Membangun Pasutri yang Alkitabiah

Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.” (Efesus 5:22, 25).

Di bulan pertama tahun 2019 banyak umat dikejutkan oleh seorang tokoh Kristen, BTP, yang bukan saja telah menceraikan istrinya, tapi juga berencana menikah kembali segera setelah dia keluar dari penjara. Tentu saja, tindakan itu mengecewakan banyak pihak, walau tidak sedikit yang tetap membelanya. Berbagai cara dilakukan membenarkan perceraian dan rencana pernikahan itu. Termasuk dengan menggunakan ayat-ayat Firman Tuhan.

Dalam semua kasus pasutri (pasangan suami-istri) yang ingin bercerai, hampir semua mengatakan kepada saya bahwa itulah yang terbaik. Berbagai alasan diberikan mendukungnya. Demikian juga, ketika mau menikah lagi, selalu mengatakan alasan-alasan yang kelihatan bagus. Namun dalam kenyataannya, beberapa pasangan mengatakan bahwa setelah menjalani perceraian tersebut, dia menyesal. Ternyata, timbul masalah baru yang tidak terbayangkan sebelumnya. “Sekiranya, bisa kembali, lebih baik menderita bersama pasangan dan anak-anak dari pada seperti sekarang ini”, demikian keluh seseorang. Lalu, mengapa bisa merasa nikmat di awal tetapi menyesal kemudian? Maklum, karena dia belum mengalami badai topan akibat keputusan tersebut. Tetapi setelah menjalaninya bertahun- tahun, baru merasakan realita penderitaan itu. Karena itu, jika ada di antara rekan Alumni yang bermasalah -termasuk yang sudah sangat serius dan berniat  cerai-  kiranya membatalkan niat itu. Mengapa?

Saya mau memberikan beberapa alasan praktis. Pertama, ketika Anda bermasalah, ingatlah bahwa Anda tidak sendiri, semua pasutri mengalami masalah dalam keluarga: cekcok, kucok (kurang cocok).  Kedua, kita juga perlu meyakini (mengimani) tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi (1Kor. 10:13) Ketiga, jika anda merasa tidak sanggup untuk mengatasi masalah tersebut, berserahlah  kepada Tuhan Yesus. Allah turut bekerja dalam segala sesuatu mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia. (Rm. 8:28).

Merawat ‘Tanaman’ PASUTRI

“You must fall  in love many times, but should be with the same person”

Kutipan di atas sering saya bagikan dalam seminar-seminar pasutri di Perkantas. Itulah sebabnya, sejak suami istri diberkati di Gereja dengan komitmen setia sampai maut memisahkan, keduanya, wajib belajar dan belajar makin setia. Setelah janji pernikahan tersebut, maka pasangan tersebut diberkati oleh hamba-Nya. Bagi saya, kedua peristiwa penting ini: JANJI NIKAH dan BERKAT TUHAN menjadi fondasi sangat kuat dalam sebuah pernikahan. Jika kedua hal itu dihayati dengan benar, maka seharusnya pernikahan Kristen, akan sangat berbeda dengan yang lain.

Dari kutipan Efesus di atas, kita menemukan dua kata kunci penting dan sangat mendasar bagi PASUTRI yang harus terus dipelajari seumur hidup. Itulah KASIH & TAAT. Hai suami (jamak dalam bahasa asli), kasihilah istrimu (Ef. 5:25). Hai istri (juga jamak dalam bahasa asli), tunduklah kepada suamimu (22). Apa artinya mengasihi? Sejauh mana? Suami tidak dapat berdalih bahwa sudah mengasihi istri. Ukurannya, bukan seperti diberikan suami, tapi telah diberikan Alkitab: “sebagaimana Kristus mengasihi jemaat”. Jika demikian, maka teladan kasih itu jelas, mengasihi sampai mati! Kebenaran tersebut tidak memberikan peluang sekecil apapun untuk menceraikan istri, terlebih karena alasan sepele, seperti  karena tidak pintar masak, makin jelek dan tidak lagi langsing, tapi sudah langsung, gendut. Sebaliknya, dalam mewujudkan kesetiaan kepada istri, sebagaimana dalam janji nikah tersebut, seharusnya suami terus belajar melakukan tindakan kasih kepada istri secara konkrit, mulai dari hal-hal kecil sampai besar Misalnya, sebelum tiba di rumah,mengirimkan satu pesan singkat berterimakasih atas doanya sehingga semua tugas terlaksana baik,  membelikan sesuatu kepada istri, sebagai tanda perhatian… juga tidak pernah ‘melirik’ ke kiri dan kanan untuk mencari ‘daun ‘muda’. Kasih kepada istri membuatnya tidak akan memberikan kesempatan, peluang sekecil apapun untuk digoda oleh perempuan lain.

Lalu, bagaimana dengan peran istri yang “tunduk’ kepada suami? Istri juga tidak punya kebebasan untuk mendefenisikannya semaunya, karena Alkitab dengan jelas mengajarkan, “Tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan”. Dengan perkataan lain, setiap istri yang mengenal, mengasihi dan tunduk kepada Tuhan,, pada saat yang sama merefleksikan sikap tersebut kepada suaminya. Selanjutnya, dikatakan, “Sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus” (24). Ketundukan jemaat kepada Kristus sedemikian serius, sikap sebaliknya adalah dosa. Itu sebabnya, jemaat yang semakin bertumbuh dewasa akan nampak dalam kasih, pelayanan dan pengorbanannya kepada Kristus. Demikian juga, kiranya istri,  semakin suka dan rindu melayani suami secara konkrit, dari hal kecil sampai hal besar. Misalnya, membuat minuman kesukaan suami, membantu memilih pakaian yang akan dipakai ke kantor, sekalipun dia memiliki pembantu, namun tangannya sendiri yang melayani suaminya, mengantarkannya.  Nampaknya ini kecil, tapi dampaknya bisa besar. Seorang suami mengisahkan bahwa dua kali seminggu di pagi hari dia dan teman-temannya bermain golf. Karena itu, biasanya teman-temannya sibuk mencari tempat  untuk sarapan pagi. Berbeda dengan dirinya, karena sepagi apapun dia berangkat dari rumah, istrinya akan menyiapkan sarapan baginya. Dengan bangga dia menceritakan bahwa hal itu dilakukan istrinya selama bertahun-tahun, tidak pernah membiarkan pembantunya.

Setelah berusaha melakukan semua itu, bagaimana jika hasilnya bersifat negatif dari pasangan? Kembali kepada peristiwa pernikahan di atas. Ingat hal kedua, yaitu berkat Tuhan yang disampaikan oleh hamba-Nya dan tetap bersandar kepada-Nya. Jangan pernah memikirkan untuk bercerai, sesulit apapun kondisi relasi suami istri tersebut. Itulah yang saya saksikan. Tidak sedikit keluarga yang membatalkan rencana perceraiannya, sungguh diberkati Tuhan. Ruang sangat terbatas untuk mengisahkan kisah nyata. Saya sebut satu contoh saja. Seorang ibu merasa keberatan dengan sikap saya yang menolak rencananya bercerai. Dia menyampaikan bahwa dia sudah tidak kuat. Selain karena KDRT ternyata suaminya juga sudah memiliki simpanan lain. Saya dengan tegas menyampaikan perintah Firman Tuhan yg melarang bercerai kecuali oleh kematian. Saya memberikan nasehat praktis kepada ibu di atas. Berdoalah seperti ini, “Bapa, bawalah suamiku kembali ke sisiku. Tetapi jika hal itu tidak mungkin terjadi, bawalah dia ke sisiMu”.

Singkat cerita, nasihat itu dilakukannya. Setahun kemudian, suaminya mengalami penyakit ginjal parah! Akibatnya, suami tidak bisa bekerja, tidak menghasilkan uang dan ditolak istri mudanya! Suami tersebut pun kembali ke istri pertama. Kemudian dengan kasih sayang dari istri yang siap menerimanya, keluarga ini rukun kembali bersama anak-anaknya. Dengan melihat hal di atas, kita harus terus bertekad membangun relasi suami istri dengan cara-cara konkrit dan positif, menjauhkan diri dari  perceraian, karena tindakan itu melanggar Firman Allah. Itu juga menghentikan pengharapan kita kepada Allah yang sanggup mengerjakan pemulihan. Dia yang telah mengerjakan banyak mukjizat dalam banyak keluarga, Dia juga sanggup mengerjakan mukjizat dalam setiap Pasutri bermasalah.

BAGIKAN: