Allah Beserta Kita

“Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia.” (Mat. 2:13)

Barangkali, masih jelas dalam ingatan kita berita Natal yang disampaikan di sepanjang bulan Desember. Salah satu berita penting di hari Natal adalah agar jangan takut. Mengapa? Bukan karena kita hebat, atau karena masalah tidak ada. Tetapi, karena Yesus, Juruselamat kita telah lahir (Luk. 2:11). Dialah yang disebut Immanuel, yang berarti, Allah beserta kita (Mat. 1:23).

Apa maknanya bagi kita?

Apakah maknanya jika diberitakan bahwa Allah beserta kita? Apakah itu berarti semua perjalanan kita akan mulus dan lancar? Bacaan di atas menunjukkan tidak demikian. Dengan jelas kita melihat tantangan yang dihadapi Maria dan Yusuf serta bayi yang baru saja dilahirkan itu. Mari kita bayangkan betapa repotnya mereka berpindah-pindah (sambil membawa bayinya) dari Betlehem menuju Mesir dan kembali lagi. Mereka juga ada dalam ancaman yang tidak ringan, ancaman nyawa dari seorang raja. Itulah kondisi yang mereka hadapi. Membayangkan peristiwa itu, rasanya hidup ini kok tidak fair. Apa salah Maria dan Yusuf sehingga bayinya mendapat perlakuan seperti itu? Juga tidak adil, bagaimana seorang raja yang sangat berkuasa, bertarung dengan sepasang suami istri yang tidak memiliki kuasa? Secara manusia dapat dikatakan bahwa Maria dan Yusuf hanya bisa pasrah. “Apa yang akan terjadi, terjadilah. Mau apa lagi?”

Lalu apa yang terjadi? Dalam tindakan pasrah, penuh ketaatan kepada firman Tuhan (Mat. 2:14), Maria, Yusuf dan bayi Yesus selamat dari ancaman pembunuhan Herodes. Bayi Yesus tidak berhasil dibunuh oleh Herodes. Sebaliknya, Herodeslah yang mati. Dengan demikian, kita belajar bahwa penyertaan Allah memang tidak membuat jalan umat selalu mulus, lancar tanpa kesulitan. Yang terjadi adalah, penyertaan Allah membuat umat terlepas dari segala sesuatu yang tidak dikehendakiNya. Itulah pengalaman Maria dan Yusuf. Itu juga yang dialami oleh Hananya, Misael dan Azarya, ketika mereka dilepaskan Allah dari murka raja Nebukadnezar, yaitu dari api yang bernyala-nyala (Dan. 3:24-27). Dengan perkataan lain, Allah yang menyertai umatNya, sanggup meniadakan kuasa-kuasa duniawi yang akan menghancurkan mereka, baik dari keganasan raja, ataupun api yang menyala!

Di dalam memasuki masa depan yang tidak menentu, tidak seorang pun yang berani memastikan pemulihan, baik dari kondisi ekonomi, demikian juga dari segi politik. Dalam hati saya berpikir, bagaimana mungkin memastikan pemulihan ekonomi jika negara dikelola oleh orang-orang yang tidak takut akan Tuhan, seperti para koruptor? Bagaimana mungkin kondisi politik bisa pulih jika para politisi dikuasai oleh orang-orang opportunis dan tidak bermoral?

Kondisi di atas mungkin melemahkan beberapa dari kita, seolah-olah kalah sebelum berperang. Berbagai pertanyaan muncul secara spontan. “Bagaimana mungkin dapat menjadi orang Kristen yang berintegritas di tengah-tengah bangsa yang korup seperti ini?” “Apakah kita sanggup melawan arus, atau akan terhempas oleh arus yang sangat deras?” Nampaknya, rekan-rekan tersebut, lupa bahwa memang dalam kondisi seperti itulah umat Allah hidup dan berkarya. Di manakah ada satu zaman yang bebas dari korupsi, penyelewangan dan ketidakadilan? Bukankah hal-hal seperti itu yang memenuhi lembaran Alkitab sejak Perjanjian Lama?  Dalam situasi itulah Daniel dan kawan-kawan berkarya dan tetap hidup benar, jujur dan melekat kepada Allah (Dan. 6). Dalam kondisi seperti itulah juga Tuhan Yesus menegaskan: “Biarkan keduanya (lalang dan gandum) tumbuh bersama sampai waktu menuai” (Mat. 13:30a). Jadi, jelaslah bahwa lalang  tidak akan pernah habis sampai akhir zaman.

Jika demikian halnya, jelaslah panggilan Allah bagi kita semua, tetap berkarya dan berbuah lebat di tengah-tengah zaman yang bengkok! Tetap FAITHFUL dan FRUITFUL. Demikianlah Nuh hidup benar dan tidak bercela di zamannya (Kej. 6:9). Demikianlah seruan rasul Paulus kepada jemaat Filipi “supaya hidup tiada beraib dan tiada bernoda… di tengah angkatan yang bengkok” (Fil. 2:15). Apakah hal itu bisa? Tentu saja. Sebagaimana umat Allah dimampukan hidup di PL dan PB, demikian juga kita dimampukan hidup benar di masa kini.

Itulah sebabnya saya bersyukur ketika seorang alumni yang bekerja di pemerintahan mengatakan bahwa dia rela melakukan apa saja, tidak akan gengsi, asalkan benar dan tidak mencuri uang negara. Saya juga bersyukur melihat sepasang suami istri, binaan Perkantas yang tinggal di Siantar. Setelah ibadah, mereka mendatangi saya dengan wajah penuh sukacita. Sekali pun mereka adalah lulusan Jakarta, tapi dalam ketaatannya kepada pimpinan Tuhan, mereka meninggalkan kota megapolitan tersebut dan bekerja di desa, cukup jauh dari Siantar. “Hari gini, ke desa?” Ya, mengapa tidak? Dari pada menjadi penganggur atau koruptor kaya di kota? Ternyata, di sana mereka hidup bahagia, menjadi peternak, yang siap menjamu kami dengan lomok-lomok (babi muda usia di bawah tiga bulan). Di sana juga mereka membantu pekerjaan Tuhan. Jadi, di mana saja, termasuk di desa, Allah  menyertai umat-Nya. Dia siap memberkati kita semua. Soli Deo gloria.

BAGIKAN: