Pasutri Bahagia

Pada tahun 2012, saya dikejutkan sebuah pernyataan pendeta yang dikatakan dari mimbar: “Pada umumnya, pasangan suami istri (PASUTRI) hanya menikmati percakapan di antara mereka pada 15 sampai 30 menit pertama. Setelah itu, harus segera diakhiri. Jika tidak, percakapan itu akan berubah, konflik dan bisa terjadi perdebatan seru…”

Saya tidak tahu bagaimana respons Anda  semua terhadap pernyataan itu. Barangkali, ada juga yang kaget, protes di dalam hati menyatakan ketidaksetujuan. Sudah sedemikian parahkah hubungan suami-istri pada umumnya? PASUTRI seperti apakah yang sedang diamati oleh pendeta tersebut? Apakah itu juga terjadi di kalangan umat, terlebih lagi alumni binaan PMK?

Saya bersyukur menyaksikan beberapa PASUTRI muda (di bawah 10 tahun), madya (11-20 tahun) serta  senior (di atas 20 tahun) yang hidup bahagia dan harmonis. Namun, saya juga menemukan beberapa PASUTRI yang bermasalah begitu serius, bahkan beberapa di antaranya akhirnya berpisah! Sungguh sesuatu yang sangat menyedihkan. Mengapa hal itu bisa terjadi? Adakah perintah khusus Alkitab bagi suami istri yang perlu diperhatikan demi meraih PASUTRI BAHAGIA?

Perintah Bagi Pasutri

Kita dapat menemukan berbagai perintah dalam Alkitab agar menikmati  PASUTRI bahagia.  Salah satunya adalah seruan nabi Yosua, “… aku dan seisi rumahku akan beribadah kepada Allah” (Yos. 24:15b). Keluarga yang berserah kepada Allah, dapat menyerukan apa yang dikatakan rasul Paulus kepada jemaat di Filipi, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia, yang memberi kekuatan kepadaku” (Fil. 4:13).

Tentu, membangun PASUTRI bahagia bukan sekadar  ibadah, seolah-olah kita pasif, tidak berbuat apa-apa. Ada dua perintah penting  yang  diberikan Alkitab, yang tidak dapat ditawar. Pertama. “Hai istri, tunduklah kepada suamimu…” (Ef. 5:22).  Jadi, sangat jelas adanya perintah agar istri selalu tunduk kepada suaminya.  Apa artinya “tunduk’ pada bagian itu?  Tentu bukan maksudnya agar istri menjadi seperti budak. Pada bagian lain, Alkitab mengajarkan agar istri  menghormati suaminya  (Ef. 5:33b) dan suka melayani mereka sama seperti Sara taat dan melayani suaminya (1Pet. 3:6). Inilah perintah pertama yang diberikan oleh rasul Paulus dalam mewujudkan pasutri bahagia. Mengapa bukan kepada suami terlebih dahulu perintah itu diberikan?  Kenyataan ini menarik untuk diperhatikan. Bukankah banyak berpendapat bahwa keluarga bermasalah seringkali karena ulah suami, karena itu seharusnya perintah diberikan kepada suami? Kenyataannya, tidak demikian. Rupanya, masalah “tunduk’ merupakan sesuatu yang sulit bagi sebagian istri.  Terbukti, dalam nasehatnya untuk menciptakan pasutri bahagia, rasul Petrus juga menyampaikan perintah yang sama, “Hai istri-istri, tunduklah kepada suamimu.” (1Pet. 3:1). Setelah perintah itu, mari kita perhatikan kenyataan berikut:  dari tujuh ayat yang diberikan Petrus, enam ditujukan kepada istri! Termasuk di sini adalah nasehat memiliki perilaku mulia, yaitu saleh dan murni. Sebab dengan perilaku mulia itu, “suami dapat dimenangkan tanpa perkataan” (ayat 1b). Penegasan firman Tuhan tersebut, sungguh luar biasa. Apa yang terjadi jika sebaliknya? Akibatnya, suami mulai bereaksi dingin, membalas dengan kemarahan  dan  membiarkan dirinya tergoda  dengan keramahan pihak lain. Beberapa kisah nyata telah saya dengar mengenai  hal itu.

Selanjutnya, perintah kedua yang menyusul perintah tersebut adalah, Hai suami, kasihilah istrimu (Ef. 5:25). Kelihatannya, ada relasi yang erat antara sikap istri  yang  positif, dengan sikap suami. Sebagaimana disebutkan dalam surat Petrus di atas, kelakuan istri yang mulia menjadi jaminan. Mari kita simak penegasan berikut: “… jika ada di antara mereka (maksudnya suami) yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan istrinya”. (1Pet. 3:1b).  Jadi jelas, yang disampaikan di sana bukanlah suami yang sudah sungguh-sungguh taat, tapi yang tidak taat. Terlebih lagi, jika sikap seperti itu diberikan kepada  suami yang taat. Itulah sebabnya, setelah memberikan perintah pertama, rasul Paulus melanjutkan dengan perintah agar suami mengasihi istri. Nampaknya, berlaku hukum “tabur-tuai”. Apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. Ketika suami menikmati taburan  atau sikap istri yang sedemikian saleh dan murni,  maka istri akan menuai sikap suami yang positif, yaitu sikap mengasihi. Pada bagian lain dijelaskan, suami yang mengasihi istri adalah suami yang mengasuh, merawat  dan melindungi istrinya (Ef. 5:29)  serta hidup bijaksana dengan mereka (1Pet. 3:7).

Refleksi

Tidak bisa disangkal, ibadah keluarga merupakan sesuatu yang sangat penting dan tidak bisa ditawar dalam membangun kebahagiaan. Relasi yang benar dengan Allah Bapa di sorga akan berpengaruh langsung dengan relasi antar anggota keluarga: ayah,ibu, anak-anak. Suami dan istri yang memiliki relasi yang baik dengan Bapa sorgawi, pada saat yang sama akan dimampukan berelasi dengan benar dengan pasangannya. Sesungguhnya, tidak ada masalah yang terlalu besar yang tidak dapat diatasi jika bersama dengan Allah. Sebagaimana diserukan rasul Paulus di atas, bersama Allah, segala perkara dapat ditanggung.

Itulah sebabnya, sejak tahun 1986 menjalani kehidupan bersama istri, dan kemudian bersama anak-anak, ibadah keluarga ini tetap kami jaga. Kami saling mengingatkan dan menjaga agar ibadah keluarga tetap berjalan baik. Dalam kurun waktu tersebut, banyak pergumulan, kesulitan dan tantangan yang dihadapi. Namun dalam kondisi tersebut, kami bersyukur menikmati kuasa dan pekerjaan Allah yang rahasia, yang sulit dijelaskan. Memang itulah ibadah sejati, tidak dapat dijelaskan hanya sekadar akal. Ibadah sejati terjadi ketika ada ruang bagi Allah untuk bertindak secara rahasia. Itulah yang dialami oleh banyak keluarga, khususnya suami-isti yang terus menerus berserah kepada Allah dalam berbagai hal yang dihadapinya, lancar atau sulit.

Selanjutnya, kedua perintah tersebut di atas, “Istri tunduklah kepada suamimu” dan “Suami kasihilah istrimu”, nampaknya sangat sederhana. Namun kenyataannya, tidaklah demikian. Keluarga kami terus menerus belajar dan berdoa agar dapat  menjalankan perintah tsersebut. Di dalam anugerah-Nya, kami sering berhasil dan menikmati kebahagiaan. Namun, secara jujur saya akui, berkali-kali juga gagal. Itulah sebabnya, saya maklum jika beberapa pasangan datang kepada saya dan mengakui kegagalan mereka. Memang, masih banyak hal yang perlu dipelajari.

BAGIKAN: