Mengapa Harus Kuatir?

“Janganlah kuatir akan hidupmu…” Mat.6:25

Banyak orang menjalani hidup dengan penuh kekuatiran bahkan ketakutan. Kita dikejutkan oleh berita adanya siswa yang mati bunuh diri melompat dari lantai 4 gedung sekolahnya. Demikian juga gadis kembar di Bandung yang bunuh diri sama-sama setelah ibunya meninggal dunia. Mengejutkan pengakuan seorang ahli ilmu jiwa di televisi bahwa 70%  anak-anak siswa, remaja yang datang ke kliniknya mengaku memiliki keinginan bunuh diri.

Mengapa harus kuatir? Verkuyl, teolog Belanda yang cukup dikenal di Indonesia, pernah mengibaratkan kekuatiran seperti seorang nenek cerewet. Jika dia diusir keluar dari pintu depan, maka dia akan masuk lewat pintu belakang. Jika diusir dari pintu belakang, sambil menutup kedua pintu, maka dia akan masuk lagi lewat jendela. Dengan perkataan lain, sesungguhnya, kekuatiran tidak dikehendaki oleh siapapun. Walaupun demikian, kekuatiran seringkali menggerogoti hidup seseorang. Itulah juga yang pernah disoroti oleh John Haggai dalam bukunya yang berjudul “Bagaimana Mengatasi Kekuatiran?”. Dalam buku tersebut, John Haggai menegaskan bahwa sekiranya orang Amerika mau jujur, maka pada batu nisan orang-orang Amerika yang telah meninggal dapat dituliskan, “Meninggal karena kuatir.” Maksudnya, banyak orang Amerika yang mengalami berbagai macam penyakit yang berakhir pada kematian, sebenarnya, diakibatkan oleh kekuatiran.

Banyak hal membuat kita merasa kuatir, penyebabnya mungkin berbeda satu dengan yang lain. Siswa dan mahasiswa bisa kuatir karena prestasinya buruk, ditolak dalam pertemanan, tidak lulus ujian, masa depan yang tidak menentu, dan lain sebagainya. Alumni bisa kuatir karena melihat gerak gerik anaknya, jangan-jangan anaknya kena narkoba, judi, keranjingan smartphone, kelainan kepribadian jadi gay atau lesbian,  jatuh cinta dengan yang berbeda agama, dan sebagainya. Istri bisa kuatir akan pekerjaan suami, atau ketika melihat perilaku suaminya yang mulai berubah, baik kepada dirinya, juga kepada anak-anaknya. Demikian juga sebaliknya, suami bisa kuatir karena melihat istrinya yang semakin sering pulang malam. Seorang pekerja bisa kuatir akan ancaman putusnya hubungan kerja. Alumni tertentu bisa kuatir, jangan-jangan bisnis yang sedang dikerjakan gagal, atau kreditnya yang cukup besar macet, mungkin juga ada alumnus yang kuatir jika piutangnya tidak dikembalikan.

Seruan Tuhan Yesus

Tuhan kita mengetahui bahwa umat-Nya dapat diancam kekuatiran.  Bahkan kuatir akan hal-hal mendasar,  seperti soal makanan dan pakaian. Untuk itu, menjalani tahun baru 2020 ini, baik sekali kita menghayati  seruan, perintah Tuhan di atas. “Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai” (Matius 6:25).

Larangan Tuhan Yesus tersebut disertai penjelasan yang sangat menarik. Pertama, Tuhan Yesus memberikan alasan yang sangat logis: “Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” (6:26). Jawabannya, tentu benar. Saya yakin bahwa kita semua sependapat bahwa hidup bukan untuk makan, tapi kita makan untuk hidup. Demikian juga, tubuh bukan bukan untuk pakaian, tapi pakaian untuk tubuh. Jika demikian halnya, mengapa ada orang yang mati-matian mencari uang agar dapat membeli makanan dan pakaian tertentu? Kadang-kadang, kita menemukan keanehan dalam diri orang-orang tertentu. Demi dan untuk mendapatkan uang, seseorang bisa bekerja sedemikian rupa, kerja keras dari pagi hingga larut malam sampai mengorbankan waktu istirahat, olah raga dan kondisi kesehatannya. Tetapi ketika penyakit tiba dan maut mengancam, maka semua uang dan harta benda dikorbankan demi mendapatkan kembali kesehatan tersebut. Tapi apa yang terjadi? Seringkali segala usaha sudah terlambat. Maut tidak bisa ditolak lagi!

Alasan kedua yang diberikan oleh Tuhan Yesus untuk tidak kuatir adalah karena Allah memedulikan dan memelihara umat-Nya. Untuk memahami pemeliharaan Allah tersebut, Tuhan Yesus mengajak umat untuk mengamati sekelilingnya. “Pandanglah burung-burung di langit yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga.” (6:26). Gambaran tersebut sungguh sangat menarik, sangat jelas dan sesungguhnya sangat menantang.  Saya semakin menghayati Firman ini ketika mengunjungi Villa seorang alumna di Labuan Bajo. Villa yang dikelilingi hutan itu ditanami juga pohon-pohon pilihan  yang menarik bagi burung-burung jenis tertentu. Antara lain, pohon-pohon mahoni yang tinggi. Karena itu, di pagi hari, sambil menikmati sarapan, betapa nikmatnya menyaksikan burung-burung warna warni terbang  dari satu pohon ke pohon lain, sambil menyanyikan lagu pujian, Allah telah memakai pemilik villa tersebut menanam pohon pilihan agar dapat dinikmati burung-burung. Jika Allah mampu memelihara burung-burung yang tidak bekerja dan tidak memiliki bekal dalam lumbung, maka lebih lagi, Dia mampu memelihara umatNya, dengan berbagai macam cara. Hal itulah ditegaskan oleh Tuhan, “Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?” (26). Benar, kita jauh lebih dari pada burung-burung. Lebih bernilai di hadapan Allah, juga lebih mampu, karena kita telah menabur dan menyimpan bekal dalam ‘lumbung’.

Akhirnya, Tuhan Yesus menyatakan bahwa umat tidak boleh kuatir akan hidupnya, karena kekuatiran tidak menyelesaikan masalah. Itulah sebabnya, Tuhan Yesus memberi tantangan kepada umatNya: “Siapa di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?” (27). Jawabnya, jelas: tidak ada. Sesungguhnya, kekuatiran bukan saja tidak menyelesaikan masalah, tapi malah menambah masalah. Hal itulah yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, marilah menjalani hidup kita dengan penuh penyerahan dan syukur kepadaNya.

BAGIKAN: