Form & Meaning

Saya berasal dari sebuah gereja yang dapat disebut sebagai gereja tradisional. Ada banyak tradisi baik yang saya warisi dari gereja saya semenjak kanak-kanak sampai saat ini. Salah satunya adalah lagu-lagu pujian hymnal yang saya kenal akrab karena sering dinyanyikan tiap minggu, walau saya belum mengalami maknanya saat itu. Kelak ini menjadi kenangan yang sangat berguna setelah saya mengalami hidup baru dalam Kristus.

Namun, harus saya akui ada momen-momen yang seharusnya menjadi momen rohani bagi saya telah berlalu begitu saja. Saya teringat masa-masa mengikuti kelas katekisasi, ketika sosok pendeta seolah menjadi ‘dua’ dalam pandangan mata saya di tengah rasa kantuk pada jam 3 siang di hari Minggu. Kendati demikian, saya tetap lolos mengikuti Sidi (pengakuan percaya) yang menjadi sebuah seremonial saja bagi saya. Pada masa-masa itu, saya juga mengikuti persekutuan mahasiswa di kampus. Di persekutuan mahasiswa inilah saya baru mengalami Injil dengan sesungguhnya. Hati saya diperbaharui oleh Injil yang saya dengar dan pelajari lewat kamp Perkabaran Injil, Persekutuan Jumat, PA kelompok dan Kelompok Kecil (KK), serta kegiatan lainnya. Hal itu terjadi pada tahun 1980-an. Pada waktu itu pelayanan Persekutuan mahasiswa baru berusia sekitar 5 tahun.

Mengapa bisa terjadi perbedaan seperti itu? Tentu ada banyak faktor. Salah satu faktor utamanya adalah gereja yang sudah berusia puluhan tahun mulai terjebak kepada tradisi. Kegiatan gereja dilakukan dengan teratur dan rapih tapi sering menjadi sebuah seremonial saja. Sedangkan persekutuan mahasiswa yang masih sangat baru waktu itu melakukan kegiatan pelayanannya dengan penuh penghayatan makna dan tujuannya. Tanpa makna dan tujuan yang jelas, pengurus PMK tidak akan mau mengerjakannya.

Saya masih ingat, kami akan terlebih dahulu bertanya ‘mengapa’ sebelum bertanya ‘bagaimana’ bila merencanakan sebuah program pelayanan. Namun, saat ini Perkantas bersama dengan persekutuan siswa dan mahasiswanya sudah tidak baru lagi, melainkan sudah masuk kepada pelayanan yang berusia ‘puluhan tahun’. Sebagai sebuah komunitas kerohanian ataupun sosial, Perkantas juga bisa terjebak kepada tradisi yang terbatas pada bentuknya saja tapi sudah kehilangan makna terdalamnya. Sudah ada banyak pemahaman, pola, kegiatan-kegiatan pelayanan Perkantas yang sudah berlangsung puluhan tahun, yang bila tidak hati-hati akan menjadi tradisi yang sepi makna dan kekuatan rohani. Tampaknya kita cenderung akan melakukan sebuah bentuk kegiatan yang sudah menjadi tradisi tanpa perlu mengerti dan menghayati maknanya. Apalagi bila tradisi itu diberi kekuatan hukum struktural atau organisasi, menjadi sebuah tata tertib atau kegiatan wajib.

Apakah tradisi itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar: perayaan hari besar agama itu janganlah hanya merupakan tradisi, melainkan haruslah dihayati maknanya.

Dari definisi di atas, kita melihat sebuah kenyataan bahwa tradisi itu adalah sebuah kebiasaan yang diwariskan turun temurun. Kenyataan ini tidak bisa kita ubah. Semua komunitas yang berlangsung puluhan tahun bahkan ratusan tahun akan mengalaminya. Juga mungkin tidak perlu kita ubah karena ada tradisi yang memang baik dan patut diteruskan. Namun, penilaian atau anggapan bahwa suatu tradisi tertentu adalah yang paling baik dan benar itu seringkali membawa kita kepada bahaya melakukan tradisi tanpa makna. Sekalipun itu tradisi yang sangat baik dan masih “up to date”. Pasalnya, ketika kita sudah diyakinkan dan dikondisikan begitu rupa untuk melakukannya tanpa ragu, kita tidak terkondisikan untuk berjuang mencari maknanya.

Tulisan ini bermaksud untuk mengajak Perkantas dengan seluruh komponen pelayanannya, bersikap kritis dan berjaga-jaga untuk tidak terjebak kepada jerat tradisi meneruskan “form” tanpa “meaning” supaya bisa terus dapat dipakai Tuhan menjangkau generasi muda zaman ini. Mungkin Perkantas meninggalkan banyak kebiasaan yang diwariskan turun-temurun entah itu masih relevan ataupun tidak. Sehingga pelayanan Perkantas pun bisa ada dalam bahaya melakukan tradisi kegiatan atau pola pelayanan tanpa menghayati maknanya. Apa yang saya alami di gereja tradisional dahulu, dapat dialami oleh siswa, mahasiswa, alumni, dan staf generasi sekarang. Kita tetap menjalankan bentuk kegiatan KK, Kamp, retret dsb, tapi kita tidak lagi mengerjakannya dengan makna, visi, misi yang sama. Saya sempat terkejut, ketika staf dan pengurus persekutuan sangat terkesan dengan ide KK berdasarkan profil. Bukankah, memang begitu seharusnya. Dulu tidak ada kewajiban harus pakai ataupun menyelesaikan buku Memulai Hidup Baru (red: buku penuntun Kelompok Kecil di kampus). Kami menggunakan buku tersebut karena buku MHB sangat menjadi berkat bagi kami dan kami teruskan kepada anak kelompok kecil kami. Kami menyelesaikannya karena apa yang dibagikan dalam MHB sangat berguna untuk menolong mahasiswa menjalani kehidupan barunya dalam Kristus. Sampai kini, sudah ada sekian angkatan yang memakai MHB karena itulah tradisi KK di kampusnya.

Tadinya saya pikir siswa, mahasiswa, dan staf baru yang bergantian masuk ke dalam ladang pelayanan siswa dan mahasiswa, bahkan bisa tiap tahun berganti, akan dapat luput dari bahaya tradisi ini. Pasalnya, mereka adalah orang-orang yang belum terjebak rutinitas. Namun, ternyata tidak. Tradisi bukan hanya sanggup menguasai ‘orang lama’ atau ‘orang tua’ yang sering kali disebut kelompok konservatif, tapi tradisi sanggup menguasai orang baru yang masuk ke dalam sistem yang sudah dikuasai oleh tradisi. Entahkah dia sebagai ‘korban’ tradisi atau kemudian menjadi pelaku tradisi.

Sebetulnya apa bahaya dari melakukan tradisi, tanpa menggali maknanya?

1. Kita akan Kehilangan Generasi Kini dan Mendatang

Yesus berkata: “Demikian juga tidak seorangpun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian anggur itu akan mengoyakkan kantong itu, sehingga anggur itu dan kantongnya dua-duanya terbuang. Tetapi anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang baru pula.”

Anggur yang baru menggambarkan Injil keselamatan, kabar sukacita yang tidak bisa ditampung dalam ‘kantong yang lama’ yaitu upacara seremonial. Puasa sebetulnya adalah sebuah bentuk ibadah yang melaluinya umat datang kepada Allah, memohon dan menerima belas kasihan dan rahmatNya. Namun, orang Farisi terjebak melihat puasa hanya sebagai bentuk ibadah yang harus dilakukan dengan teratur. Sebuah tradisi keagamaan yang wajib dilakukan. Mereka kehilangan makna ibadah puasa sehingga puasa menjadi upacara seremonial yang kaku. Tradisi seremonial tidak sanggup menampung berita Injil yang penuh sukacita dan kuasa. Seperti kantong lama tidak sanggup menyimpan anggur baru. “And by these very apt illustrations our Lord teaches us that it is a vain thing to attempt to mingle together the spiritual freedom of the gospel with the old ceremonies of the Law” (Calvin).

Hal yang sama juga bisa terjadi pada pelayanan Perkantas. Tradisi tanpa makna akan menjadi sebuah seremonial keagamaan yang tidak sanggup menampung kuasa Injil yang membebaskan. KKR, Kelompok PIPA (Perkabaran Injil lewat Pemahaman Alkitab), KK (Kelompok Kecil), PI Pribadi bila dilakukan tanpa penghayatan makna tidak bisa menjadi alat kasih karunia menghantar siswa, mahasiswa berjumpa dengan Kristus. Bila hal ini terjadi, maka tidak ada petobat baru dan tidak ada murid Kristus baru. Perkantas, PMK, PSK akan kehilangan generasi kini dan mendatang. Kita juga akan kehilangan generasi baru pemimpin yang sebenarnya. “Student today, leader tomorrow” tinggal menjadi slogan belaka.

2. Kita Tidak Bisa Melakukan Kontekstualisasi Zaman

Ada tradisi baik yang harus terus kita lakukan. Tanggung jawab tiap generasi untuk terus menggali maknanya. Dan, tanggung jawab generasi sebelumnya untuk meneruskan makna tidak hanya berbentuk kegiatan atau pola pelayanan. “We need to pass onto the next generation the meanings and not just the form” (Perry Shaw). Tapi ada pola-pola atau kegiatan yang tidak lagi komunikatif dengan generasi sekarang. Kita harus sanggup menyampaikan Injil yang sama dengan ‘bungkus’ kegiatan yang berbeda. Disinilah tradisi bisa menghambat kontekstualisasi Injil. Tradisi yang tidak dihayati maknanya cenderung akan kaku dengan bentuk-bentuk yang diwariskannya. Kekakuan dan ketakutan ini timbul karena menaruh tempat yang sama tinggi antara bentuk dan makna. Sehingga muncul pemikiran bahwa merubah bentuk sama dengan merubah makna. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk sanggup membedakan antara bentuk ibadah dan makna. Bentuk boleh fleksibel bahkan diubah, tapi makna tinggal tetap.

3. Tradisi tanpa Makna akan Menghasilkan ‘Penguasa-penguasa’ dalam Pelayanan bukan Pemimpin yang Melayani dengan Wibawa Rohani

Sebuah kalimat dari Perry Shaw, memberikan peringatan yang tajam akan bahaya ini: ‘The people who control the form have the political power; the people who control the meaning have the spiritual power, for good or evil. The people with either type of power determine who the church is really serving. The political power-keepers maintain a form and the spiritual power-keepers use that form intentionally to teach a spiritual lesson. The political power keepers want to keep or institute a form which the spiritual power-keepers consider unhelpful”.

Di sinilah tradisi akan berkolaborasi dengan institusi, tradisi diberi kekuatan hukum yang mengikat para anggota untuk wajib melakukannya. Warna pelayanan mahasiswa yang kuat dengan suasana fellowship dan kekeluargaan akan berubah pelan-pelan menjadi komunitas yang kaku dan formal. Sehingga kita akan memiliki ‘budak-budak program’ yaitu panitia atau pengurus yang bekerja keras tanpa tahu apa yang mau dicapai. Mereka mau melakukannya, karena mereka takut ‘dihukum’ dan dialienasi oleh ‘penguasa-penguasa’ pelayanan.

Memahami dinamika tradisi beserta bahayanya, kiranya Perkantas berhati-hati menjaga semangat dan makna setiap pola dan aktivitas pelayanan yang dikerjakannya. Mari kita berjaga-jaga dan berdoa supaya pelayanan Perkantas terhindar dari jerat tradisi tanpa makna. Di masa tuanya, Rasul Petrus seorang gembala yang sudah melayani puluhan tahun lamanya mengingatkan orang percaya untuk bersungguh-sungguh bertumbuh dalam kehidupan rohani mereka — yang disebutnya sebagai iman, kebajikan, pengetahuan, penguasaan diri dan kasih — oleh kuasa Roh Kudus yang sudah dikerjakan dalam diri orang percaya.

Rasul Petrus berkata: “Sebab apabila semuanya itu ada padamu dengan berlimpah-limpah, kamu akan dibuatnya menjadi giat dan berhasil dalam pengenalanmu akan Yesus Kristus, Tuhan kita. Tetapi barangsiapa tidak memiliki semuanya itu, ia menjadi buta dan picik, karena ia lupa, bahwa dosa-dosanya yang dahulu telah dihapuskan” (2 Petrus 1:8-9).

Hanya kerohanian yang berlimpah-limpah yang dapat membebaskan kita dari jerat tradisi tanpa makna, karena makna ada dalam hati yang mengenal Kristus, Tuhan JuruselamatNya.

BAGIKAN: