Keluarga Bahagia

“Firman itu telah menjadi daging (sarx) dan diam di tengah-tengah kita…” (Yoh.1:14)

“… tetapi Aku datang supaya kamu mempunya hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10b).

Beberapa waktu yang lalu, saya berkunjung ke kantor salah seorang alumni. Ketika sedang berbicara di ruang kerjanya, tanpa sengaja, mata saya tertuju kepada sebuah foto keluarga alumni tersebut. Di dalam foto itu terdapat dirinya, istri dan anak-anaknya. Dari posisi berfoto, tergambar sebuah kebahagiaan dan kemesraan. Di dalam hati, saya memanjatkan doa agar kiranya saudara kita tersebut senantiasa dikaruniai kebahagiaan sejati, terlepas dari berbagai tipu muslihat iblis yang dapat merusak kebahagiaan dan keharmonisan keluarga.

Sesungguhnya, keluarga bahagia merupakan dambaan setiap orang. Meski demikian, tidak semua keluarga mencapai kebahagiaan yang didambakan tersebut. Untuk sebagian orang, keluarga bahagia tinggal impian yang ‘mustahil’ diwujudkan. Di sana sini kita mendengar adanya hubungan suami-istri yang dingin, cekcok, perang mulut, saling menyakiti dan akhirnya bubar alias bercerai. Tentu saja, yang korban bukan hanya mereka berdua, tapi juga anak-anak yang masih polos. Baru-baru ini, dalam sebuah tayangan televisi, saya turut terharu menyaksikan seorang anak yang menangis tersedu-sedu karena mengetahui bahwa orang tuanya akan bercerai. Sambil terus menangis dan memeluk ayahnya, anak yang tidak berdaya tersebut hanya sanggup berkata: “Papa, jangan cerai.

Mengapa semua itu terjadi? Mengapa impian akan keluarga bahagia sulit menjadi kenyataan? Barangkali dalam hal ini berlaku apa yang pernah ditegaskan oleh Thomas Kempis dalam bukunya The Imitation of Christ, bahwa walaupun orang merindukan kebahagiaan, tapi tidak semua orang ada di sisi kebahagiaan tersebut. Dengan perkataan lain, walaupun orang mendambakan kebahagiaan, tidak semua orang ada pada jalur menuju kebahagiaan tersebut. Bahkan ada yang berjalan sebaliknya.

Kekayaan = Kebahagiaan?

Sebagian orang sangat meyakini bahwa uang atau materi menjadi ukuran kebahagiaan. Itulah sebabnya, keluarga yang memiliki rumah mewah, kendaraan mewah dan uang yang berlimpah, dianggap lebih berbahagia daripada mereka yang tidak memiliki hal-hal tersebut. Seorang ibu pernah berkata: “Mengapa saya sering cekcok dengan suami? Seringkali inti permasalahannya adalah karena uang. Ketika kami memerlukan sejumlah uang untuk hal tertentu namun tidak mememilikinya, maka ujung-ujungnya, kami saling menyalahkan. Sekiranya kami memiliki banyak uang seperti si X dan si Y, tentulah kami berbahagia, tidak menderita seperti ini.”

Benarkah pernyataan tersebut? Apakah kekayaan berbanding lurus dengan kebahagiaan hidup? Artinya, apakah seiring dengan melimpahnya materi yang dimiliki, melimpah pula sukacita dan kebahagiaan tersebut? Sebaliknya, semakin sedikit uang, semakin berkurang pula kebahagiaan yang dimiliki? Dalam kenyataannya, tidaklah demikian. Penulis mengenal keluarga yang hidupnya rukun dan bahagia ketika mereka masih hidup sederhana. Namun kemudian, setelah keluarga tersebut semakin melimpah dengan materi, memiliki rumah dan kendaraan pribadi yang cukup mewah, keluarga tersebut semakin jauh dari kebahagiaan yang pernah dimilikinya. Keluarganya pun terancam bubar. Tidak heran, Raja Salomo pun mengalami kehancuran setelah mencapai puncak kesuksesannya.

Rahasia Hidup Bahagia

Menarik sekali mengamati bagaimana Alkitab menyoroti soal  harta benda dan materi. Di banyak tempat, Alkitab memberi peringatan yang penting untuk disimak dan direnungkan dengan segenap hati. “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang  berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu” (Luk. 12:15). Dari kutipan tersebut kita dapat mengamati peringatan penting dalam hubungannya dengan materi:  “berjaga-jagalah” dan “waspadalah terhadap segala ketamakan”.

Alkitab menunjukkan dengan jelas bahwa keluarga bahagia merupakan anugerah Kristus. Untuk itulah Tuhan Yesus mengosongkan diriNya, meninggalkan sorga dengan segala kemuliaanNya dan datang ke dalam dunia. Itulah Natal yang akan kita peringati, syukuri dan rayakan. Dari kutipan di atas, kita membaca dengan jelas bahwa Yesus datang supaya kita semua memiliki hidup. Bukan sekedar hidup saja, tetapi hidup yang berkelimpahan (Yoh. 10:10b). Tentu saja, ukuran kelimpahan bukanlah soal materi, sebagaimana disinggung di atas, di mana ada keluarga yang berlimpah dengan materi tetapi miskin dan jauh dari kebahagiaan. Kelimpahan yang dimaksud adalah adanya kebahagiaan hidup yang diterima dari Yesus Kristus, dan selanjutnya kebahagiaan itu diteruskan kepada anggota keluarga lainnya: suami-istri, orang tua-anak. Kebahagiaan tersebut tercermin dari semua perilaku hidup setiap hari, baik ketika menikmati kebersamaan di rumah, atau di luar rumah, seperti ketika berekreasi, sebagaimana tergambar dari foto keluarga tersebut di atas.

Ketika rasul Paulus membicarakan bagaimana membangun keluarga yang baik, harmonis dan bahagia, dia memerintahkan: “Rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus” (Ef.5:21). Dengan perkataan lain, keluarga yang bahagia adalah keluarga yang memiliki relasi secara vertikal. Memiliki HPDT atau Hubungan Pribadi Dengan Tuhan yang sungguh-sungguh baik. Artinya, setiap anggota keluarga harus memiliki hubungan yang baik dan benar dengan Kristus. Pertumbuhan rohani setiap anggota keluarga: ayah, ibu, anak-anak, merupakan kunci dan rahasia untuk mencapai dan membangun keluarga bahagia. Jika tidak?  Kebahagiaan keluarga merupakan kemustahilan.

Mengapa demikian? Karena relasi vertikal tersebut menjadi dasar dari relasi horizontal. Keluarga bahagia adalah keluarga yang berelasi satu dengan yang lain, di mana masing-masing anggota keluarga saling merendahkan diri. Untuk itu, dibutuhkan kesediaan dan tekad untuk saling perduli dan memerhatikan, saling menghargai dan saling menerima antara anggota yang satu dengan yang lainnya. Karena itu, sifat egoisme atau sifat individualistis, seperti terlalu sibuk dengan urusan dan pekerjaan sendiri harus dibuang. Demikian juga dengan sikap  meninggikan diri serta sifat negatif lainnya, harus dikikis habis sampai ke akar-akarnya.

Sesungguhnya, itulah teladan yang diberikan Tuhan Yesus Kristus pada waktu Natal. Kiranya kita semua semakin dimampukan merendahkan diri: suami kepada istri dan sebaliknya. Juga orangtua kepada anak dan sebaliknya. Kiranya kita semua juga semakin memiliki semangat untuk memberi diri kepada sesama, dimulai dari anggota keluarga kita. Konkritnya, betapapun sibuknya kita orangtua atau anak-anak, kita harus selalu ada waktu untuk keluarga.  Masing-masing anggota keluarga berdoalah dan berupaya semaksimal mungkin demi mewujudkan kebahagiaan bersama.

BAGIKAN: