnya tidak mampu membayar hutang mereka ini digambarkan memiliki respon yang berbeda. Dalam perumpamaan tersebut digambarkan bahwa orang yang memiliki hutang yang lebih besar lebih mengasihi sang Penebus dibandingkan dengan yang memiliki hutang lebih sedikit. Dengan perumpamaan ini Tuhan Yesus ingin menjelaskan mengapa perempuan berdosa di rumah Simon yang mengurapi Yesus dengan minyak mau melakukan hal-hal yang menurut orang lain tidak pantas. Ia mengontraskan secara langsung sikap perempuan ini dengan sikap Simon, murid-Nya sendiri yang tampak seakan-akan tidak melakukan apa-apa terhadap Tuhan Yesus.

Respon kita kepada karya Tuhan menggambarkan dua hal, yaitu: seberapa besar kita melihat kesesatan kita dan seberapa besar kita menghayati karya Kristus menebus kita dari kesesatan yang kita lakukan. Rasul Paulus menghayati betapa sesat diri-Nya, yaitu sebagai yang paling hina dari semua rasul. Bahkan, ia merasa tidak layak disebut rasul, sebab ia telah menganiaya jemaat Allah (1Kor. 15:9). Ketika Ia melihat kesesatannya dan kerelaan kasih karunia Allah kepadanya, maka ia memberi respon dengan bekerja lebih keras dibandingkan rasul lainnya. Bekerja lebih keras berarti lebih memaksimalkan karunia Allah yang menyertainya (1Kor. 15:10). Dalam masa Pra-Paskah ini, saya mengajak kita semua merenungkan kembali karya Kristus bagi kita. Sehingga melaluinya, kita dapat memberikan respon yang benar demi memaksimalkan karunia Allah yang telah Tuhan berikan bagi kita dalam konteks panggilan pelayanan kita masing-masing.

BAGIKAN: